Sunday, August 6, 2023

Tuhan Yesus mengakui ke-Ilahi-an Alkitab sebagai Firman Allah

Darimana kita memperoleh bukti bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan?
Dari konfirmasi yang diberikan oleh Tuhan Yesus dan para Rasul-Nya.
Ini merupakan bukti internal dari Ke-Ilahi-an Alkitab.

Tuhan Yesus mengakui Alkitab sebagai Firman Tuhan

 
 

Ke-Ilahi-an Alkitab sebagai Firman Allah dikonfirmasi oleh orang-orang yang kompeten

 

Ada beberapa faktor yang menentukan apakah suatu berita atau dokumen dapat dipercaya atau tidak. Satu di antaranya adalah “siapa yang mengeluarkan berita tersebut? ”[1]

Sebagai contoh, kalau membaca surat kabar kita tentu perlu tahu apakah koran atau website tersebut bisa dipercaya atau tidak, bukan? Jika koran yang kita baca tidak memiliki kredibilitas maka mungkin sekali kita membacanya sambil lalu saja, tidak terlalu percaya atau tidak ambil pusing dengan segala sesuatu yang diberitakan di dalamnya. Akan tetapi, jika media tersebut sudah terkenal, bonafide dan banyak dibaca oleh berbagai kalangan, maka tentu kita akan memiliki suatu persepsi bahwa berita tersebut dapat dipercaya.

 


Rekomendasi Buku:
Kau Ubah Hidupku
Klik disini.

Jadi kalau koran yang bisa dipercaya itu mengeluarkan suatu berita, kita dapat mempercayai berita itu karena kita sudah lebih dulu percaya pada penerimaan orang lain terhadap surat kabar yang memuat berita tersebut, jelas bukan? Point inilah yang ingin saya angkat dalam tulisan sekarang ini, yaitu “siapa yang mengeluarkan berita, amat menentukan apakah beritanya layak dipercaya atau tidak.” Saya memberi istilah konfirmasi terhadap Alkitab sebab mengkonfirmasi artinya memberikan pernyataan untuk menegaskan atau memastikan.

Jika kita yakin pada pribadi-pribadi yang memberi konfirmasi terhadap ke-Ilahi-an Alkitab, maka kita dapat yakin pula bahwa apa yang mereka katakan benar adanya.

Alkitab di-claim sebagai Firman Allah. Ini adalah suatu berita. Masalahnya, haruskah kita percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah? Atas dasar apa kita bisa sampai pada keyakinan tersebut? Mari kita lihat, siapa-siapa saja yang memberi konfirmasi bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Kita akan menilai, apakah pribadi-pribadi yang memberi konfirmasi tersebut layak dipercaya atau tidak. Jika layak dipercaya, maka kitapun harus percaya pada apa yang dikonfirmasi olehnya.

 

Para Rasul mengkonfirmasi Alkitab sebagai Firman Tuhan

 

Petrus adalah seorang nelayan sederhana yang menjadi murid Tuhan Yesus, suatu kali ia berkata: “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh Firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di hatimu. Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak penah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Ptr 1:19-21)

Paulus, seorang terpelajar yang juga menjadi murid Yesus Kristus, pernah berkata pula: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Tim 3:16)

Kedua orang ini adalah wakil dari rasul-rasul Kristus dalam mengutarakan pendapat mereka mengenai Alkitab. Baik Petrus maupun Paulus mengakui sifat Ilahi dari Alkitab. Dan mereka berdua adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka waras, tidak gila, tidak bodoh serta tidak suka berbohong. Oleh karena itu, apa yang mereka katakan pasti benar karena disampaikan dengan kejujuran.

Selain dua ayat yang dikutip di atas, ada beberapa rujukan lagi dari Alkitab yang merupakan konfirmasi dari para rasul Kristus dan pengikut-pengikut setia-Nya bahwa Alkitab adalah sungguh-sungguh Firman Allah. Rujukan itu misalnya dari tulisan Paulus yang lain: “sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi -- dan memang sungguh-sungguh demikian -- sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.” (1 Tes 2:13)

Atau dari penulis kitab Ibrani:

Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, (Ibrani 1:1)


Yesus Kristus mengkonfirmasi Alkitab sebagai Firman Tuhan

 

Percaya atau tidak percaya. Suka atau tidak suka. Menerima atau tidak menerima, Yesus Kristus faktanya adalah tetap sebagai tokoh paling penting dan paling agung yang pernah hidup dalam sejarah. Moralitas-Nya tak tercela, kebaikan hati-Nya tak terbantahkan dan karya-karya-Nya tak tertandingi. Kehidupan dan ajaran Yesus telah menjadi inspirasi bagi hidup begitu banyak orang di dunia.

Alkitab pernah mencatat pendapat Tuhan Yesus tentang tulisan para nabi: “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” (Lks 24:27) Melalui fakta tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa di mata Yesus tulisan-tulisan para nabi adalah Kitab Suci. Jika Tuhan Yesus berpendapat demikian, apakah kita dapat berpikir tentang sesuatu yang berbeda dari-Nya? Tulisan para nabi yang kini kita kenal dan kelompokkan sebagai Perjanjian Lama adalah Kitab Suci, begitulah pendapat Tuhan Yesus. Dan karena Tuhan Yesus adalah Pribadi yang terpercaya, maka kita layak mempercayai pendapat-Nya itu.

Tuhan Yesus memberi konfirmasi terhadap Perjanjian Lama maupun Baru. Bagi PL, konfirmasi dari Tuhan Yesus dapat dilihat dari:

  • Sebanyak 56 kali Tuhan Yesus merujuk pada Kitab Suci PL sebagai sebuah otoritas.
  • Lebih dari 81 kali, Tuhan Yesus mengutip PL
  • Yesus memverifikasi detil-detil dalam PL. Ia menyatakan secara spesifik bahwa tidak ada detil terkecil yang akan lenyap dari hukum Taurat sampai semuanya digenapi (Matius 5:18)

Tuhan Yesus juga memberi konfirmasi terhadap PB, seperti yang terlihat dari:

  • Janji Yesus Kristus akan kedatangan Roh Kudus yang akan memberi tuntunan kata-kata bagi para rasul. (Yoh 14:26; 16:13; Lukas 12:12; Kisah Rasul 1:8)
  • Yesus menubuatkan akan munculnya tulisan-tulisan berotoritas melalui tangan para rasul (Mat 24:14; 26:13; Mrk 8:35; Lks 21:33; Kis 16-18)
  • Keberadaan Injil sebagai Firman Tuhan dikonfirmasi pada saat diberitakan, Tuhan Yesus mengkonfirmasi kesaksian murid-murid sebagai pemberitaan Firman. (Kis 18:9; 22:18; 23:11)

Saya perlu menekankan bahwa konfirmasi dari Tuhan Yesus adalah konfirmasi yang paling penting dan paling tidak mungkin meleset. Tuhan Yesus tidak pernah berbuat dosa, melakukan kesalahan pun tidak. Pilatus “tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya” (Yoh 18:38b). Claudia, istri Pilatus mengakui Yesus sebagai orang benar (Mat 27:19). Yudas, murid yang telah mengkhianati Dia, mengatakan : “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” (Mat 27:4). Orang yang disalib di sebelah-Nya berkata jujur bahwa: “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” (Luk 23:41). Kepala pasukan Romawi yang menyalibkan Dia mengakui: “Sungguh orang ini adalah orang benar” (Luk 23:47). Bahkan Tuhan Yesus sendiri pernah bertanya: “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?” (Yoh 8:46)

Tuhan Yesus juga bertanya pada setiap manusia di zaman sekarang ini, “Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?” Tuhan memberi konfirmasi bahwa Alkitab adalah Firman Allah, pastilah ucapan-Nya itu benar. Oleh karena itu tidak perlu lagi ada ruang untuk keraguan dalam diri kita akan keberadaan Alkitab sebagai Firman Allah.

Betapa banyak manusia di dunia ini yang menolak untuk percaya, baik pada Yesus Kristus maupun pada Alkitab. Suatu saat setiap mereka harus mempertanggungjawabkan ketidakpercayaan yang keras kepala itu. Dunia ini bukan kekurangan bukti tentang ke-Ilahi-an Alkitab maupun ke-absah-an Yesus Kristus sebagai satu-satunya juruselamat manusia, dunia ini hanya sengaja memilih untuk melawan. Hatilah yang menjadi persoalan utama. Hati manusia telah ditipu oleh ilah zaman ini. Dari semula pekerjaan iblis memang adalah menipu manusia, menjauhkan manusia dari Firman dan Pribadi Allah. Dan sampai kini sepak terjang iblis pun masih nyata.

Sebagai orang Kristen kita barangkali merasa sudah percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan. Itu baik, akan tetapi semua tulisan ini diberikan bukan saja agar supaya kita percaya dan semakin percaya, tetapi juga agar kita dapat memakainya untuk menguatkan setiap hati yang ragu-ragu. Kiranya melalui tulisan-tulisan semacam ini, iman kita semakin diperkaya dengan pengetahuan yang benar, sehingga pada gilirannya kita pun dapat memperkaya iman orang lain. Tuhan Yesus memberkati.

 



[1] Faktor lain misalnya: Kesesuaian antara berita dan fakta. Dapat atau tidak tidaknya berita itu ditelusuri atau dipelajari dengan metode tertentu. Atau apakah ada banyak saksi mata atas berita tersebut.

 

Wednesday, May 24, 2023

Merenungkan kesederhanaan sosok Yesus Kristus sebagai orang Nazareth

 


Maka datanglah Yesus ... (Matius 3:13a)

Alkitab banyak bicara tentang kesederhanaan Tuhan Yesus. Ia yang adalah Allah Yang Mahakuasa, mau datang ke dalam dunia yang kotor oleh dosa. Dan ketika di dalam dunia pun Tuhan Yesus tidak memilih tempat tinggal yang terkenal, atau di kota besar yang megah, melainkan di sebuah desa kecil bernama Nazaret yang sama sekali tidak memberi kesan mengagumkan bagi siapapun yang mendengar nama tempat itu.

 

Buku "Merenungkan Kesengsaraan Tuhan Kita Yesus Kristus"
Klik disini.

Dalam Matius 3, Tuhan Yesus yang tinggal di wilayah Galilea itu, datang menemui Yohanes untuk dibaptiskan. Bukan Tuhan yang memerintahkan Yohanes untuk datang, tetapi Tuhan Yesus-lah yang datang menemui Yohanes. Inilah letak kesederhanaan Kristus. Ia adalah Allah yang datang untuk menjumpai manusia, dan Ia akan selalu merupakan Allah yang datang mencari, datang menjumpai, datang untuk menawarkan kasih kepada manusia.

Ironisnya adalah, meskipun Ia datang untuk mengasihi, tetapi Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus adalah Pribadi yang paling sering dijadikan bahan pergunjingan, perdebatan, serta desas desus di antara manusia, sejak era ketika Ia masih sering berjalan-jalan kian kemari menapaki jalur-jalur berdebu di Palestina, hingga pada era kita sekarang ini.

Ia adalah tokoh yang begitu dicintai, sekaligus begitu dibenci dan sering disalahpahami oleh manusia di sepanjang segala zaman. Ada orang-orang yang rela mati demi mengasihi Dia, tetapi tidak sedikit pula yang rela membunuh demi berusaha melenyapkan pengaruh ajaran yang disebarkan-Nya.

Demikian besarnya Nama Yesus hingga seumur hidup kita pun rasanya tidak akan cukup jika dipakai untuk membahas Tokoh yang satu itu. Namun dalam tulisan kali ini saya mengajak kita semua untuk memperhatikan sebagian kecil dari cara pandang-Nya terhadap sesama dan terhadap kehidupan, khususnya ditinjau dari peristiwa pembaptisan-Nya sebagaimana dicatat oleh Matius.

Semoga melaluinya kita dapat semakin mengenal sosok pria Yahudi yang semasa hidup-Nya sering membuat pernyataan-pernyataan kontroversial ini.


Sebuah desa bernama Nazaret

Semenjak kembali dari Mesir, Yusuf membawa keluarganya menetap di sebuah kota bernama Nazaret. Sebuah kampung kecil yang tidak terkenal dan jauh dari kesan megah serta terletak di dalam wilayah Galilea, yaitu Israel bagian Utara. Dan semenjak saat itulah, Tuhan Yesus bertumbuh dewasa dan menetap di desa tersebut bersama keluarga-Nya, sehingga nama tempat itu pun akhirnya akrab melekat pada diri Pribadi-Nya, Yesus si Orang Nazaret.

Bagi orang Yahudi, wilayah Israel Utara adalah wilayah yang dianggap kurang terberkati dibandingkan wilayah Selatan. Mengapa? 

Pertama, karena di wilayah Israel Selatan ada Bait Allah yang terletak di kota yang sangat terkenal, Yerusalem. Sudah jelas melalui sejarah Yahudi bahwa tempat itu adalah tempat kediaman Allah, tempat dimana Allah seringkali menyatakan kehadiran-Nya secara khusus.

Kedua, karena wilayah Utara, dahulu kala pada zaman raja-raja Israel masih berkuasa, adalah wilayah yang paling banyak diperintah oleh raja-raja yang jahat. Itu sebabnya wilayah Israel Utara inilah yang lebih dulu dihukum oleh Tuhan, melalui datangnya bangsa Asyur pada tahun 722 SM yang meluluhlantakkan kerajaan Israel Utara dan memboyong orang Israel sebagai tawanan ke Asyur. (Sebetulnya Israel Selatan tidak perlu merasa tinggi hati dengan kenyataan tersebut, sebab pada tahun 587 SM Allah mengirim pula bangsa Babel untuk meluluhlantakkan Israel Selatan karena mereka berdosa dan meninggalkan Tuhan. Warga Israel Selatan akhirnya ditawan pula dan digiring ke Babel. Dan kita mengenal peristiwa itu sebagai “pembuangan ke Babel.”)

Sepeninggalan orang Israel karena ditawan oleh Asyur, maka wilayah Utara yang terkenal dengan Danau Galilea yang indah itu, belakangan lebih banyak diisi oleh orang-orang non-Yahudi. Diperkirakan hanya sedikit populasi Yahudi yang masih tertinggal di sana. Dan bagi orang Yahudi, orang-orang non-Yahudi tersebut hanyalah warga kelas dua yang layak untuk dipandang dengan sebelah mata saja. Dalam pandangan orang Yahudi, wilayah Utara tempat Tuhan Yesus tinggal adalah wilayah bangsa-bangsa yang masih berjalan di dalam kegelapan (Yesaya 9:1).

Di sisi lain, Tuhan Yesus sendiri tidak pernah tercatat merasa malu karena menjadi warga Galilea yang dianggap kurang terberkati itu. Tuhan Yesus bahkan tidak malu dikenal sebagai warga kampung Nazaret. Salah seorang murid Kristus, yang bernama Natanael, pada waktu pertama kali bertemu dengan Tuhan Yesus, terkejut mengetahui bahwa Dia berasal dari Nazaret. Natanael berkata "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" (Yoh 1:46). Mengapa Natanael demikian terkejut dan merasa heran?

Natanael terkejut karena Nazaret benar-benar merupakan sebuah desa yang tidak terkenal sama sekali. Apabila kita mencoba mencari nama Nazaret disebutkan satu kali saja di dalam Perjanjian Lama, maka kita tidak akan berhasil. Sebab desa itu memang tidak pernah disinggung sama sekali dalam kitab Perjanjian Lama manapun. Tidak ada sejarah relijius apapun yang pernah terjadi berkenaan dengan kampung tempat tinggal Tuhan Yesus itu.

Natanael merasa heran, mungkinkah ada sesuatu yang baik datang dari Nazaret? Terlebih lagi, mungkinkah Mesias datang dari sana? Di dalam benak murid yang bingung itu, seorang Mesias seharusnya adalah Pribadi yang agung dan datang dari tempat yang agung pula. Bagaimana mungkin ada seorang yang diurapi oleh Allah tetapi datang dari tempat yang begitu tidak terberkati? Kampung yang tidak relijius sama sekali, dan terhitung sebagai wilayah kegelapan pula? Seandainya saja Tuhan Yesus berasal dari Yerusalem, tentu Natanael tidak akan seheran itu.


Mari menjadi pribadi yang rendah hati dan sederhana seperti Kristus

Penting bagi kita untuk merenung, jika Tuhan Yesus saja yang adalah Allah mau hadir ke dunia yang berdosa ini, jika Tuhan Yesus saja yang adalah Raja di atas segala raja mau datang menemui kita orang yang berdosa ini, maka apakah wajar jika kita sebagai pengikut-Nya tidak tergerak untuk melayani orang-orang yang berdosa melalui pelayanan kasih dan pelayanan Firman?

Tuhan Yesus tidak menjadi orang yang gengsi karena harus tinggal di sebuah desa kecil yang tidak terkenal sama sekali, bagaimana dengan kita? Apakah kita sendiri adalah orang yang merasa kurang percaya diri jika diketahui berasal dari daerah yang tidak terkenal? Apakah kita merasa malu jika diketahui orang sebagai orang yang sederhana? Mari kita belajar dari Yesus Kristus, Mesias yang rendah hati dan sangat sederhana itu. Tuhan memberkati. Amin.

Monday, May 1, 2023

Keselamatan kita adalah pemberian Allah (Efesus 2:8)


 

Keselamatan kita bukanlah hasil prosedur-prosedur mekanis seperti layaknya sebuah mesin. Atau hasil dari formula-formula tertentu yang tidak ubahnya seperti mantra belaka. Keselamatan kita adalah terutama tentang relasi atau hubungan pribadi dengan Allah yang telah memberi keselamatan itu sendiri.

Ada orang yang berpikir bahwa urusan rohani itu dimulai dari bagaimana kita mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau karena kita melakukan prosedur-prosedur tertentu. Ucapkan kalimat ini, maka engkau akan terhitung sebagai orang dengan kepercayaan ini, ucapkan kalimat itu, maka engkau adalah bagian dari jemaat agama itu. Naikkan doa ini sebanyak sepuluh kali lalu tambah dengan doa itu sebanyak dua puluh kali, maka engkau akan begini dan akan begitu. Kirimkan pesan ini kepada seratus teman maka sesuatu keajaiban akan terjadi, tetapi jika engkau tidak melakukannya maka bencana akan datang.

Ada begitu banyak model di dalam spiritualitas mekanik prosedural semacam itu yang bisa kita lihat di dalam kehidupan. Sebuah spiritualitas individuil yang tidak memiliki relasi dengan siapa-siapa kecuali dengan seberapa banyak kita telah melaksanakan hal-hal tertentu di dalam kehidupan ini.

Kamu udah berdoa berapa kali? 10 kali? Well.. aku sih udah 15 kali. Kamu udah berpuasa berapa kali dalam satu bulan? Tidak pernah? Wah.. aku sih puasa setiap hari. Relasi kita akhirnya terjalin bukan dengan Tuhan tetapi dengan angka-angka, dengan prosedur-prosedur, atau dalam bahasa yang lebih agamawi… dengan ritual-ritual. Cara-cara sesat semacam itu jelas bukan ajaran Alkitab… 

Meskipun demikian, orang Kristen pun tidak kebal dari kemungkinan untuk menyimpang ke arah situ. Jika kita melihat keselamatan sebagai anugerah, tetapi kita gagal melihat Siapa yang memberi anugerah, maka pada dasarnya kita salah melihat. Apabila kita melihat keselamatan sebagai hasil dari iman, tetapi gagal memandang kepada Siapa kita beriman, maka pada dasarnya kita juga telah keliru.

Kita tidak menjadi Kristen karena kita ini fasih atau lancar mengucapkan kalimat “aku percaya Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.” Itu namanya mantra ! Kekristenan tidak pernah mengajarkan model spiritualitas ala password semacam itu. Sebab kalau kekristenan kita hanya dibangun dari ucapan-ucapan atau jargon-jargon seperti itu saja, maka iblis pun bisa kita masukkan ke dalam persekutuan Kristen, mengapa? Karena iblis pun pernah mengucap kalimat: “Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah.” (Markus 1:24)

Kita tidak diajar untuk menjadi Kristen ala password seperti itu, kita menjadi Kristen karena kita menjalin relasi kasih dengan Bapa melalui Kristus dengan pertolongan Roh Kudus. Ini adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh iblis, atau oleh siapapun yang ada di luar kerajaan Allah.

Anugerah adalah sesuatu yang indah, tetapi keindahannya bukan terletak di dalam anugerah itu sendiri, melainkan terletak di dalam Dia yang telah memberi anugerah. Iman adalah sesuatu yang berharga, tetapi esensi dari iman bukan terletak dari iman itu sendiri melainkan terletak pada Pribadi yang kita imani tersebut.

Di dalam dunia kita diajar, asalkan engkau cukup percaya, maka apapun yang engkau percayai akan berhasil. Kalimat semacam ini populer sekali di dalam dunia kita, tertama kalau kita ikut seminar-seminar marketing atau mendengarkan para motivator yang berusaha meyakinkan kita untuk menjadi orang yang sukses di dunia ini. Penekanan mereka adalah pada seberapa besar kepercayaanmu.

Alkitab mengajarkan, iman sebesar biji sesawi pun bisa memindahkan gunung, mengapa? Sebab yang terpenting bukan imannya sebesar apa, yang terpenting adalah kepada Siapa iman itu diletakkan. Yang memindahkan gunung bukan iman kita, tetapi Dia yang berkehendak melakukannya bagi kita di dalam kedaulatan-Nya. Alkitab bahkan berkali-kali mencatat orang-orang yang mengalami keragu-raguan namun tetap mendapat pertolongan dari Tuhan. Penekanan Alkitab adalah pada kebesaran Allah, bukan pada kebesaran iman seseorang.

Betapa berbedanya cara pandang dunia dan cara pandang Alkitab tentang arti sebuah kepercayaan. Oleh karena itu, sungguh memilukan jika mimbar gereja pun ada kalanya menyuarakan hal-hal yang tidak berbeda dengan suara-suara para motivator dunia tersebut, bukan?

Keselamatan kita adalah pemberian Allah, oleh karena itu, tujuan dari keselamatan kita pun bukan sekedar demi diluputkan dari neraka saja, melainkan agar kita dapat dengan bebas mencintai Allah yang telah menyelamatkan kita. Adakah hal ini menimbulkan suatu ketertarikan atau gairah di dalam hati kita? Ataukah kita malah menjadi kecewa karena menyangka keselamatan adalah tentang sesuatu yang lain??

Biarlah pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi perenungan pribadi kita di hadapan Allah. Kiranya Tuhan memberkati kita, Amin.

Tuesday, April 18, 2023

Itu bukan hasil usahamu (Efesus 2:8)


Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kita telah membicarakan beberapa aspek dari iman yaitu aspek kekinian, aspek pengetahuan, aspek emosional dan aspek kemauan. Semua aspek yang kita bicarakan itu amat berguna untuk mengevaluasi diri kita sendiri, apakah kita sudah memiliki aspek tersebut di dalam iman kita?

Meksipun demikian, pembicaraan tentang kesejatian iman di dalam diri kita, apabila tidak berhati-hati dapat pula membawa kita kepada suatu kebahayaan. Bahaya apakah itu? Bahaya yang disebabkan oleh perasaan bangga, puas diri, merasa benar (self righteous) dan akhirnya jatuh ke dalam dosa sebagaimana yang dilakukan oleh orang Farisi yang berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;” (Lukas 18:11)

Jika kita tidak hati-hati, tanpa sadar doa kita bisa saja berubah menjadi: “O Yesus aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama dengan orang lain di gereja ku, aku punya iman yang selalu kuhidupi setiap hari, aku punya pengetahuan akan Engkau, aku punya kasih kepada-Mu dan aku punya kehendak untuk setia pada-Mu, bukan seperti teman gerejaku yang tidak tidak tahu apa-apa itu, boro-boro ngerti Alkitab, boro-boro mengasihi Tuhan, kerjanya gosip melulu dan pikirannya juga gak jauh-jauh dari soal dagangan dan cari duit. Aku heran Tuhan, kenapa mereka bisa payah kayak gitu? Aku bersyukur sekali karena aku tidak seperti mereka… Puji Tuhan… Haleluya..”

Awalnya kita ingin menjadi orang Kristen yang memiliki iman sejati, tetapi ternyata pelan-pelan kita berubah menjadi semakin serupa dengan si Farisi itu. Betapa berbahayanya hal ini bukan? Dan betapa mudahnya kita jatuh ke dalam dosa semacam itu, jika kita tidak senantiasa memelihara sikap yang hati-hati, mawas diri dan senantiasa belajar untuk mengkritisi diri sendiri dan belajar menjauhi sikap yang suka menghakimi orang lain.

Kerohanian itu persoalan yang cukup unik, mirip sekali dengan kerendahan hati. Ketika kita pikir kita sedang memilikinya, jangan-jangan justru pada saat itu kita telah kehilangan dia. Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi orang Kristen untuk senantiasa merenungkan perkataan di dalam Efesus 2: “Itu bukan hasil usahamu”

Kekristenan sejati memahami keselamatan sebagai sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan melalui iman. Bahkan kemampuan kita untuk beriman pun bukan merupakan sesuatu yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Kalau kita bisa memiliki iman yang sejati, maka itu semata-mata adalah anugerah dari Tuhan juga, bukan kita yang mengusahakan agar iman itu datang atau muncul di dalam diri kita, tetapi Tuhan.

“Itu (pasti) bukan hasil usahamu,” sebab sebagai manusia yang berdosa, kita telah mati di hadapan Allah. Apakah yang dapat diharapkan dari orang yang sudah mati? Apakah kita dapat berharap bahwa mayat dapat melakukan sesuatu? Tentu tidak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan jika kita mengharapkan bahwa orang yang mati di hadapan Allah dapat tiba-tiba mempunyai kekuatan dari dalam dirinya untuk beriman kepada Yesus, apabila Allah tidak terlebih dahulu menganugerahkan kehidupan yang baru kepada orang yang mati tadi.

Sepintas ajaran ini sepertinya begitu sering kita dengar, ajaran yang  basic sekali, sehingga kita merasa seperti agak bosan mendengar hal tersebut. Akan tetapi, hanya karena hal ini terdengar sederhana, dan sudah sangat sering didengar, apakah diri kita yakin tidak akan pernah jatuh ke dalam dosa si orang Farisi tadi?

Waktu awal-awal kita menjadi orang Kristen, mungkin kita nangis bercucuran air mata di hadapan Tuhan. Sadar sebagai orang berdosa yang tidak pantas, hanya bisa menangis memukul dada seperti si pemungut cukai dalam kisah yang terkenal itu.

Tetapi setelah puluhan tahun berlalu, setelah berbagai pengetahuan atau berbagai gelar sarjana kita sandang, setelah berbagai jabatan di dalam konteks gerejawi kita pegang, orang mulai banyak yang suka sama kita, mereka men-tua-kan kita, hormat, percaya pada kita, adakah kita masih berada di dalam posisi si pemungut cukai tadi?

Atau jangan-jangan..? “Yah… dulu sih memang merasa diri tidak pantas di hadapan Tuhan, tapi sekarang… hmmm ... kayaknya aku oke juga ya? Aku rada panteslah kalau dibanding dulu? Sekarang malah orang lain yang jadi kelihatan tidak pantas.. Itu loh, mereka-mereka yang males pelayanan, yang pengetahuan Alkitabnya di bawah standard, yang gampang jatuh ke dalam perzinahan, perjudian, mabuk-mabukan… ya mereka-mereka itu yang gak pantas… Tapi kalau aku sih……. Oke punyalah….” Tanpa kita sadari tiba-tiba si Farisi datang dan menyalami kita sambil berkata: “welcome to the club my friend…”

Apakah kita pikir bahwa Tuhan akan bangga dengan prestasi kita, atau iman kita, atau pelayanan kita lebih daripada Tuhan bangga kepada orang lain (atau kepada Anak-Nya)? Apakah kita pikir bahwa pada suatu hari nanti kita akan pergi menghadap Tuhan sambil berkata: “Tuhan lihat … imanku yang sejati ini telah membawaku untuk melakukan ini, melakukan itu, mengajar sekian ribu jam di dalam kelas PA, menulis sekian puluh buku, terbang ribuan kilometer untuk memperluas kerajaan Allah” dan seterusnya.. dan seterusnya….

Cukup populer di kalangan orang Kristen (yang merasa cukup rajin dan saleh) sebuah pemikiran bahwa pada saat meninggal nanti ia bisa berkata: Tuhan, inilah jiwa-jiwa yang telah kubawa kepada-Mu melalui penginjilan. Inilah jiwa-jiwa yang telah kumenangkan bagi-Mu. Seakan-akan kita datang sambil membawa semacam simbol kemenangan atau tanda pencapaian ke hadapan Tuhan.

Mendengar itu, sangat mungkin Tuhan akan berkata: “Itu bukan hasil usahamu…” Atau bahkan yang lebih ngeri lagi: “Aku tidak pernah mengenal kamu…” (Matius 7:23)

Kalau mau gaya-gayaan, kita gak mungkin menang sama Agustinus yang hidup di sekitar abad ke 5 Masehi. Ia menulis begitu banyak buku, beribu-ribu halaman isinya. Ia adalah seorang pengkhotbah yang sangat trampil, dengan kekuatan pikiran dan orasi yang begitu tajam. Ia juga dikenal sebagai seorang sastrawan, filsuf atau pemikir kekristenan terbesar semenjak era para rasul. Pikirannya mempengaruhi Marthin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi Kristen lainnya, bahkan pengaruhnya terasa hingga zaman kita sekarang ini.

Tetapi apakah di ranjang kematiannya Agustinus tersenyum bangga atas segala pencapaian yang ditorehkannya selagi ia masih sehat? Tidak… Sebelum menutup mata untuk selamanya, Agustinus, bapa gereja yang sangat diberkati itu, tidak banyak berkata-kata. Ia hanya mengutip Mazmur 51:  Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar…

Tidak ada bangga-banggaan, tidak ada tepuk dada kemenangan. Agustinus sadar sepenuhnya, bahwa ia hanyalah orang berdosa yang membutuhkan belas kasihan dari Tuhan. Ia sadar betul bahwa dirinya hanyalah alat di tangan Tuhan. Semua pekerjaan itu bukan pekerjaan dia, melainkan Allah sendiri yang telah berbelas kasihan, berkenan untuk bekerja melalui dia.

Karl Barth, seorang teolog besar dari Swiss yang hidup di abad ke 20. Ia berani menulis surat kepada Hitler untuk menentang pemikiran Nazi. Ia giat berjuang, menggempur kekuatan teologi liberal. Ia menulis buku Church Dogmatics yang terkenal itu. Pada masa tuanya, setelah segala prestasi itu, ketika ia diminta untuk meringkas seluruh karyanya dalam satu kalimat.. Karl Barth menjawab: Jesus loves me this I know for the Bible tells me so…

Siapakah kita dibandingkan dengan orang-orang sekaliber Agustinus, ataupun Karl Barth ataupun tokoh-tokoh besar lain dalam kekristenan? Dan terutama, siapakah kita di hadapan Yesus Kristus? Meskipun kita patut bersyukur atas iman yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi tidak ada satu titik pun di mana kita punya dasar untuk bermegah atas apa yang telah terjadi di dalam hidup ini melalui iman kita. Mengapa?

Sebab itu bukan hasil usahamu..

Kiranya Tuhan menolong kita tetap memiliki hati seperti si pemungut cukai yang sadar betapa tidak pantasnya diri kita ini di hadapan Tuhan. Amin.



Friday, March 24, 2023

Mengapa Injil Matius banyak bicara tentang Taurat?

Pengenalan Injil Matius

 

Injil Matius adalah injil yang isinya cukup unik dibandingkan dengan pemahaman orang Kristen pada umumnya. Sebab di dalam Injil ini, Matius mengajak pembacanya untuk kembali memperhatikan arti penting Hukum Taurat. Hal tersebut dilakukan oleh Matius karena agaknya jemaat Kristen pada jaman itu, telah salah paham terhadap hubungan antara iman kepada Tuhan Yesus dengan arti penting dari Taurat. [Baca juga: Tuhan Yesus adalah Raja, lalu? Klik disini.]

Banyak orang Kristen di jaman itu, dan juga di jaman kita, yang mengira apabila seseorang sudah beriman pada Tuhan Yesus, maka Hukum Taurat sudah tidak dibutuhkan lagi sehingga dapat diabaikan dan tidak perlu digubris. Ini adalah anggapan yang keliru. Hukum Taurat bukanlah musuh dari Injil. Sebab di dalam Kitab Taurat pun kita dapat menemukan pesan Injil, dan di dalam Kitab Injil pun kita dapat menemukan ajaran untuk kembali memperhatikan perintah Tuhan Yesus yang tentunya juga bersumber dari Hukum Taurat.

 

Kemiripan Injil Matius dengan Surat Yakobus

Kitab Perjanjian Baru yang pertama kali ditulis bukanlah Injil Matius, sekalipun Injil Matius ditempatkan sebagai Kitab yang pertama dari kumpulan Kitab Perjanjian Baru. Kitab Perjanjian Baru yang pertama adalah Surat Paulus kepada Jemaat Galatia, yaitu dituliskan pada sekitar tahun 49 Masehi.

Surat Galatia ditulis oleh Paulus sebagai bentuk pengajaran kepada orang Kristen yang telah salah kaprah terhadap iman Kristen yang mereka terima. Sebagai orang Yahudi yang mengenal Taurat, orang Kristen di jaman Paulus menyangka bahwa untuk mendapat keselamatan, maka seseorang harus menjalankan Hukum Taurat, dalam hal ini secara khusus adalah sunat, sebagai jalan yang melengkapi iman mereka. Hal itu terlihat dari sanggahan Paulus:

Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat. (Galatia 2:16)

Orang Kristen berkebangsaan Yahudi pada saat itu mengira bahwa orang lain di luar Yahudi harus percaya pada Yesus Kristus dan harus disunat menurut aturan Hukum Taurat. Ini adalah anggapan yang keliru dan Paulus berusaha mengoreksi hal tersebut: "seseorang dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus bukan karena melakukan Taurat."

Nasihat yang sebenarnya sangat baik ini ternyata justru disalahpahami pula oleh orang Kristen Yahudi dalam waktu-waktu selanjutnya. Orang Kristen Yahudi yang tadinya mengira harus melakukan Taurat, kini malah berbalik ke titik ekstrim berikutnya, yaitu mengabaikan Taurat sama sekali. Mereka bergerak dari kesesatan yang disebut legalisme, menuju ke jalan sesat berikutnya yaitu, anti nomianisme.

Kekristenan disebut anti-nomianisme ketika orang-orang Kristen yang mengaku percaya sudah tidak peduli lagi pada perintah Tuhan. Mereka menganggap bahwa yang penting adalah percaya pada Yesus Kristus, dengan jenis kepercayaan yang tanpa konsekuensi, tanpa relasi, tanpa pertobatan, tanpa perubahan hidup, tanpa perbuatan nyata yang sesuai dengan iman tersebut. Tentu saja ini merupakan anggapan yang sama kelirunya dengan legalisme.

Di dalam kebaikan-Nya, Tuhan menggerakkan Yakobus menuliskan Surat Yakobus yang isinya adalah teguran kepada orang Kristen anti-nomianisme tersebut. Menurut Yakobus, iman yang sejati tidak mungkin tidak disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan iman itu. Yakobus mengatakan sebuah kalimat yang terkenal: Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. (Yakobus 2:24, 26)

Sepintas kita mungkin heran bahwa Paulus dan Yakobus seakan-akan mengatakan hal yang saling bertentangan. Namun apabila kita mengerti latar belakang jemaat yang dihadapi oleh Paulus dan Yakobus, tentu kita seharusnya mengerti mengapa kedua orang itu digerakkan oleh Tuhan untuk menulis demikian.

Kepada jemaat yang bersifat legalistik, yaitu menganggap bahwa kita dibenarkan karena menjalankan Hukum Taurat, maka perkataan Paulus adalah solusinya. Menurut Paulus kita dibenarkan karena iman. Tetapi kepada jemaat yang menganggap bahwa iman kepada Tuhan Yesus adalah iman yang bebas dari perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan, maka perlu merenungkan tulisan Yakobus. Menurut Yakobus, iman yang sejati pasti disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan iman tersebut, yaitu keinginan untuk melakukan kehendak Tuhan.

Paulus dan Yakobus sama-sama menulis kebenaran, mereka tidak saling bertentangan di dalam pengajaran. Secara bersama-sama, Paulus dan Yakobus telah menuliskan arti dari Injil yang lengkap, Injil yang sejati, yang beritanya tidak sepotong-sepotong.

Injil Matius adalah tulisan yang cenderung mirip dengan surat Yakobus dalam hal menegur jemaat yang anti-nomianisme. Dari isi tulisan Matius, kita dapat merekonstruksi bahwa jemaat yang dihadapi Matius, mirip dengan jemaat yang dihadapi oleh Yakobus. Orang Kristen pada waktu itu, memiliki pengertian yang salah mengenai apa artinya percaya kepada Tuhan Yesus. Itu sebabnya di dalam Injil Matius ajaran yang lebih ditekankan bukanlah agar jemaat beriman, melainkan agar jemaat melakukan kehendak Tuhan, mengenal Tuhan Yesus dan menjadi murid serta ikut dalam pemuridan. Menjadi orang Kristen yang percaya pada Yesus Kristus berarti dengan rela siap menerima konsekuensi dan tanggungjawab yang sesuai dengan apa yang mereka percayai tersebut.

 

Beberapa indikasi adanya pesan Taurat di dalam Injil Matius

Pesan Taurat yang dimaksudkan dalam Injil Matius bukan terutama berbicara mengenai ritual keagamaan Yahudi, melainkan tentang hati yang mau memperhatikan perintah Tuhan serta bersedia untuk melakukan kehendak Tuhan tersebut. Orang Kristen tidak diharuskan menjalankan ritual keagamaan yang persis sama dengan apa yang diuraikan dalam Kitab Imamat misalnya. Sebab ritual-ritual itu telah digantikan oleh relasi kita dengan Pribadi Kristus.

Orang Kristen tidak lagi diharuskan menjalankan ritual pengorbanan domba, sebab sudah digantikan oleh pengorbanan Tuhan Yesus. Orang Kristen sudah tidak perlu lagi disunat, sebab sudah digantikan dengan pembaptisan di dalam nama Allah Tritunggal. Orang Kristen tidak lagi beribadah di hari ketujuh, yaitu Sabtu, sebab kini mereka beribadah di hari pertama, hari Minggu, yaitu hari kebangkitan Tuhan Yesus. (Yohanes 20:1, Kisah Para Rasul 20:7)

Orang Kristen tidak lagi menjalankan ritual Sabat seperti yang diatur dalam Hukum Taurat bukan karena Tauratnya keliru, tetapi karena ritualnya sudah digantikan oleh relasi dengan Pribadi Kristus yang bangkit di hari Minggu.

Ada ritual-ritual keagamaan yang sudah tidak dilakukan karena sudah diganti oleh relasi kita dengan Kristus, tetapi bukan karena hal itu sudah dianggap tidak berguna lagi. Merenungkan tentang Sabat masih tetap diperlukan, tetapi Sabat yang kita pahami bukan lagi tentang hari dimana kita beristirahat pada hari Sabtu, tetapi tentang bagaimana jiwa kita dapat berisitirahat dengan tenang di dalam Pribadi Kristus. Jadi bukan terutama tentang harinya, tetapi terutama tentang Pribadinya.

Apa gunanya melakukan ritual Sabat dengan ketat seperti orang Yahudi di hari Sabtu atau seperti orang Kristen di hari Minggu, tetapi jiwa kita terus resah, gelisah, terus mencari pengakuan dari orang lain, terus mencari penghiburan dari kekayaan, terus mencari cara, kesibukan dalam pekerjaan, hobi atau apapun saja, demi mengisi kekosongan di dalam jiwa? Gunanya apa merayakan ritual Sabat seperti itu, tetapi tidak menemukan istirahat yang sejati di dalam Pribadi Tuhan Yesus?

Jadi Injil Matius ingin membawa jemaat Kristen Yahudi untuk kembali merenungkan Perintah Taurat, tetapi bukan dalam pengertian ritualnya, melainkan dalam relasi yang tidak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan Taurat itu sendiri. Sebab inti dari Taurat, sebagaimana yang diajarkan kembali oleh Tuhan Yesus adalah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.

Kristus adalah penggenapan Taurat, bagaimana mungkin kita percaya pada Tuhan Yesus tetapi tidak menaruh kepedulian pada Hukum yang Tuhan sendiri berikan?

Dari awal mula sekali Injil Matius sudah dibuka dengan uraian tentang Silsilah Yesus Kristus. Ini adalah suatu gaya penuturan yang mengingatkan kita pada kitab Kejadian. Matius ingin membawa pembacanya untuk mengingat kembali Kitab yang mula-mula sekali di dalam kumpulan Taurat Musa.

Selanjutnya di dalam seluruh kitab Injil Matius ada lima khotbah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus. Ini adalah cara Matius mengingatkan jemaat pada waktu itu dengan lima kitab Taurat Musa. Memang isinya sendiri tidak persis sama, tetapi kesejajaran antara lima kitab utama Taurat dan lima khotbah Tuhan Yesus, merupakan pesan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Selain itu di dalam kitab Injil Matius kita akan mendapati bahwa Tuhan Yesus sendiri tidak memakai kriteria "percaya atau tidak percaya," ketika menilai kehidupan manusia. Dalam perkataan yang mungkin merupakan salah satu perkataan paling keras dari Tuhan Yesus mengusir orang-orang Kristen karena mereka tidak melakukan kehendak Bapa, Tuhan Yesus tidak mengenal mereka dan sekalipun mereka melakukan banyak mukjizat, Tuhan menganggap mereka sebagai pembuat kejahatan. (Matius 7:21-23)

Perhatikan bahwa Tuhan Yesus sama sekali tidak mengusir mereka karena dianggap kurang percaya, tidak ada pembahasan tentang percaya atau tidak percaya dalam kisah itu. Bahkan jika kita memakai kriteria seperti kekristenan di jaman sekarang, maka dapat dipastikan bahwa kita akan mengkategorikan orang-orang itu sebagai orang percaya, para Hamba Tuhan yang jelas-jelas hidupnya terlibat dalam pelayanan. Kasus ini sungguh-sungguh perlu menjadi renungan yang penting dalam hidup kita. Injil Matius sungguh-sungguh relevan bagi dunia kekristenan dewasa ini yang sudah terlalu banyak mengalami penyimpangan di dalam memahami arti kata percaya. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua. Amin