Thursday, March 17, 2022

Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama kita terbentuk?

Kanonisasi Alkitab – Perjanjian Lama
Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab

 

Kanonisasi Alkitab Perjanjian Lama

 

Dalam tulisan berjudul “Arti penting kitab Perjanjian Lama bagi Yesus Kristus” [Klikdisini.] saya sudah membahas tentang bagaimana sikap dan pandangan Tuhan Yesus terhadap Alkitab, yaitu Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Pada waktu Tuhan Yesus hadir di dalam keberadaan-Nya sebagai Manusia di dunia ini, Alkitab Perjanjian Baru belum dituliskan, oleh karena itu Alkitab yang tersedia bagi Tuhan Yesus dan orang-orang di zaman-Nya hanyalah Alkitab Perjanjian Lama.

Pertanyaan kita adalah, apakah Alkitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus saat itu, sama dengan Alkitab Perjanjian Lama seperti yang kita miliki saat ini?

 

Bagaimana kitab-kitab Perjanjian Lama itu bermula?

Jika dalam tulisan sebelumnya saya mengutip pandangan Ralph O.Muncaster tentang Kitab Ayub sebagai kitab yang paling tua,[1] maka dalam pembahasan kali ini saya tidak lagi membahas soal kitab mana yang paling tua dari Perjanjian Lama. Kita tidak masuk ke dalam pembahasan apakah Kitab Kejadian ataukah Kitab Ayub yang lebih dulu dituliskan. Yang menjadi pusat perhatian kita dalam tulisan ini adalah sejak kapan upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang dianggap sebagai kitab suci itu terjadi?

Di tinjau dari sudut pandang waktu, upaya pertama untuk menyimpan tulisan Ilahi ke dalam suatu kumpulan tertentu, sangat mungkin terjadi pada saat Allah sendiri menuliskan perkataan-Nya di atas dua loh batu dengan menggunakan jari-Nya sendiri di atas Gunung Sinai. [Baca juga: Mengapa kita perlu memahami Kanonisasi Alkitab? Klik disini.]

Perkataan Allah, yang kemudian kita kenal sebagai 10 Perintah Allah itu, menjadi koleksi tulisan tertua yang kemudian, dengan berjalannya waktu, semakin berkembang sedemikian rupa hingga menjadi suatu kitab yang kemudian kita miliki saat ini. Peristiwa itu dicatat oleh Musa demikian: Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulisi oleh jari Allah. [2]

Dan sebagai penegasan, Musa kembali mengulang pernyataannya: Kedua loh itu ialah pekerjaan Allah dan tulisan itu ialah tulisan Allah, ditukik pada loh-loh itu. [3]

Berdasarkan ayat ini kita diyakinkan bahwa bentuk tulisan yang tertua dan pertama dari Perjanjian Lama adalah hasil karya tulisan tangan Allah sendiri.

Setelah Allah menulis perkataan-Nya, dua loh batu tersebut kemudian disimpan di dalam tabut perjanjian, dan sepanjang perjalanan Israel di padang gurun, catatan atas perkataan Tuhan itu terus dituliskan oleh Musa sedemikian hingga kumpulan kitab itupun semakin lama menjadi semakin berkembang dan jumlahnya pun menjadi semakin banyak.

Kitab Ulangan adalah kitab terakhir di antara lima kitab yang ditulis oleh Musa. Dan di dalam tulisan terakhir tersebut kita membaca suatu penegasan bahwa Musa-lah yang menulis segala perkataan hukum Taurat itu hingga perkataan yang penghabisan.[4]

Dan setelah segala tulisan itu rampung, maka tulisan yang sudah terkumpul menjadi kitab Taurat tersebut diletakkan di suatu tempat yang sangat khusus. Dalam kitab Ulangan ada tertulis demikian: maka Musa memerintahkan kepada orang-orang Lewi pengangkut tabut perjanjian TUHAN, demikian: "Ambillah kitab Taurat ini dan letakkanlah di samping tabut perjanjian TUHAN, Allahmu, supaya menjadi saksi di situ terhadap engkau. [5]

Sebagaimana kita baca dalam ayat di atas, segala yang dituliskan oleh Musa itu diletakkan di samping tabut perjanjian Tuhan sehingga bangsa Israel dapat mengetahui syarat dan perjanjian (covenant) antara Allah dan umat-Nya.

Dan bukan hanya karena ditaruh di samping tabut perjanjian saja maka tulisan itu menjadi penting, melainkan karena tulisan-tulisan itu telah menjadi saksi bagi Israel di hadapan Allah. Artinya, apa yang ditulis oleh Musa bukanlah tulisan yang tidak diketahui oleh Tuhan. Baik Tuhan maupun bangsa Israel telah menjadi saksi dari segala sesuatu yang dituliskan tersebut. Musa tidak mungkin menuliskan segala sesuatu yang tidak sesuai di mata Tuhan maupun tidak sesuai di mata orang Israel.

Betapa luarbiasanya penghargaan yang diberikan kepada tulisan-tulisan itu sehingga ditaruh berdampingan dengan tabut perjanjian Tuhan, bukan? Hal ini juga menjadi petunjuk bahwa tulisan Musa itu sungguh-sungguh bukan tulisan yang sembarangan, melainkan sebuah tulisan otoritatif yang diterima sebagai perkataan Allah sendiri.

Jadi di satu sisi, orang Israel tahu bahwa tulisan itu ditulis oleh Musa, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga tahu bahwa tulisan tersebut adalah perkataan atau tulisan Allah sendiri, yaitu Firman Tuhan yang disampaikan melalui Musa. Dari sinilah berkembang suatu konsep pemahaman tentang Kitab Suci (sacred writings) di dalam benak orang Israel.

Konsep tentang Kitab Suci sebagaimana yang dipahami oleh orang Israel di zaman Musa ini masih kita pegang hingga saat ini. Bagi orang Kristen, Alkitab yang kita baca saat ini bukanlah sebuah buku biasa. Alkitab adalah sebuah buku yang ditulis oleh manusia, sekaligus merupakan buku yang ditulis oleh Allah sendiri melalui manusia-manusia yang dipilih untuk melakukan hal tersebut.

Sungguh disayangkan apabila di zaman modern ini banyak orang yang tidak bisa melihat karya Allah di balik terbentuknya Alkitab. Sangat memprihatinkan jika ada orang di zaman sekarang ini yang hanya bisa menerima Alkitab sebagai tulisan manusia saja. Sebab sejak awal mula terbentuknya Alkitab, orang di zaman itu tahu bahwa tulisan-tulisan itu adalah 100% tulisan Allah dan 100% tulisan manusia.

Kekristenan yang sejati tidak pernah mengajarkan adanya tulisan di dalam Alkitab yang 100% ditulis oleh Allah saja tanpa memakai keterlibatan manusia. Dan kekristenan  yang sejati juga tidak pernah menerima pandangan bahwa Alkitab adalah tulisan yang 100% ditulis oleh manusia saja, tanpa ada keterlibatan Allah di dalamnya.

 

Bagaimana kitab-kitab Perjanjian Lama itu
berkembang setelah zaman Musa?

Setelah Musa meninggal dunia, kepemimpinan Israel berpindah ke tangan Yosua, yaitu seorang panglima perang yang sebelumnya telah begitu setia menyertai Musa.

Dalam kitab Yosua sendiri terdapat suatu penegasan bahwa Yosua juga mendapat peran yang sama seperti Musa sebagai orang yang diberi wewenang oleh Allah sendiri untuk membuat tulisan yang kemudian menjadi Kitab Suci pula. Di dalam Alkitab kita ada tertulis: Yosua menuliskan semuanya itu dalam kitab hukum Allah, lalu ia mengambil batu yang besar dan mendirikannya di sana, di bawah pohon besar, di tempat kudus TUHAN. [6]

Bangsa Israel dapat menerima tulisan Yosua sebagai tulisan yang layak disejajarkan dengan tulisan Musa, yaitu tulisan-tulisan yang memiliki otoritas dari Allah sendiri.

Sebetulnya, hal ini bukan sesuatu yang mudah bagi Yosua, sebab di dalam kitab Ulangan yang ditulis oleh Musa, ada peringatan agar jangan ada orang yang menambahkan atau mengurangkan segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah.[7] Sehingga jika pada akhirnya tulisan Yosua dapat diterima, maka kita boleh percaya bahwa Allah sendirilah yang telah memberi keyakinan kepada Yosua untuk menuliskan hal tersebut bagi Allah. Dan bukan hanya Yosua yang telah diyakinkan, tetapi bangsa Israel pun telah diyakinkan pula oleh Allah untuk menerima tulisan Yosua sebagai tulisan yang berotoritas Ilahi.

Setelah zaman Yosua berlalu, Allah terus berbicara kepada bangsa Israel melalui para nabi-Nya. Ada banyak nabi yang telah dipakai untuk menjadi jurubicara ataupun jurutulis bagi Allah, agar mereka menyampaikan isi hati Allah kepada manusia melalui tulisan-tulisan mereka.

Kelompok nabi-nabi tersebut dapat kita bagi menjadi dua kategori, yaitu:

  • nabi-nabi besar
  • nabi-nabi kecil.

Mereka disebut sebagai nabi besar dan nabi kecil bukan disebabkan karena ukuran tubuh mereka yang besar ataupun yang kecil, dan bukan pula karena kualitas kerohanian mereka yang dinilai besar ataupun kecil. Sama sekali bukan seperti itu.

Kelompok nabi-nabi besar berisi orang-orang yang memiliki volume tulisan besar atau banyak atau panjang. Sedangkan kelompok nabi-nabi kecil biasanya berisi orang-orang yang memiliki tulisan yang relatif singkat.

Adapun yang tergolong sebagai nabi-nabi besar adalah:
Yesaya, Yeremia Yehezkiel dan Daniel.

Sedangkan yang tergolong sebagai nabi-nabi kecil adalah:
Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi.

Dengan diutusnya nabi-nabi tersebut oleh Allah kita maka tulisan-tulisan yang termasuk di dalam Kitab Suci juga terus mengalami perkembangan di dalam jumlahnya. Pada kira-kira tahun 435 SM, Allah mengutus nabi yang terakhir di dalam era Perjanjian Lama yaitu Maleakhi. Tulisannya dapat kita baca di dalam kitab Maleakhi, yaitu kitab yang diberi judul sesuai dengan nama nabi yang diutus tersebut.

Di dalam kumpulan Alkitab Perjanjian Lama yang kita miliki sekarang ini, kitab Maleakhi ditempatkan pada urutan paling akhir. Hal itu bukan suatu kebetulan, sebab orang Israel sendiri pun menyadari bahwa setelah Maleakhi itu, tidak ada lagi tulisan-tulisan berotoritas yang layak disejajarkan dengan perkataan dari Firman Tuhan.

Memang betul bahwa bangsa Israel masih terus mencatat sejarah dari bangsa mereka, namun catatan-catatan sejarah tersebut tidak lagi dianggap sebagai catatan yang bersifat Ilahi. Kitab-kitab yang ditulis setelah kitab Maleakhi, oleh bangsa Israel tidak dianggap sebagai catatan yang merupakan inspirasi langsung dari Allah.

Hal ini menegaskan bahwa kumpulan tulisan Apocrypa (atau yang sekarang disebut juga sebagai Deuterokanonika) yang ditulis setelah zaman Maleakhi juga tidak pernah dianggap oleh orang Yahudi sebagai kumpulan kitab yang termasuk di dalam kitab suci.[8]

Pada zaman Tuhan Yesus hidup dan melayani sebagai Manusia, kumpulan kitab-kitab Perjanjian Lama yang diterima oleh bangsa Yahudi terdiri dari 24 buku. Sedangkan pada zaman kita sekarang, ada 39 buku yang disebut sebagai Alkitab Perjanjian Lama. Apakah hal ini berarti adanya suatu perbedaan antara kitab-kitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus dengan kitab-kitab yang dibaca oleh kita? Jawabannya adalah tidak.

Perbedaan antara 24 buku yang diakui oleh orang Yahudi (termasuk oleh Tuhan kita) dengan 39 buku yang kita miliki sekarang terletak pada pengelompokannya saja. Sebagai contoh, kitab Raja-raja yang saat ini kita miliki terdiri dari dua kitab, yaitu 1 Raja-raja dan 2 Raja-raja. Sedangkan bagi orang Yahudi, kedua kitab itu dianggap sebagai satu kitab saja. Hal semacam ini terjadi pula pada kitab Samuel dan kitab Tawarikh. Dimana di dalam Alkitab kita dipisahkan menjadi dua buku sementara oleh orang Yahudi digabungkan menjadi satu buku saja.

Contoh lain misalnya terdapat pada kitab Ezra dan kitab Nehemia, di dalam Alkitab kita kedua kitab itu dianggap sebagai kitab-kitab yang terpisah. Ada kitab Ezra sendiri, lalu ada kitab Nehemia sendiri. Sedangkan orang Yahudi menanggap kedua buku tersebut adalah satu kesatuan yaitu disebut sebagai kitab Ezra-Nemiah.

Contoh perbedaan jumlah yang paling besar barangkali dapat kita temukan di dalam kitab nabi-nabi kecil, dimana di dalam Alkitab PL kita dianggap sebagai dua belas kitab yang terpisah, sementara bagi orang Yahudi kedua belas buku itu dianggap sebagai satu buku saja.

Jadi sekali lagi, perbedaan antara jumlah buku di zaman Yesus Kristus, yaitu 24 buku, dengan jumlah buku di zaman kita sekarang, yaitu 39 buku, semata-mata terletak di dalam tata cara pengelompokkannya saja. Apabila semua kitab itu ditinjau sebagai kumpulan tulisan yang utuh, maka apa yang kita baca hari ini di dalam Alkitab PL kita adalah sama persis dengan apa yang dibaca oleh Tuhan kita Yang Mahamulia itu.

 

Daftar Kitab Suci yang diakui oleh orang Yahudi
pada zaman Tuhan Yesus

Orang Yahudi membagi Kitab Suci mereka ke dalam 3 kelompok besar, yaitu:
Torah, Nebiim dan Ketubiim.

Torah, kita mengenalnya sebagai kitab Taurat, terdiri dari 5 buku, yaitu:
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan.

Nebiim, atau dikenal juga sebagai kitab para nabi.

Kumpulan kitab Nebiim ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

  • Nabi-nabi yang terdahulu (Former Prophets), terdiri dari 4 buku
  • Nabi-nabi yang terkemudian (Latter Prophets), juga terdiri dari 4 buku

Adapun empat buku dalam kitab nabi-nabi yang lebih awal adalah:
Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja

Sedangkan empat buku dalam kitab nabi-nabi yang terkemudian adalah:
Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Nabi-nabi kecil (The book of the Twelve Prophets)

Ketubiim, atau disebut juga sebagai kitab-kitab atau the writings terdiri dari 11 buku.

Dari 11 buku itu dibagi menjadi 3 kelompok:

Kelompok pertama, yaitu:
Mazmur, Amsal, Ayub.

Kelompok kedua (disebut juga Megillot atau scroll), yaitu:
Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester.

Kelompok ketiga, yaitu:
Daniel, Ezra-Nehemia, Tawarikh.

Sebagaimana dapat kita lihat di dalam kumpulan kitab tersebut, tidak ada satupun kitab Apocrypa yang dimasukkan ke dalam kelompok kitab suci oleh orang Yahudi. Adapun daftar kitab Apocrypa yang umumnya disisipkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah: Tobit, Yudit, Tambahan Ester, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, Tambahan Daniel, 1 Makabe dan 2 Makabe.

 

Pendapat Tuhan Yesus
tentang Kanonisasi Perjanjian Lama

Selama pelayanan-Nya, Tuhan kita tidak secara terperinci menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kanonisasi. Meskipun demikian, bukan berarti Tuhan Yesus tidak menyadari bahwa pembagian kitab suci ke dalam 3 kelompok besar itu memang ada.

Dari Perjanjian Baru, kita tahu bahwa Lukas sempat mencatat perkataan Tuhan Yesus berkenaan dengan pembagian kanonisasi yang umumnya diterima oleh orang Yahudi pada waktu itu. Tuhan Yesus berkata:

 

"Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur." [9]

Perhatikan bagian terakhir dari kalimat Tuhan kita, di sana ada disebutkan kitab Taurat Musa, kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. Ini sama dengan 3 kelompok besar kitab suci orang Yahudi yang saya sebutkan sebelumnya, bukan?

Memang untuk kelompok yang terakhir, Tuhan hanya menyebut Mazmur. Namun dengan hanya menyebut kitab Mazmur saja, orang Yahudi sudah memahami bahwa yang dimaksudkan Tuhan adalah keseluruhan kitab yang tergabung di dalam kelompok Ketubiim, di mana Mazmur adalah kitab pertama yang terdapat di dalam kelompok tersebut.

 

Akhir kata

Bagi kita sangat beralasan untuk meyakini bahwa seluruh Perjanjian Lama yang sekarang ini kita miliki adalah kumpulan kitab yang sama dengan yang dibaca oleh Tuhan Yesus, dibaca oleh para rasul dan dibaca pula oleh orang-orang Yahudi ketika itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses kanonisasi Perjanjian Lama sebetulnya sudah selesai bahkan sejak zaman Tuhan Yesus sendiri.[10]

Biarlah saat inipun, yaitu saat setelah Perjanjian Baru tersedia, kita tetap boleh menerima serta menghargai Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana Tuhan kita menghargainya. Di dalam tulisan selanjutnya kita akan melihat hal-hal apa saja yang membuat kita tidak bisa menerima Apocrypa sebagai bagian dari kitab suci kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita dengan memberikan hati seorang murid. (Oleh: Izar Tirta)


[1] Pandangan Ralph O.Muncaster ini bukan satu-satunya pandangan yang diterima secara bulat oleh para cedekiawan Kristen, ada yang berpendapat kitab Ayub ditulis pada zaman Abraham, ada pula yang berpendapat bahwa kitab Ayub ditulis kira-kira 400 tahun sebelum Musa, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa kitab Ayub dituliskan pada abad ke 6 bahkan abad ke 4 SM. Bagi kita segala variasi pandangan itu tidak terlalu menjadi persoalan sebab bagaimana pun juga kitab Ayub pada akhirnya diterima secara bulat oleh orang Yahudi sebagai bagian dari seluruh Kitab Suci.

[2] Keluaran 31:18

[3] Keluaran 32:16

[4] Ulangan 31:24

[5] Ulangan 31:25-26

[6] Yosua 24:26

[7] Ulangan 4:2

[8] Mengenai Apocrypa akan kita bahas dalam tulisan tersendiri

[9] Lukas 24:44

[10] Untuk mempelajari kanonisasi Perjanjian Lama secara lebih terperinci, silahkan membaca karya F.F Bruce, The Canon of Scripture yang juga menjadi sumber utama, walau bukan sumber satu-satunya, di dalam rangkaian tulisan saya ini.