Friday, December 24, 2021

Yusuf si tukang kayu yang peka akan suara Tuhan


Dalam tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan sosok Yusuf, seorang tukang kayu sederhana yang berhati tulus dan penuh dengan kasih karunia. [Baca: Yusuf si tukang kayu yang tulus hati. Klikdisini.] Dalam tulisan kali ini kita akan melihat sisi lain dari kepribadiannya, yaitu tentang kepekaannya akan suara Tuhan.

Tentang kepekaan Yusuf tersebut Alkitab menjelaskan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.” (Matius 1:24-25)

Bayangkan peristiwa itu, malaikat datang dalam mimpi ketika Yusuf sedang bergumul dalam membuat keputusan tentang hubungannya dengan Maria. Dan setelah bangun dari tidur, ia dengan penuh keyakinan segera “berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.” Bukankah ini merupakan suatu tindakan iman yang luarbiasa? Hanya orang-orang yang peka akan suara Tuhan sajalah yang mampu bertindak seperti Yusuf. Dan kepekaan semacam ini tidak mungkin dibangun dalam tempo satu malam saja. Ada suatu latihan rohani yang disiplin dan tekun dibalik kepekaan semacam ini. [Baca juga: Apa artinya memiliki iman yang sejati? Klik disini.]

Sekalipun peristiwa itu hanya disampaikan secara singkat oleh penulis Alkitab, namun tidak sulit untuk membayangkan Yusuf sebagai seorang yang punya hubungan pribadi yang baik dengan Tuhannya. Ia mengenal suara Tuhan dan bersedia untuk bertindak sesuai dengan suara itu. Tidak semua orang punya kualitas seperti yang ditunjukkan oleh Yusuf. Inilah suatu tanda dari seseorang yang sungguh-sungguh mendapat anugerah dari Tuhan.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga cukup peka akan suara Tuhan? Kapan terakhir kali kita benar-benar merasa Tuhan berbicara melalui Firman-Nya? Kapan terakhir kali kita mencari wajah Tuhan untuk menikmati kehadiran-Nya dan mendengarkan suara-Nya? Jika kita cenderung lebih suka mendengarkan apa yang dikatakan dunia, apakah wajar jika kita berharap dapat memiliki kepekaan akan suara Tuhan?

Tim Keller, seorang teolog dan apologet Kristen, pernah memaparkan beberapa cara untuk menguji apakah diri kita seorang Kristen yang sudah lahir baru ataukah selama ini kita hanya kelihatannya saja seperti orang percaya, padahal bukan. Salah satu cara Keller yang saya pikir ada hubungannya dengan tema yang kita bicarakan saat ini adalah berkaitan dengan Firman Tuhan.

Keller meminta kita bertanya pada diri sendiri; Ayat Alkitab (atau perikop) apakah yang telah mengubah hidupku?” Bukan sekedar mengubah pengetahuan saja (dari tidak tahu menjadi tahu), tetapi mengubah hidup; termasuk pikiran, perasaan dan cara bertindak dalam keseharian. Orang percaya yang sudah lahir baru, pasti dapat menyebutkannya, bahkan bukan hanya satu ayat atau satu perikop saja, melainkan banyak. Mengapa? Sebab bagi mereka Alkitab adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Dan mereka, yaitu orang percaya yang sudah lahir baru itupun, tetap adalah orang berdosa yang juga harus terus menerus ditegur dan dikoreksi oleh Firman, serta harus terus menerus bertobat (Baca juga. Perenungan dari Yohanes 3:16 dan 18. Klik disini.)

Tetapi orang yang mengaku percaya padahal belum mengalami kelahiran baru, tidak akan bisa mengidentifikasi dengan jujur, ayat Alkitab apa yang benar-benar telah menghantam sanubarinya, menegur hatinya sedemikian rupa, hingga menghasilkan suatu perubahan dalam hidupnya. Mengapa mereka tidak bisa? Sebab memang mereka tidak pernah punya hati untuk mendengarkan suara Tuhan.

Menurut saya, apa yang Keller paparkan bukan suatu teori yang tanpa dasar. Saya melihat keterkaitan antara gagasan Keller ini dengan perkataan Yesus Kristus sendiri, yaitu: Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku (Yoh 10:27). Artinya, orang yang tidak pernah mendengar suara Kristus berkata-kata kepadanya, sangat mungkin orang itu memang pada dasarnya bukan (belum menjadi) domba kepunyaan Kristus.

Lalu apa tandanya seseorang telah mendengarkan suara Tuhannya? Menurut Tuhan Yesus dalam ayat tadi, tandanya adalah orang itu akan “mengikut Aku.” Jadi bukan hanya mendengarkan, melainkan juga mengikuti apa yang didengarkan itu; ada suatu ketaatan, ada suatu perubahan dalam arah hidupnya. Sekarang pertanyaannya adalah: Apakah ini sungguh merupakan sebuah realita dalam kehidupan kita? Atau hanya sekedar suatu konsep teologi belaka? Biarlah masing-masing kita menjawab dengan jujur di hadapan Kristus Yesus.

Yusuf tidak ayal lagi adalah satu model dari manusia yang sangat peka dalam mendengar suara Tuhan. Secara manusiawi, sangat mungkin Yusuf masih galau akibat peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Maria. Desas desus kehamilan Maria yang terjadi sebelum Yusuf dan Maria hidup sebagai suami istri tentulah menjadi suatu beban tersendiri bagi Yusuf. Namun di dalam segala kesulitan itu, Yusuf tetap memilih untuk taat pada suara Tuhan yang ia dengar. Dan luarbiasanya, bukan hanya satu kali Yusuf bertindak seperti itu.

Ketaatan semacam ini, kembali ditunjukkan Yusuf ketika ia sekali lagi diberi peringatan oleh malaikat melalui mimpi untuk menyingkir ke Mesir. Alkitab mencatat: nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia." Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, (Matius 2:13-14).

Saya yakin bahwa kesaksian Maria, Zakharia dan Elisabet turut menguatkan keyakinan Yusuf bahwa sesuatu yang dahsyat sedang terjadi. Tetapi hal itu tidak menghapuskan begitu saja kenyataan bahwa Yusuf memang adalah orang yang peka. Sebagai perbandingan, Zakharia dan Maria dikunjungi malaikat bukan ketika tertidur melainkan pada saat mereka berdua sedang dalam keadaan sadar. Tetapi kepada Yusuf, malaikat datang melalui sebuah mimpi, yaitu suatu cara berkomunikasi yang sangat halus dan tersamar.

Keberanian Yusuf dalam bertindak berdasarkan petunjuk yang samar-samar seperti itu, menunjukkan betapa peka hatinya akan suara Tuhan. Allah tidak perlu berteriak atau muncul dalam sosok yang eye-catching untuk bicara padanya, cukup melalui bisikan lembut lewat mimpi saja pun, Yusuf sudah bisa melakukan pekerjaan besar bagi kemuliaan-Nya. Berapa seringkah Tuhan telah berteriak pada kita, entah lewat mimbar, atau lewat tulisan, atau lewat peristiwa tertentu, tetapi hati kita yang dingin, keras dan acuh tak acuh ini tetap saja enggan untuk mendengarkan?

Kita tidak tahu berapa lama Yusuf menjalankan perannya sebagai ayah bagi Tuhan kita Yesus Kristus. Terakhir kali namanya dicatat adalah ketika Tuhan Yesus berusia 12 tahun dan mereka sekeluarga sedang pergi ke Bait Allah. Besar kemungkinan bahwa Yusuf telah tiada ketika Tuhan kita memulai pelayanan-Nya di tengah masyarakat pada usia 30 tahun.

Dan sekalipun Yusuf telah mendapatkan berkat melimpah dalam hidupnya karena dipercaya menjadi ayah bagi Sang Mesias, bukan berarti Yusuf lalu menjadi seorang yang terpandang bagaikan selebritis yang hidup makmur. Yusuf tetap menjalankan suatu hidup sederhana sebagai seorang tukang kayu. Hidup yang begitu biasa, di sebuah desa yang sama sekali tidak terpandang. Suatu jenis kehidupan yang mungkin tidak pernah kita minati atau impi-impikan. Hidup yang begitu jauh dari publisitas, glamour dan hingar bingar kesuksesan dunia.

Jadi jika kita mendengar ada yang berkata bahwa kalau seseorang diberkati Tuhan, maka hidupnya pasti akan jadi hebat, pasti kaya, sukses secara materi, pasti luput dari bahaya sakit penyakit dan lain sebagainya, cobalah untuk duduk sebentar dan memandang sosok Yusuf si tukang kayu Yahudi ini dalam keheningan. Jangankan punya banyak kekayaan, umur yang panjang pun dia tidak punya. [Baca juga: Apa yang lebih penting daripada kekayaan? Klik disini.]

Bagi banyak orang, Yusuf bagaikan sosok figuran yang namanya bahkan nyaris tenggelam dan dilupakan. Kiprahnya hampir tidak pernah kita angkat secara khusus dalam mimbar-mimbar gereja. Tetapi siapa di antara kita yang berani berada di posisi Yusuf ketika tanggung jawab dan risiko sebesar itu dibebankan ke atas pundaknya? Meskipun hanya tukang kayu sederhana, peran Yusuf sebagai orang percaya yang rela dipakai Tuhan tidaklah sedikit. Di tangan Yusuf-lah, Bapa telah mempercayakan Anak-Nya yang tunggal, Juruselamat kita, ketika Dia masih seorang bayi yang lemah.

Apa sajakah yang telah Tuhan percayakan di tangan kita? Bagaimana sikap kita terhadap tanggung jawab yang Tuhan berikan itu? Mari belajar dari Yusuf, hamba Tuhan yang sederhana namun tulus hati, setia dan peka akan suara Penciptanya ini. Kiranya kasih karunia dan belas kasihan Tuhan Yesus senantiasa mengisi hati kita. Amin. (Oleh: Izar Tirta)