Tuesday, April 14, 2020

Kepala pasukan percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah




Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat mati-Nya demikian, berkatalah ia: "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" (Markus 15:39)

Pada sore hari itu, dua pemimpin pasukan saling berhadap-hadapan. Yang seorang adalah pemimpin pasukan Romawi, sedang yang Seorang lagi adalah Pemimpin Pasukan Bala Tentara Sorga. Tetapi bukan dengan maksud untuk berperang mereka saling berhadapan, sebab yang seorang masih hidup sedangkan yang Satu lagi sudah mati.

Menurut kacamata dunia, yang mati di salib itulah yang berhasil ditaklukkan. Tetapi menurut kacamata Kerajaan Allah, justru yang masih berdiri itulah yang telah ditaklukkan, bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang, melainkan dengan Firman.

Kekristenan tidak dibangun di atas berita keberhasilan menurut standar dunia. Sebab jika kekristenan dibangun di atas kisah kesuksesan sebagaimana yang dunia ini pahami, maka kisah kematian Yesus di atas kayu salib sama sekali tidak cocok dengan gambaran keberhasilan manapun.

Yesus pada akhirnya mati. Dia yang lahir di kandang domba itu, yang datang dari kampung tidak terkenal bernama Nazaret itu, dan yang senantiasa menjalani kehidupan penuh derita itu, telah mati. Nabi Yesaya pernah melukiskan Yesus sebagai “… seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; (Yesaya 53:3) ” Kita tidak membaca kisah Yesus seperti membaca kisah kesuksesan Bill Gates ataupun kisah Mark Zuckerberg, bukan?

Tetapi yang menarik adalah, justru dalam keadaan yang jauh dari kesan berhasil itulah, sang kepala pasukan Romawi menyadari bahwa Yesus adalah Anak Allah. Ia bahkan belum melihat bahwa Yesus pada akhirnya bangkit kembali, tetapi ia sudah dapat percaya.

Iman yang sejati adalah iman yang bertumbuh dari perspektif salib. Jika kita bisa melihat Yesus sebagai Anak Allah di dalam kematian-Nya di kayu salib, maka bersyukurlah, sebab itulah tanda bahwa Allah telah bekerja di dalam hati kita.

Sekarang bandingkan dengan peristiwa di bawah ini:
Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Yesus melarang orang itu memberitahukannya kepada siapapun juga.. (Lukas 5:13-14)

Mengapa Yesus melarang orang memberitahukan bahwa Ia telah menyembuhkan orang yang sakit kusta? Jawabannya adalah: Karena Yesus tidak ingin dikenal sebagai Mesias yang pandai menyembuhkan orang dari sakit penyakit.

Betapa berbedanya sudut pandang Alkitab dengan sudut pandang kekristenan zaman sekarang bukan? Banyak orang mengira, kita akan lebih mudah percaya apabila Yesus melakukan mukjizat. Banyak orang menyangka bahwa iman bertumbuh dari pekerjaan-pekerjaan ajaib yang Allah lakukan. Itu sebabnya hingga masa kini pun banyak gereja yang sangat bersemangat mengejar hal-hal spektakuler dan ajaib dari Allah sebagai semacam bahan bakar untuk menghidupkan iman kita.

Menurut Alkitab, iman semacam itu belum tentu merupakan iman yang sejati. Ada sangat banyak cerita di dalam Alkitab tentang perbuatan ajaib Allah yang tidak menghasilkan iman yang sejati. Orang Israel tetap tidak percaya, orang Farisi tetap membenci dan ahli Taurat pun tetap mencemooh, sekalipun tanda-tanda ajaib ada di depan mata mereka. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengajar bahwa jika seseorang tidak bisa diyakinkan melalui Alkitab, maka mereka juga tidak akan bisa percaya sekalipun melihat orang mati bangkit kembali. (Lukas 16:31)

Alkitab mencatat bahwa iman sejati itu timbul dari pendengaran, yaitu pendengaran akan Firman Kristus (Roma 10:17). Dan apakah Firman yang sering diulang-ulang oleh Kristus sebelum Ia mati disalib? Bahwa Ia ”harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” (Markus 8:31)

Orang yang hanya tertarik pada Yesus karena Ia pandai membuat mukjizat, mungkin sekali pada dasarnya bukan orang yang percaya, sebab bukan Yesus yang mereka cari, tetapi keajaiban semata-mata. Tetapi orang yang bisa melihat kemuliaan Kristus dari perspektif salib, tanpa embel-embel keajaiban, justru sangat mungkin adalah orang yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus.

Salah satu contoh terbaik yang dapat kita lihat adalah kepala pasukan Romawi yang berdiri di hadapan Kristus itu. Tidak ada keajaiban, belum ada kebangkitan, tidak ada yang terlalu spesial kecuali seorang pria Yahudi yang sebelum mati-Nya memberikan perkataan-perkataan penuh kasih dan pengampunan kepada orang-orang di sekitar-Nya.

Dalam moment kematian dan kebangkitan Yesus ini, biarlah masing-masing kita melihat ke dalam hati kita, Yesus seperti apakah yang kita lihat selama ini? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin. (Oleh: izar tirta)


Beberapa pertanyaan reflektif:
Apakah yang dapat dipelajari dari Markus 15:39?
Mengapa kepala pasukan Romawi dapat percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah?
Apakah anda percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah?
Melalui apakah kepala pasukan Romawi melihat bahwa Yesus adalah Anak Allah?
Mengapa Tuhan Yesus tidak ingin orang mengenal Dia sebagai penyembuh dari penyakit?
Apakah mukjizat itu berguna bagi pertumbuhan iman yang sejati?
Seperti apakah iman yang sejati itu?
Darimana timbulnya iman yang sejati itu?