Tuesday, May 24, 2022

Pemeliharaan Tuhan yang ajaib terhadap Kitab Suci-Nya

Bukti-bukti Eksternal Ke-Ilahi-an Alkitab
Serie tulisan: Bukti Alkitab adalah Firman Tuhan

 

Meskipun Alkitab adalah Firman Tuhan, bukan berarti semua manusia pasti senang akan keberadaannya. Tidak sedikit upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk melenyapkan Alkitab. Dan tidak jarang pula kita mendengar kisah tentang kaisar-kaisar Romawi yang menangkapi orang-orang Kristen dan membunuh mereka secara kejam. Dan bersamaan dengan pembantaian itu, Alkitab - yaitu tulisan-tulisan yang dianggap berotoritas dan sangat berharga bagi orang Kristen - juga ikut disita serta dimusnahkan.

Kaisar yang terkenal paling berapi-api dalam memusuhi kekristenan adalah Gaius Aurelius Valerius Diocletianus atau yang biasa dikenal sebagai kaisar Diocletian (245–312 M). Semasa Diocletian menjadi kaisar (284–305 M), ia melakukan segala sesuatu yang ada dalam kekuasaannya untuk menbinasakan iman Kristen melalui pembakaran orang Kristen maupun pemusnahan Alkitab. Pada tahun 303 M ia mengeluarkan perintah resmi di seluruh kekaisarannya agar orang Kristen dibunuh dan Alkitab dibakar.

Profesor Greenslade, editor buku Cambridge History of the Bible, menulis tentang pengumuman resmi Diocletian demikian: “Sepucuk surat kerajaan diumumkan di mana-mana, memerintahkan penghancuran gereja-gereja sampai rata dengan tanah dan pemusnahan Kitab Suci dengan api, serta mengumumkan bahwa mereka yang mempunyai kedudukan tinggi akan kehilangan semua hak mereka sebagai penduduk, sedangkan mereka yang bekerja di dalam rumah tangga, jika mereka meneruskan status mereka sebagai orang Kristen, maka mereka akan kehilangan kebebasannya.”[1]

Pada masa itu, menjadi orang Kristen dan memiliki Alkitab sungguh harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.

Pada sekitar tahun 312 Masehi, kaisar Constantine dikabarkan menjadi orang yang memeluk agama Kristen. Dan seiring dengan masuknya kaisar Constantine ke dalam lingkungan Kristen, masuk pula orang-orang Kristen tanpa pertobatan ke dalam gereja. Mengapa bisa demikian? Karena kaisar menetapkan kepercayaan orang Kristen itu menjadi agama negara. Akibatnya, banyak orang yang otomatis menjadi Kristen di dalam kekaisaran tersebut. Dalam waktu singkat sejumlah besar manusia berubah statusnya menjadi orang Kristen.

Agak lucu dan ironis juga, jika pada masa-masa kaisar sebelumnya, orang takut menjadi Kristen. Kini justru orang khawatir jika tidak menjadi Kristen. Sepintas hal ini terkesan membesarkan hati, namun sesungguhnya kenyataan ini lebih membawa dampak buruk daripada baik. Mengapa? Sebab pada waktu itu banyak orang yang mengaku Kristen namun sebenarnya tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan iman Kristen.

Tanpa iman yang dibangun oleh pengertian yang benar dari Alkitab, akhirnya orang-orang Kristen itu melakukan banyak kompromi terhadap dosa di dalam kehidupannya sehari-hari. Jangankan menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah, mereka bahkan tidak mempercayai Alkitab sebagai Firman Tuhan. Atau mungkin alam bawah sadar mereka percaya, namun mereka tidak pernah secara sadar mau menggubrisnya.

Abad-abad selanjutnya memperlihatkan semakin buruknya keberadaan orang Kristen yang tidak mengenal Kitab Suci, karena justru dari kalangan orang Kristen semacam inilah kemudian keluar hukum-hukum yang melarang orang-orang Kristen awam memiliki Alkitab. Gereja, anehnya, mengawasi secara ketat, mencari dan menghukum orang-orang yang menyimpang dari peraturan-peraturan agama yang telah ditetapkan itu. Gereja bahkan menghukum secara kejam siapa saja yang kedapatan memiliki Kitab Suci.

Pada era kegelapan gereja yang memakan waktu sekitar 1000 tahun itu, imam-imam pun tidak mampu membaca naskah Alkitab dalam bahasa Latin, apalagi orang awam. Isi Alkitab sangat asing bagi masyarakat dan tidak terjangkau oleh siapapun, terkubur dalam-dalam oleh ketidakpedulian manusia.

Sebagai akibat dari ketidaktahuan (dan ketidak-mau-tahuan) ini, orang-orang yang mengaku Kristen tidak tahu lagi ajaran-ajaran apa yang terdapat dalam Kitab Suci. Mereka akhirnya membangun ajaran sendiri berdasarkan hikmat manusia yang berdosa. Konon sampai dengan tahun 1870, memiliki Alkitab tetap ilegal di Italia. Sungguh dalam dan mengherankan ketidaksukaan manusia pada Kitab Suci, bukan?

Baru pada era Martin Luther dengan gerakan Reformasi-nya, manusia diajak untuk kembali pada kebenaran Kitab Suci, melalui salah satu slogan terkenalnya Sola Scriptura. Berkat upaya pengajaran Alkitabiah inilah, manusia mulai mengenal kembali Allah sebagaimana yang diberitakan dalam Alkitab. Manusia juga mulai mengenal siapa dirinya, apa peranannya di dalam alam semesta, kemana tujuan akhir manusia dan lain sebagainya.

Namun pada sekitar abad 18–19 M, dengan adanya kemajuan teknologi, manusia mulai kembali mempertanyakan Alkitab. Perubahan situasi ini sungguh amat disayangkan, karena sesungguhnya teknologi berhutang banyak sekali pada Alkitab. Berkat Alkitab-lah, manusia dapat dikatakan mulai melek teknologi. Sebelum kebenaran Alkitab dieskplorasi pada era Reformasi, kebanyakan masyarakat hidup dalam kebodohan dan dihantui oleh berbagai takhayul.

Adalah Charles Darwin dengan teori Evolusinya, yang telah memicu sebuah gelombang besar atheisme di antara umat manusia. Dan Alkitab lagi-lagi harus jadi sasaran, menderita, dicemooh, dibakar, diragu-ragukan, atau paling sedikit tidak diperdulikan lagi.

Pada era itu pula muncullah François-Marie Arouet atau yang oleh kalangan para penulis masa itu dikenal sebagai Voltaire (21 Nov 1694 – 30 May 1778). Ia seorang penulis esai dari kalangan cendekiawan dan memiliki pandangan filosofis deisme. Sebenarnya ia adalah seorang penulis berbakat yang dikagumi pada zamannya, namun ia memakai bakat dan kemampuannya itu justru untuk melawan Alkitab.

Menurut Voltaire, Alkitab adalah tulisan manusia yang secara sengaja menciptakan figur Allah untuk disembah. Voltaire tidak percaya bahwa Allah benar-benar ada, dan menurutnya Yesus tidak lebih dari tokoh khayalan belaka. Voltaire memang dikenal sebagai orang yang sangat membenci Alkitab.

Akan tetapi, ada suatu kisah yang patut menjadi perenungan kita sehubungan dengan Voltaire si pembenci Alkitab ini. Konon di gedung perpustakaan miliknya, Voltaire pernah mengumumkan:

“Aku benci Alkitab! Saya akan menjelajah hutan Kitab Suci dan mengikat semua pohon-pohonnya, supaya dalam waktu seratus tahun Alkitab akan dilupakan dan dihapuskan. Serta kekristenan akan menjadi sekedar suatu memori yang menguap lenyap. Dengan tanganku sendiri, akan kuhancurkan ajaran dari dua belas rasul itu!”

Namun, apa yang terjadi? Segera setelah Voltaire meninggal, gedung perpustakaan itu dibeli oleh The Geneva Bible Society dan dipakai sebagai tempat mencetak Alkitab. Sungguh ironis bukan? Tempat di mana diumumkan bahwa Alkitab akan lenyap, justru menjadi tempat di mana Alkitab diperbanyak.

Sebuah buku karya Herbert Lockyer mencatat kesaksian dari seorang perawat dan seorang dokter yang hadir pada saat Voltaire akan meninggal. Perawat itu begitu ketakutan melihat Voltaire di akhir hayatnya berteriak-teriak pada si dokter:

“Aku ditinggalkan oleh Allah dan manusia! Akan kuberikan setengah dari kekayaanku padamu jika engkau bisa memberiku hidup barang enam bulan lagi dan setelah itu aku akan pergi ke neraka, dan engkau akan ikut bersamaku. O.. Kristus ! Oh.. Yesus Kristus !!....” 

Dalam jerit memilukan itu, Voltaire menghembuskan nafasnya yang terakhir. Perawat yang menjaga Voltaire di akhir hayatnya mengatakan: Aku tidak akan mau lagi melihat kematian seorang atheis, meski diberikan seluruh kekayaan dunia sekalipun.[2]

Manusia dengan segala yang dimilikinya dapat saja berusaha menghancurkan Alkitab, namun alih-alih keberadaan Alkitab diruntuhkan, segala upaya jahat itu malah menjadi satu bukti kokoh ke-Ilahi-an Alkitab, yaitu melalui fakta adanya suatu pemeliharaan yang ajaib terhadap Alkitab. Jika Alkitab hanya buku biasa, maka tentu tidak mungkin Alkitab dapat mempertahankan eksistensinya hingga sekarang, di tengah perubahan jaman dan segala upaya untuk melenyapkan Alkitab. Namun justru karena Alkitab adalah Firman Tuhan, maka Allah yang empunya Alkitab dan yang telah menuliskannya bagi kita, mampu memelihara Alkitab dari bahaya apa pun. Sesungguhnya, kita manusia terlalu kecil dan tidak mampu menjaga Alkitab dari segala serangan-serangan yang hebat. Kita hanya bisa memainkan suatu peran yang kecil saja, Allah sendirilah yang akan berperang membela Firman-Nya. Tapi ingat, meski peran kita hanya kecil, Tuhan mau kita setia menjalankannya. Puji Tuhan.

Jika Allah sudah sedemikian rupa memelihara Alkitab, sudah sepantasnyalah kita sebagai orang yang percaya pada Yesus Kristus juga turut memelihara Alkitab. Bagaimana caranya? Tentu bukan dengan cara menyimpan Alkitab di dalam suatu lemari besi yang terkunci rapat. Atau dengan cara mengubur Alkitab di dalam tanah agar tidak terjangkau oleh tangan-tangan jahat. Bukan demikian.

Kita memelihara Alkitab dengan cara membacanya, merenungkannya, menjadi pelaku-pelaku Firman serta mengajarkan kebenaran di dalamnya kepada orang lain. Dengan cara ini, Alkitab menjadi sesuatu yang integral dengan hidup kita secara pribadi dan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jemaat Tuhan di dunia ini.

Manusia bisa membakar Alkitab, tetapi tidak mungkin melenyapkannya, apalagi mengubah kebenaran di dalamnya. Sungguh luar biasa Alkitab itu. Sepasukan tentara tidak bisa melenyapkannya. Waktu tidak dapat mengubahnya. Ideologi dan filsafat manusia yang ingin meruntuhkan ajaran Alkitab, malah runtuh terkubur bersama dengan para filsufnya.

Dari tulisan ini, kita belajar pula tentang bahayanya menjadi orang Kristen yang tidak mempelajari Alkitab. Kasus yang terjadi pada zaman kaisar Constantine dapat menjadi perenungan yang baik bagi kita. Janganlah kita cepat terkesima oleh pertumbuhan kuantitas orang Kristen, melainkan hendaklah kita dengan sunguh-sungguh mewartakan ajaran Kitab Suci pada orang-orang yang mengaku percaya. Pertumbuhan kuantitas yang tidak diiringi ajaran Kitab Suci yang benar dapat berakibat terulangnya sejarah gelap kekristenan pada era Constantine itu.

Dari kasus menakutkan yang terjadi pada Voltaire, kita juga belajar bahwa keangkuhan manusia yang menolak Kitab Suci pada akhirnya akan menghadapi hukuman dari Allah. Walaupun Voltaire mengaku tidak percaya, namun nuraninya memberi kesaksian bahwa Allah ada dan bahwa Yesus benar.[3] Itu sebabnya, ia berteriak memanggil Yesus yang semula ia umumkan sebagai tokoh khayalan. Pada masa sekarang, betapa banyaknya keangkuhan semacam Voltaire ini sedang terjadi di tengah-tengah kita. Janganlah kita gentar, melainkan waspada dan bersandarlah pada Allah yang akan berperang melawan musuh-musuh-Nya itu.

Marilah mulai sekarang kita semakin mencintai Alkitab kita yaitu dengan cara setia membaca, mempelajari, merenungkan, menghidupi dan mengajarkan kebenaran di dalamnya. Kita bersyukur boleh tinggal di sebuah negara di mana Alkitab dapat bebas dimiliki. Sekarang ini, setiap keluarga di Indonesia dapat memiliki lebih dari satu Alkitab, puji Tuhan, tetapi siapa yang dapat memastikan bahwa kondisi semacam ini akan berlangsung terus?

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, dan itu terbukti dari pemeliharaannya yang ajaib. Oleh karena Alkitab adalah Firman Tuhan, maka Dia pulalah yang akan memelihara Alkitab dari tangan-tangan jahat umat manusia. Terpujilah Allah yang telah ber-Firman melalui Alkitab dan berbahagialah kita yang boleh menerimanya dengan hati yang penuh sukacita.

Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: Izar Tirta).


[1] Stanley L.Greenslade, Cambridge History of the Bible,

[2] Hal ini disebutkan pula oleh Ray Ellis di dalam khotbahnya yang berjudul Victory in Time of Crisis tahun 2010.

[3] Hal semacam ini dicatat oleh Paulus dalam Roma 1:18-22. Semua orang tidak percaya yang hidup saat ini, bukan kekurangan bukti tentang Allah dan Yesus. Seperti Voltaire, mereka menekan kebenaran itu di dalam hati mereka. Pada saat meninggal dunia, kebenaran hati nurani itu akan bersaksi, sehingga mereka tidak dapat berdalih, namun sayangnya pada saat seperti itu segalanya mungkin sudah sangat terlambat.