Friday, March 24, 2023

Mengapa Injil Matius banyak bicara tentang Taurat?

Pengenalan Injil Matius

 

Injil Matius adalah injil yang isinya cukup unik dibandingkan dengan pemahaman orang Kristen pada umumnya. Sebab di dalam Injil ini, Matius mengajak pembacanya untuk kembali memperhatikan arti penting Hukum Taurat. Hal tersebut dilakukan oleh Matius karena agaknya jemaat Kristen pada jaman itu, telah salah paham terhadap hubungan antara iman kepada Tuhan Yesus dengan arti penting dari Taurat. [Baca juga: Tuhan Yesus adalah Raja, lalu? Klik disini.]

Banyak orang Kristen di jaman itu, dan juga di jaman kita, yang mengira apabila seseorang sudah beriman pada Tuhan Yesus, maka Hukum Taurat sudah tidak dibutuhkan lagi sehingga dapat diabaikan dan tidak perlu digubris. Ini adalah anggapan yang keliru. Hukum Taurat bukanlah musuh dari Injil. Sebab di dalam Kitab Taurat pun kita dapat menemukan pesan Injil, dan di dalam Kitab Injil pun kita dapat menemukan ajaran untuk kembali memperhatikan perintah Tuhan Yesus yang tentunya juga bersumber dari Hukum Taurat.

 

Kemiripan Injil Matius dengan Surat Yakobus

Kitab Perjanjian Baru yang pertama kali ditulis bukanlah Injil Matius, sekalipun Injil Matius ditempatkan sebagai Kitab yang pertama dari kumpulan Kitab Perjanjian Baru. Kitab Perjanjian Baru yang pertama adalah Surat Paulus kepada Jemaat Galatia, yaitu dituliskan pada sekitar tahun 49 Masehi.

Surat Galatia ditulis oleh Paulus sebagai bentuk pengajaran kepada orang Kristen yang telah salah kaprah terhadap iman Kristen yang mereka terima. Sebagai orang Yahudi yang mengenal Taurat, orang Kristen di jaman Paulus menyangka bahwa untuk mendapat keselamatan, maka seseorang harus menjalankan Hukum Taurat, dalam hal ini secara khusus adalah sunat, sebagai jalan yang melengkapi iman mereka. Hal itu terlihat dari sanggahan Paulus:

Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat. (Galatia 2:16)

Orang Kristen berkebangsaan Yahudi pada saat itu mengira bahwa orang lain di luar Yahudi harus percaya pada Yesus Kristus dan harus disunat menurut aturan Hukum Taurat. Ini adalah anggapan yang keliru dan Paulus berusaha mengoreksi hal tersebut: "seseorang dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus bukan karena melakukan Taurat."

Nasihat yang sebenarnya sangat baik ini ternyata justru disalahpahami pula oleh orang Kristen Yahudi dalam waktu-waktu selanjutnya. Orang Kristen Yahudi yang tadinya mengira harus melakukan Taurat, kini malah berbalik ke titik ekstrim berikutnya, yaitu mengabaikan Taurat sama sekali. Mereka bergerak dari kesesatan yang disebut legalisme, menuju ke jalan sesat berikutnya yaitu, anti nomianisme.

Kekristenan disebut anti-nomianisme ketika orang-orang Kristen yang mengaku percaya sudah tidak peduli lagi pada perintah Tuhan. Mereka menganggap bahwa yang penting adalah percaya pada Yesus Kristus, dengan jenis kepercayaan yang tanpa konsekuensi, tanpa relasi, tanpa pertobatan, tanpa perubahan hidup, tanpa perbuatan nyata yang sesuai dengan iman tersebut. Tentu saja ini merupakan anggapan yang sama kelirunya dengan legalisme.

Di dalam kebaikan-Nya, Tuhan menggerakkan Yakobus menuliskan Surat Yakobus yang isinya adalah teguran kepada orang Kristen anti-nomianisme tersebut. Menurut Yakobus, iman yang sejati tidak mungkin tidak disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan iman itu. Yakobus mengatakan sebuah kalimat yang terkenal: Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. (Yakobus 2:24, 26)

Sepintas kita mungkin heran bahwa Paulus dan Yakobus seakan-akan mengatakan hal yang saling bertentangan. Namun apabila kita mengerti latar belakang jemaat yang dihadapi oleh Paulus dan Yakobus, tentu kita seharusnya mengerti mengapa kedua orang itu digerakkan oleh Tuhan untuk menulis demikian.

Kepada jemaat yang bersifat legalistik, yaitu menganggap bahwa kita dibenarkan karena menjalankan Hukum Taurat, maka perkataan Paulus adalah solusinya. Menurut Paulus kita dibenarkan karena iman. Tetapi kepada jemaat yang menganggap bahwa iman kepada Tuhan Yesus adalah iman yang bebas dari perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan, maka perlu merenungkan tulisan Yakobus. Menurut Yakobus, iman yang sejati pasti disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan iman tersebut, yaitu keinginan untuk melakukan kehendak Tuhan.

Paulus dan Yakobus sama-sama menulis kebenaran, mereka tidak saling bertentangan di dalam pengajaran. Secara bersama-sama, Paulus dan Yakobus telah menuliskan arti dari Injil yang lengkap, Injil yang sejati, yang beritanya tidak sepotong-sepotong.

Injil Matius adalah tulisan yang cenderung mirip dengan surat Yakobus dalam hal menegur jemaat yang anti-nomianisme. Dari isi tulisan Matius, kita dapat merekonstruksi bahwa jemaat yang dihadapi Matius, mirip dengan jemaat yang dihadapi oleh Yakobus. Orang Kristen pada waktu itu, memiliki pengertian yang salah mengenai apa artinya percaya kepada Tuhan Yesus. Itu sebabnya di dalam Injil Matius ajaran yang lebih ditekankan bukanlah agar jemaat beriman, melainkan agar jemaat melakukan kehendak Tuhan, mengenal Tuhan Yesus dan menjadi murid serta ikut dalam pemuridan. Menjadi orang Kristen yang percaya pada Yesus Kristus berarti dengan rela siap menerima konsekuensi dan tanggungjawab yang sesuai dengan apa yang mereka percayai tersebut.

 

Beberapa indikasi adanya pesan Taurat di dalam Injil Matius

Pesan Taurat yang dimaksudkan dalam Injil Matius bukan terutama berbicara mengenai ritual keagamaan Yahudi, melainkan tentang hati yang mau memperhatikan perintah Tuhan serta bersedia untuk melakukan kehendak Tuhan tersebut. Orang Kristen tidak diharuskan menjalankan ritual keagamaan yang persis sama dengan apa yang diuraikan dalam Kitab Imamat misalnya. Sebab ritual-ritual itu telah digantikan oleh relasi kita dengan Pribadi Kristus.

Orang Kristen tidak lagi diharuskan menjalankan ritual pengorbanan domba, sebab sudah digantikan oleh pengorbanan Tuhan Yesus. Orang Kristen sudah tidak perlu lagi disunat, sebab sudah digantikan dengan pembaptisan di dalam nama Allah Tritunggal. Orang Kristen tidak lagi beribadah di hari ketujuh, yaitu Sabtu, sebab kini mereka beribadah di hari pertama, hari Minggu, yaitu hari kebangkitan Tuhan Yesus. (Yohanes 20:1, Kisah Para Rasul 20:7)

Orang Kristen tidak lagi menjalankan ritual Sabat seperti yang diatur dalam Hukum Taurat bukan karena Tauratnya keliru, tetapi karena ritualnya sudah digantikan oleh relasi dengan Pribadi Kristus yang bangkit di hari Minggu.

Ada ritual-ritual keagamaan yang sudah tidak dilakukan karena sudah diganti oleh relasi kita dengan Kristus, tetapi bukan karena hal itu sudah dianggap tidak berguna lagi. Merenungkan tentang Sabat masih tetap diperlukan, tetapi Sabat yang kita pahami bukan lagi tentang hari dimana kita beristirahat pada hari Sabtu, tetapi tentang bagaimana jiwa kita dapat berisitirahat dengan tenang di dalam Pribadi Kristus. Jadi bukan terutama tentang harinya, tetapi terutama tentang Pribadinya.

Apa gunanya melakukan ritual Sabat dengan ketat seperti orang Yahudi di hari Sabtu atau seperti orang Kristen di hari Minggu, tetapi jiwa kita terus resah, gelisah, terus mencari pengakuan dari orang lain, terus mencari penghiburan dari kekayaan, terus mencari cara, kesibukan dalam pekerjaan, hobi atau apapun saja, demi mengisi kekosongan di dalam jiwa? Gunanya apa merayakan ritual Sabat seperti itu, tetapi tidak menemukan istirahat yang sejati di dalam Pribadi Tuhan Yesus?

Jadi Injil Matius ingin membawa jemaat Kristen Yahudi untuk kembali merenungkan Perintah Taurat, tetapi bukan dalam pengertian ritualnya, melainkan dalam relasi yang tidak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan Taurat itu sendiri. Sebab inti dari Taurat, sebagaimana yang diajarkan kembali oleh Tuhan Yesus adalah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.

Kristus adalah penggenapan Taurat, bagaimana mungkin kita percaya pada Tuhan Yesus tetapi tidak menaruh kepedulian pada Hukum yang Tuhan sendiri berikan?

Dari awal mula sekali Injil Matius sudah dibuka dengan uraian tentang Silsilah Yesus Kristus. Ini adalah suatu gaya penuturan yang mengingatkan kita pada kitab Kejadian. Matius ingin membawa pembacanya untuk mengingat kembali Kitab yang mula-mula sekali di dalam kumpulan Taurat Musa.

Selanjutnya di dalam seluruh kitab Injil Matius ada lima khotbah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus. Ini adalah cara Matius mengingatkan jemaat pada waktu itu dengan lima kitab Taurat Musa. Memang isinya sendiri tidak persis sama, tetapi kesejajaran antara lima kitab utama Taurat dan lima khotbah Tuhan Yesus, merupakan pesan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Selain itu di dalam kitab Injil Matius kita akan mendapati bahwa Tuhan Yesus sendiri tidak memakai kriteria "percaya atau tidak percaya," ketika menilai kehidupan manusia. Dalam perkataan yang mungkin merupakan salah satu perkataan paling keras dari Tuhan Yesus mengusir orang-orang Kristen karena mereka tidak melakukan kehendak Bapa, Tuhan Yesus tidak mengenal mereka dan sekalipun mereka melakukan banyak mukjizat, Tuhan menganggap mereka sebagai pembuat kejahatan. (Matius 7:21-23)

Perhatikan bahwa Tuhan Yesus sama sekali tidak mengusir mereka karena dianggap kurang percaya, tidak ada pembahasan tentang percaya atau tidak percaya dalam kisah itu. Bahkan jika kita memakai kriteria seperti kekristenan di jaman sekarang, maka dapat dipastikan bahwa kita akan mengkategorikan orang-orang itu sebagai orang percaya, para Hamba Tuhan yang jelas-jelas hidupnya terlibat dalam pelayanan. Kasus ini sungguh-sungguh perlu menjadi renungan yang penting dalam hidup kita. Injil Matius sungguh-sungguh relevan bagi dunia kekristenan dewasa ini yang sudah terlalu banyak mengalami penyimpangan di dalam memahami arti kata percaya. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua. Amin


 

Saturday, March 4, 2023

Perbedaan antara perbuatan daging dan Buah Roh



Rasul Paulus membuat sebuah perbandingan antara perbuatan daging dan Buah Roh. Kedua hal ini merupakan hal yang dapat terlihat melalui perbuatan sehari-hari seorang manusia. [Baca juga: Apakah kebangkitan Yesus Kristus hanya bersifat subjektif semata-mata? Klik disini.]

Dalam keseharian, kita senantiasa berbuat sesuatu, kita bertindak ini dan itu, melakukan ini dan itu, beraktivitas ini dan itu, sangat banyak sekali macamnya. Yang menjadi pertanyaan disini adalah, apakah segala Tindakan dan perbuatan itu merupakan perbuatan yang bersifat daging, ataukah perbuatan itu merupakan buah dari Roh Kudus?

Agar pembacanya tidak keliru, Rasul Paulus membuat perbandingan yang konkret beserta contoh-contoh atau ciri-ciri dari masing-masing sumber perbuatan tersebut.

 

Perbuatan daging

Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. (Galatia 5:19-21)

Di dalam tulisan tersebut, Rasul Paulus telah menyebutkan belasan contoh dari apa yang dimaksud dengan perbuatan daging. Dan agaknya belasan contohnya inipun masih belum cukup mewakili keseluruhan perbuatan daging manusia sehingga Rasul Paulus menambahkan kata “dan sebagainya.”

Perbuatan daging, sebagaimana disebutkan dalam contoh tersebut, merupakan perbuatan yang digerakkan oleh sifat keberdosaan kita. Alkitab mengajarkan bahwa sebagai manusia, yaitu semua manusia tanpa terkecuali, telah dicemari oleh dosa. Semenjak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kita semua pun turut mengambil bagian di dalam dosa tersebut. Akibatnya, segala perbuatan manusia itu, senantiasa dicemari atau digerakkan oleh sifat dosa. Perbuatan daging adalah produk natural yang dihasilkan oleh manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.

Sifat dari perbuatan daging adalah fragmented, atau terpecah-pecah. Maksudnya, seseorang bisa saja tidak secara nyata terlibat dalam sihir, tetapi mungkin ia terlibat di dalam percabulan. Atau, seseorang bisa saja jarang menunjukkan amarah kepada orang lain, terlihat seperti orang yang sabar, tetapi mungkin saja diam-diam ternyata ia adalah orang yang suka dengki, mabuk dan penuh dengan hawa nafsu. Perbuatan yang satu bisa terpisah dari perbuatan yang lain.

Perbuatan daging bersifat plural (jamak). Ini sangat berbeda di dalam sifatnya apabila dibandingkan dengan Buah Roh yang bersifat singular.

 

Buah Roh

Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. (Galatia 5:22-23)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Buah Roh itu bersifat singular atau tunggal, sebagai kontras dari perbuatan daging yang bersifat plural. Artinya, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa ia kurang di dalam cinta kasih, tetapi ia adalah orang yang penuh sukacita. Hal itu tidak mungkin terjadi, sebab Buah Roh itu merupakan hasil dari Roh yang satu, bukan roh yang terpecah-pecah. Ketika Roh Kudus bekerja di dalam diri seseorang, menumbuhkan cinta kasih kepada Tuhan dan kepada sesama, maka pada saat yang bersamaan orang itu juga memiliki sukacita, damai sejahtera, kesabaran dan seterusnya. Inilah yang dimaksud dengan singularity atau ke-satu-an dari pekerjaan Roh Kudus dalam diri manusia.

Berbeda dengan perbuatan daging yang merupakan produk atau hasil dari dalam diri manusia itu sendiri, Buah Roh adalah hasil perbuatan dan pekerjaan Roh Kudus di dalam diri orang percaya. Roh Kudus-lah yang menganugerahkan seseorang untuk memiliki kasih sehingga secara bersamaan orang itu juga memiliki kualitas lain dari Buah Roh.

Manusia tidak bisa memiliki Buah Roh dengan kekuatannya sendiri, hanya melalui pengenalan akan Allah Tritunggal dan melalui persekutuan dengan Kristus Yesus, manusia diberi kemampuan atau anugerah oleh Roh Kudus untuk menghasilkan buah spiritual di dalam kehidupannya.

Allah Tritunggal menginginkan kita sekalian yang percaya kepada-Nya untuk menghasilkan Buah Roh. Tanda bahwa seseorang sudah diselamatkan adalah hadirnya buah Roh di dalam kehidupan orang itu. Apabila kita sendiri belum merasa memiliki buah Roh di dalam kehidupan kita, maka kita dapat meminta kepada Allah Tritunggal, agar Roh Kudus bekerja di dalam dirinya menghasilkan buah spiritual tersebut.

Tidak semua orang Kristen otomatis tertarik akan hal ini, banyak yang mungkin hanya tertarik pada konsepnya, atau suka pada idenya, atau setuju pada pengajarannya. Akan tetapi tidak semua orang Kristen akan merasa cemas atau memikirkan dengan serius, memeriksa diri dengan sungguh-sungguh apakah buah Roh sebagaimana yang disebutkan dalam Galatia itu sudah hadir ataukah belum di dalam kehidupannya. Jika kita termasuk orang yang demikian, kita patut bersyukur, sebab kecemasan seperti itu adalah kecemasan yang sehat, yang akan membawa kita kepada pertumbuhan rohani yang benar.

Banyak orang merasa cemas karena kurang memiliki uang dan harta benda di dalam kehidupannya. Tidak sedikit manusia yang merasa terganggu ketika kurang mendapat pengakuan atau kurang memperoleh pujian dari sesama manusia. Tetapi sayangnya, mereka sama sekali tidak merasa cemas atau bahkan tidak peduli ketika tidak ada kehadiran Buah Roh di dalam hidupnya.

Sesungguhnya kondisi seperti itu merupakan hal yang berbahaya, sebab jika seseorang ada dalam kondisi yang seperti demikian, dan apabila kondisi tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang lama, serta bersifat terus menerus, maka sangat mungkin orang itu sebetulnya belum lahir baru, meskipun secara kasat mata ia adalah orang Kristen.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk mengalami persekutuan di dalam Dia sehingga dapat menghasilkan buah kerohanian yang melimpah. Amin.