Monday, May 25, 2020

Ketika Batu-Batu Berteriak

Alkitab sebagai Catatan Sejarah Penyelamatan Yang Akurat
Serie tulisan: Bukti Alkitab adalah Firman Tuhan




Ketika Ia dekat Yerusalem, di tempat jalan menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mujizat yang telah mereka lihat. Kata mereka: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!" Beberapa orang Farisi yang turut dengan orang banyak itu berkata kepada Yesus: "Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu." Jawab-Nya: "Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak." (Lukas 19:37-40)

 
Buku "Arkeologi Dan Sejarah Alkitab"
 
Sekilas, ucapan terakhir Tuhan Yesus dalam dialog di atas hanya terdengar seperti suatu sindiran pada mereka yang tidak percaya. Namun nyatanya dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia, kita tahu bahwa batu-batu pun dapat menyampaikan sebuah kisah. Kisah yang sulit dibantah. Kisah yang menggedor intelektual dan mengusik nurani setiap insan yang ragu. Saat ini telah terbukti, bukan hanya manusia yang dapat bercerita, batu-batuan pun dapat meneriakkan kemuliaan nama Tuhan. [Baca juga: Proses penulisan Alkitab yang sangat ajaib. Klik disini.]

Arkeologi: pengertian dan peranannya bagi Alkitab

Arkeologi, dalam pengertian sederhana, merupakan suatu studi sistematis terhadap hal-hal yang ditinggalkan oleh kebudayaan masa lampau. Studi ini mulai menarik perhatian para ilmuwan pada sekitar abad 17, namun tujuan utamanya ketika itu adalah untuk mencari harta karun. Baru pada abad 19, ilmu ini mulai berkembang untuk tujuan mempelajari kebudayaan kuno.

Bagi Alkitab, peran atau fungsi arkeologi adalah untuk memeriksa kebenaran dari peristiwa, orang-orang dan tempat-tempat yang dituliskan dalam Alkitab. Atau dengan kata lain, arkeologi adalah suatu alat bantu yang berguna untuk membuktikan bahwa Alkitab berisi catatan sejarah yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun ironisnya, ilmu ini mula-mula justru dipakai oleh mereka yang tidak percaya kepada Yesus. Mereka melakukan berbagai penggalian Arkeologi justru untuk membuktikan bahwa Alkitab penuh dengan mitos, takhayul dan bahkan kebohongan. Akan tetapi, semakin banyak para ilmuwan ateis itu menggali situs-situs sejarah masa lampau, semakin banyak pula temuan-temuan yang membenarkan segala sesuatu yang tertulis di dalam Alkitab. Hingga akhirnya, para ilmuwan itu justru memakai Alkitab sebagai panduan untuk menemukan peninggalan-peninggalan sejarah yang belum mereka ketahui.

Hasil dari penggalian lebih lanjut tersebut bahkan lebih mengejutkan lagi, kebudayaan-kebudayaan kuno yang semula diperkirakan tidak mungkin ada, melalui arkeologi dengan Alkitab sebagai panduan, justru ditemukan. Kota-kota yang selama ini hanya dianggap dongeng oleh para intelektual, ternyata sungguh-sungguh ada, persis seperti yang dikatakan Alkitab. Dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun terakhir ini, melalui arkeologi telah terjadi suatu “ledakan penemuan” yang tak terbantahkan bahwa apa yang ditulis dalam Alkitab benar adanya.

Josh Mc.Dowell, seorang penulis dan apologet Kristen pernah mengatakan:
"Biblical archaeology is defined as the investigation of ancient material cultures with a view to illuminating the cultural milleus of biiblical narratives" (Josh McDowell, Evidence That Demands a Verdict)

Arkeologi tanpa sejarah adalah sesuatu yang tidak berarti. Arkeologi hanya dapat memberitahukan adanya serangkaian perkembangan kebudayaan, tetapi tidak dapat memberikan suatu kronologi atau urutan waktu yang persis. Sejarah memberitahukan kepada kita kronologi, peristiwa-peristiwa, orang-orang, tempat-tempat di masa lalu. Walaupun arkeologi dapat membuktikan sejarah Alkitab, namun adalah di luar bidang arkeologi untuk membuktikan bahwa Alkitab adalah Firman Allah.

Dengan kata lain, arkeologi hanyalah alat bantu yang terbatas, dibutuhkan bukti-bukti lain yang saling melengkapi untuk sampai pada kesimpulan bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Meskipun demikian, sumbangsih yang diberikan oleh arkeologi bagi diterimanya Alkitab sebagai tulisan yang berotoritas di antara manusia yang tidak percaya, tidaklah sedikit. Berikut ini kita akan melihat sedikit contoh dari temuan arkeologi.

Dalam Kejadian 4 disebutkan bahwa salah satu keturunan Kain adalah Yubal yang disebut sebagai “bapa semua orang yang memainkan kecapi dan suling.” Penggalian arkeologi di daerah Ur, tempat lahirnya Abraham dan juga tempat yang diduga merupakan lokasi Taman Eden, menemukan bukti paling awal dari alat musik senar dan tiup. Ini mengubah pandangan dunia sebelumnya tentang sejarah musik tertua.

Kisah Nuh dengan air bah, barangkali lebih sering dipandang sebagai dongeng sebelum tidur oleh manusia yang merasa dirinya pintar, akan tetapi arkeologi telah menemukan lebih dari 200 laporan dari berbagai budaya di dunia tentang banjir besar yang memusnahkan manusia dan binatang. Misalnya catatan raja Asurbanipal, dari Asyur. Lalu pada tahun 1854 di daerah yang diperkirakan lokasi Niniwe, ditemukan pula catatan yang sangat mirip dengan laporan Alkitab tentang banjir itu. Begitu miripnya sampai detil-detil seperti nama Nuh, jumlah orang dalam bahtera dan pelepasan seekor burung untuk melihat apakah air sudah surut, disebutkan pula dalam catatan tersebut.

Menara Babel yang disebutkan dalam Kejadian 11 juga ditemukan di daerah yang sangat diyakini sebagai wilayah Babel. Dalam wilayah itu ditemukan tempat penyembahan yang menjulang tinggi dan dibangun dengan batu bata, persis seperti yang dikatakan Alkitab. Sebuah tulisan dalam tablet tanah liat yang ditemukan di sana menyebutkan tentang sebuah tempat penyembahan yang “menggusarkan hati dewa” sehingga kuil itu dimusnahkan dalam semalam, dan orang-orang di sana tercerai-berai sambil mengucapkan “suara-suara aneh” yang tidak dapat saling mereka pahami.

Kota Sodom dan Gomora yang dihancurkan Tuhan, pernah dianggap sebagai mitos belaka. Namun penggalian yang dilakukan di Tell Mardikh, menemukan catatan-catatan yang menyebutkan dua nama kota itu. Sodom dan Gomora ternyata memang pernah ada, dan telah benar-benar hancur karena dihukum oleh Tuhan.

Masih sangat banyak temuan-temuan arkeologis yang meneguhkan catatan-catatan dalam Alkitab, dan tentu kita tidak dapat membahasnya satu persatu dalam tulisan yang singkat ini. Namun yang penting untuk kita perhatikan adalah bahwa semuanya itu dapat dipakai Tuhan untuk memperingatkan generasi yang bengkok di zaman kita ini bahwa benda-benda mati seperti bebatuan peninggalan masa lampau pun dapat menceritakan kemuliaan Tuhan yang ajaib. Dari hal ini kita juga dapat belajar bahwa sikap sombong dalam melayani Tuhan sangatlah tidak pantas. Sebab jika Tuhan mau, Ia dapat saja memakai benda-benda mati untuk bersaksi bagi Dia, seperti yang dapat dibaca pada kisah kesaksian berikut ini.

Kesaksian dua orang William

Ada dua orang William, sama-sama berprofesi sebagai arkeolog dan sama-sama tidak percaya pada Alkitab.

Yang pertama William Albright, ia berusaha membuktikan bahwa kisah sejarah yang terdapat dalam Perjanjian Lama bukanlah suatu kisah nyata. Ia bermaksud menggunakan arkeologi untuk membuktikan bahwa Alkitab hanyalah omong kosong belaka. Akan tetapi, selama studi lapangan yang ia mulai sejak tahun 1930 (hingga tahun kematiannya pada 1971) Albright menemukan fakta-fakta yang justru mendukung Alkitab. Albright tidak dapat menghindar lagi, ia akhirnya menjadi orang percaya.

Jika Albright meragukan PL, maka pada akhir abad 19 William Ramsay melakukan studi arkeologi yang mendalam di Asia Kecil dan Timur Tengah untuk melecehkan tulisan Lukas di PB yang tidak dipercayainya. Namun apa mau dikata, semua temuan dari studinya itu justru menegaskan bahwa apa yang dikatakan Lukas benar adanya. Dunia akademik tempat ia biasa bersosialisasi ikut terguncang ketika Ramsay mengumumkan bahwa Lukas adalah salah satu sejarahwan terbesar yang pernah ada. Tak pelak lagi, Ramsay pun akhirnya menjadi percaya.

Sejarah: makna pentingnya bagi iman Kristen

Sebagai orang Kristen pusat perhatian kita adalah Alkitab, yaitu Firman Tuhan yang juga berisi catatan sejarah dengan tingkat keakuratan yang sangat tinggi. Kita tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa Alkitab adalah Firman Allah semata-mata dari penyelidikan arkeologi, diperlukan petunjuk-petunjuk dari sisi yang lain. Arkeologi bahkan tidak berarti sama sekali tanpa adanya catatan dan penjelasan dari Alkitab.

Arkeologi juga tidak mungkin mampu menolong umat manusia untuk masuk ke dalam pengenalan akan Pribadi Allah yang sejati. Namun arkeologi dapat menjadi salah satu sarana penunjuk bagi manusia bahwa Alkitab benar dan bahwa Alkitab adalah catatan sejarah yang dapat diandalkan karena sifatnya yang akurat.

Semoga pengertian ini memperkaya cara pandang kita terhadap Alkitab. Alkitab kita bukanlah buku kuno yang berisi dongeng, melainkan suatu catatan sejarah yang akurat. Oleh karena itu, janganlah kita anggap sepi cerita-cerita di dalam Alkitab. Walaupun beberapa di antaranya terdengar bagaikan “dongeng hebat” yang penuh dengan peristiwa fantastis, yakinilah bahwa semuanya itu sungguh-sungguh pernah terjadi di dalam sejarah umat manusia.

Allah kita adalah Allah yang berbicara dan berkarya melalui sejarah. Oleh karena itu sungguh bijaksana jika orang Kristen memperhatikan sejarah penyelamatan yang dilakukan oleh Allah.

Akan tetapi pada zaman sekarang, kekristenan mulai cenderung lebih suka pada hal-hal supranatural dan mencari-cari suara Allah di masa kini pada orang-orang tertentu, terkagum-kagum pada mukjizat-mukjizat serta mulai meninggalkan penyelidikan terhadap sejarah penyelamatan Allah di dalam Alkitab. Sikap semacam ini amat berbahaya, sebab bukan berarti bahwa Allah tidak mungkin lagi berbicara pada kita di masa kini. Bukan pula berarti bahwa mukjizat sudah tidak mungkin lagi terjadi di masa sekarang. Akan tetapi karena karya Allah yang sejati hanya dapat dipahami dengan benar melalui sejarah penyelamatan yang dituliskan dalam Alkitab, maka jika kita tinggalkan kebiasaan menggali Alkitab niscaya kita akan keliru dalam mengenal Dia.

Kita perlu memahami kenyataan bahwa mukjizat-mukjizat dan hal-hal supranatural tidak selalu datang dari Allah, iblis pun dapat melakukannya.[1] Keselamatan dari bencana dan marabahaya juga tidak selalu merupakan karya Tuhan, iblispun dapat melakukannya. Jika fokus kita hanya pada hal-hal demikian, maka jangan kaget jika banyak jiwa-jiwa kristen saat ini telah dibelenggu oleh si iblis. Iblis senang dengan orang Kristen kultural yaitu mereka yang dari luar nampak giat melibatkan diri dalam budaya-budaya khas Kristen namun yang tidak mau peduli atau tidak mau ambil pusing pada ajaran Firman.

Bukan tanpa alasan yang jelas jika Allah memilih untuk berkarya di dalam sejarah. Sebab dengan cara ini, maka tuduhan bahwa iman kristen bersifat subjektif dapat diantisipasi. Sejarah adalah sesuatu yang objektif, dapat dibuktikan misalnya melalui arkeologi atau berdasarkan saksi-saksi mata ataupun catatan-catatan yang telah dibuat oleh orang-orang yang terlibat.

Oleh karena itu, mengatakan percaya kepada Yesus (seharusnya) kini bukan lagi masalah pendapat pribadi karena hal tersebut sudah ditorehkan dalam sejarah. Untuk lebih jelasnya saya beri contoh: Karena sejarah mencatat bahwa Bung Karno adalah Presiden RI pertama, maka tidak mungkin ada yang dapat berkata. “Yah itukan menurut kamu, kalau menurut apa yang kupercaya sih bukan dia presiden RI pertama.”

Perkataan semacam itu menjadi aneh bukan? Sebab, menerima fakta sejarah tentang Bung Karno sebagai Presiden pertama RI bukanlah masalah pilihan pribadi yang bersifat subjektif. Suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, kejadiannya sudah seperti itu dan banyak yang menyaksikan hal tersebut.

Dalam pengertian yang sama, karena peristiwa-peristiwa dalam Alkitab adalah peristiwa sejarah, maka tentu tidak dapat dibenarkan jika kini ada orang yang merasa bahwa percaya pada Yesus dan percaya pada Alkitab semata-mata adalah masalah pilihan pribadi.

Apakah merupakan masalah pilihan pribadi untuk percaya bahwa Matahari terbit di Timur? Apakah merupakan masalah pilihan pribadi untuk percaya bahwa Jerman pernah menyerang Polandia? Apakah merupakan pilihan subjektif untuk percaya bahwa Korea terbagi menjadi dua? Atau bahwa tembok Jerman telah runtuh?

Untuk sesuatu yang telah nyata dibuktikan oleh sejarah, sebenarnya tidak ada tempat bagi logika kita untuk menganggapnya sebagai sekedar  pilihan pribadi, bukan?

Janganlah kita tertipu oleh semangat zaman ini yang suka melupakan masa lalu. Zaman ini telah terlalu arogan di dalam kebodohannya. Sebagai orang Kristen kita justru harus mempelajari masa lalu, karena melalui sejarah-lah Allah kita telah berbicara.

Tugas kitalah kini untuk mempelajari kata-kata Allah di masa lalu dan menjadikannya bekal pelajaran bagi sikap hidup kita di masa sekarang. Inilah cara yang dipilih Allah untuk mengajar kita dan kita patut menghormati pilihan-Nya. Mari kita wartakan pula pengertian semacam ini pada orang-orang yang mau membuka hatinya untuk Tuhan, sehingga kewibawaan Alkitab dan kecintaan serta kerinduan untuk menggali sumber kehidupan daripadanya boleh kembali dijunjung tinggi di antara orang-orang percaya.

Tuhan memberkati. (Oleh: izar tirta).



[1] Baca dan renungkan Kel 7:11; Matius 24:24; Kis 8:9-11; 2 Tes 2:9-12