Saturday, January 23, 2021

Perenungan dari Efesus 2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman

Apa artinya diselamatkan karena kasih karunia?
Mengapa Tuhan melakukan hal itu pada manusia?

Apakah yang dimaksud dengan iman?


Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan

 
Sebab karena kasih karunia…

Salah satu keunikan iman Kristen yang Alkitabiah yaitu adanya ajaran tentang kasih karunia. Istilah lain yang sering dipakai untuk kasih karunia adalah anugerah, atau chariti dalam bahasa Yunani, atau grace dalam bahasa Inggris.

Alkitab versi NIV misalnya mengatakan: For it is by grace you have been saved, through faith - and this not from yourselves, it is the gift of God (Ephesians 2:8)

Sementara semua sistem kepercayaan di luar Alkitab, apapun namanya, mengajarkan kepada umatnya untuk sungguh-sungguh dalam mengejar sorga, bersungguh-sungguh mengejar kesucian, kesalehan, keberhasilan di dalam hal rohani dan seterusnya dan seterusnya…, Alkitab justru mengajarkan bahwa semua itu adalah pemberian Allah kepada manusia, yang diberikan bukan karena manusia mengejarnya. Keselamatan adalah pemberian Allah kepada manusia bukan karena manusia pantas menerimanya, tetapi justru karena manusia tidak pantas untuk menerimanya. [Mengapa Tuhan melarang kita bersandar pada pengertian kita sendiri? Klik disini.]


Mengapa Tuhan melakukan hal itu kepada manusia?


Keselamatan dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia karena menurut kesaksian Alkitab, manusia tidak memiliki kemungkinan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. [Baca juga: Itu bukan hasil usahamu. Klik disini.]

Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan manusia itu mati. Alkitab tidak mengajarkan bahwa karena jatuh ke dalam dosa, maka manusia menjadi sakit, atau lemah, menjadi tidak bertenaga atau menjadi pelupa. Tidak demikian. Dosa mengakibatkan manusia itu mati di hadapan Allah.

Jika manusia hanya sakit, maka masih ada kemungkinan ia menjadi sembuh dengan sendirinya. Tetapi manusia ternyata bukan sakit melainkan mati. Dan tidak ada orang yang mati lalu menjadi hidup kembali dengan sendirinya bukan? Orang yang telah mati, tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu lagi untuk melawan efek dari kematian tersebut.

Di mata Tuhan, seluruh ras umat manusia telah mati bersama-sama dengan Adam dan Hawa ketika mereka melanggar perintah Allah. Itu sebabnya, menurut ajaran Alkitab manusia tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah kondisinya yang sudah mati itu di hadapan Allah.

Segala moralitas manusia, segala kebaikannya (kalau pun memang ada yang pantas disebut sebagai kebaikan), segala ritual mereka, segala kasih sayang manusia, segala kekayaan atau segala apapun, tidak mungkin lagi mengubah keadaan manusia yang sudah mati. Jika kita mendandani mayat, maka sekalipun secara sepintas mayat itu menjadi indah atau anggun, tetap saja tidak ada kehidupan di sana. Kita tidak bisa meminta mayat untuk mengasihi sesamanya, bukan?

Dalam keadaan kematian yang tanpa harapan inilah, Allah bertindak atas dasar belas kasihan-Nya. Ia memberikan keselamatan itu. Ia melahirbarukan orang yang sudah mati itu, sehingga di dalam kehidupan yang baru tersebut, manusia bisa kembali belajar untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya.


Cheap grace

Kritik yang paling keras terhadap ajaran Alkitab berkenaan dengan kasih karunia adalah, bahwa ajaran ini diduga atau dicurigai akan membawa manusia kepada suatu gaya hidup yang seenaknya saja. Anugerah yang seharusnya merupakan pemberian yang indah dari Tuhan, dikhawatirkan malah akan menjadi anugerah yang murahan di tangan manusia.

“Enak banget jadi orang Kristen, tinggal percaya lalu masuk sorga, padahal hidupnya brengsek, suka nyolong, selingkuh, korupsi, suka nipu !,” demikian ungkapan populer yang biasanya dialamatkan kepada ajaran Kristen.

Tentu saja itu semua adalah kesalahpahaman semata-mata. Alkitab tidak mengajarkan hal yang seperti itu. Seandainya saja orang yang berkata seperti itu dapat meluangkan waktu untuk membaca Alkitab dan mempelajarinya, ia akan tahu bahwa Alkitab tidak mengajar seperti itu. Tetapi sayangnya, ungkapan semacam ini seringkali dilontarkan bukan karena orang ingin tahu kebenarannya seperti apa, melainkan hanya memakai gagasan itu sebagai alasan untuk membenarkan sikapnya yang memang tidak ingin mengenal Allah sejati yang diberitakan oleh Alkitab.

Dalam tulisan saya berjudul “Supaya barangsiapa percaya…”, saya sudah mengutarakan sedikit pengertian dari apa yang dimaksud di dalam kata “percaya” menurut prinsip Alkitab. Dalam bagian itu, saya juga sudah menjelaskan bahwa konsep cheap grace bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh iman Kristen yang sejati. Yesus tidak mengajar seperti itu, para rasul pun tidak pernah mengajarkan hal yang demikian. Hanya orang yang salah paham dan tidak belajar Alkitab-lah yang curiga akan hal tersebut.

Hidup baru itu berasal dari Allah, bukan diciptakan oleh manusia sendiri. Oleh karena itu, orang yang sungguh-sungguh telah menerima hidup yang baru, pasti akan ditandai dengan gaya hidup yang baru pula. Dan sebagaimana seorang bayi belajar untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia. Demikian pula orang yang dilahirbarukan secara rohani, ia belajar pula untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia yang rohani.

Dan sebagaimana seorang bayi yang masih sering jatuh bangun ketika ia belajar berjalan. Demikian pula manusia yang mengalami kelahiran baru, pasti tidak luput dari kehidupan yang jatuh bangun antara keinginan untuk hidup mengikut Kristus dan kegagalan di dalam dosa-dosa lamanya.

Orang yang mengaku percaya kepada Kristus, tetapi sama sekali tidak memiliki kerinduan untuk hidup mengikuti Kristus, maka bukan Kristus yang salah, juga bukan Alkitab yang salah, melainkan karena pada dasarnya orang itu memang belum memiliki kehidupan yang baru tersebut.

“Sebab karena kasih karunia..” ini adalah perkataan yang agung, tidak sepatutnya manusia menghina perkataan ini. Karena Allah mengasihi, maka Ia mengaruniakan hidup itu. Dan karunia yang Allah berikan, bukan karunia sembarang karunia, bukan karunia yang murahan, bukan pula karunia untuk disalahgunakan, tetapi sebuah karunia yang mengundang kita untuk mengasihi Dia yang telah memberikan karunia itu.

Di dalam kasih, Ia memberi karunia.
Di dalam karunia, Ia mendorong kita untuk mengasihi.
Makanya disebut kasih karunia..
Terpujilah Allah yang telah memberikan kasih karunia ini kepada kita yang tidak pantas menerimanya.


Kamu diselamatkan …

Perkataan “kamu diselamatkan” bisa membawa manusia kepada berbagai persepsi. Bagi sebagian orang, perkataan ini bisa menjadi suatu kabar baik, tetapi bagi sebagian orang lainnya, mereka mungkin jadi balik bertanya; “Diselamatkan? Memangnya aku sedang terancam bahaya apa?”

Kita tahu bahwa injil sering juga disebut sebagai kabar baik, atau good news. Tetapi sesuatu itu baru benar-benar menjadi sebuah good news, jika kita tahu bad news nya seperti apa.

Misalnya saya bilang: Bapak Ibu saya ada good news.
Lalu orang tanya: apa tuh good news-nya Pak?
Saya jawab: Tiket pesawat ke Madagaskar diskon 95% selama masa Covid ini.
Orang akan pikir dalam hati: “Trus, memang kenapa? Aku toh gak pernah kepingin juga kok ke sana. Jangankan ada Covid, gak ada Covid pun mau ngapain juga ke sana?”

Apa yang tadinya seperti good news, ternyata hanya berakhir jadi berita yang biasa-biasa saja. Mengapa? Karena berita itu tidak ada hubungannya dengan pribadi orang yang mendengar.

Tapi kalau saya bilang: “Bapa Ibu saya ada good news. Pemerintah memutuskan bahwa setiap orang Kristen akan dibebaskan dari biaya pajak dan akan mendapat santunan hari tua minimal Rp 1 M per masing-masing orang.” …. Nahh… ini dia nih baru bener-benar good news !! ...Iya kan? hehehehe…

Oke, saya akui memang contohnya rada-rada ekstrim, tapi yang ingin saya katakan adalah berita Injil pun belum tentu menjadi sebuah good news, apabila kita tidak tahu apa konsekuensinya jika injil itu tidak pernah ada di dunia ini. Kalau gak ada injil, terus bad news-nya apa gitu loh?

Perkataan “kamu diselamatkan” sekali lagi baru menjadi suatu good news, jika kita sadar betul bahwa kita ini butuh diselamatkan. Hanya orang yang sadar bahwa dirinya bermasalah yang akan menanggapi berita keselamatan itu dengan sukacita pengharapan. Oke, sekarang katakanlah bahwa kita sadar bahwa saat ini sedang ada dalam masalah dan kita butuh keselamatan. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, diselamatkan dari apa?

Ada orang yang merasa bahwa masalah terbesar dari hidupnya adalah kemiskinan, maka mungkin sekali Yesus yang ia harapkan adalah Yesus yang akan menyelamatkan dari kemiskinan. Ada orang yang merasa bahwa masalah terbesar dari hidupnya adalah sakit penyakit, maka mungkin sekali Yesus yang ia harapkan adalah Yesus yang akan menyelamatkan dia dari sakit penyakit.. dan seterusnya.. dan seterusnya..

Philip Yancey, seorang penulis Kristen, mengatakan bahwa ia pernah melihat sebuah poster Yesus di Amerika Latin dalam sosok pria berotot yang menenteng senjata bagaikan seorang Rambo. Bagi orang-orang yang hidup di bawah penindasan, Yesus yang berotot dan menenteng senapan otomatis mungkin lebih menjanjikan ketimbang Yesus yang mati di kayu salib seperti orang yang kalah perang, bukan?

Jadi, Yesus Kristus seperti apa sebetulnya yang kita harapkan datang menyelamatkan kita? Persoalan apa yang kita rasa paling mengganggu di dalam hidup ini? Jika kita menganggap bahwa Covid atau keterpurukan ekonomi adalah masalah terbesar di dalam dunia, atau jika kita merasa bahwa dosa bukan suatu masalah yang terbesar di dalam hidup ini, mungkin Yesus versi Alkitab memang bukan sosok yang kita harapkan.

Orang Farisi pikir Mesias akan membebaskan mereka dari Romawi. Tetapi Yesus malah mati di bawah hukum Romawi. Orang kaya pikir kekayaannya adalah bukti bahwa Allah memberkati dia. Tetapi Yesus malah minta dia menjual semua hartanya. Orang sakit pikir bahwa Yesus datang untuk menyembuhkan mereka dari sakit penyakit yang mereka derita. Tetapi Yesus malah melarang mereka memberitahukan bahwa Ia telah menyembuhkan mereka.

Betapa banyaknya orang yang salah paham tentang Dia. Jika kita tidak sungguh-sungguh mencari Dia di dalam kesejatian-Nya, sangat mungkin kita akan berakhir seperti orang-orang yang kenyang oleh lima roti dan dua ikan di atas bukit itu, mereka bersemangat di awal, tetapi kemudian pergi meninggalkan Dia karena kecewa.

Jadi, perkataan “kamu diselamatkan” itu akan kita maknai seperti apa? Mungkin orang Kristen akan menjawab: tentu saja diselamatkan dari dosa. Ini jawaban yang bagus sekali, paling tidak jawaban seperti itu sesuai dengan Injil Matius yang mengatakan bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa. (Matius 1:21)

Tapi kemudian pertanyaannya; jika Yesus datang untuk menyelamatkanku dari dosa, lantas dosa apakah di dalam hidup ini yang telah dibebaskan semenjak Ia datang ke dalam hidupku?

Sekedar contoh saja, dulu aku seorang pemarah, jangan-jangan sampai hari ini pun aku masih seorang pemarah. Dulu aku orang yang pelit, jangan-jangan sampai sekarang pun aku masih pelit (tambah pelit bahkan). Dulu aku orang yang cinta uang, jangan-jangan sampai hari inipun aku masih cinta uang.

Jika setelah sekian lama kita menjadi orang Kristen, tetapi keadaan kita masih tetap sama seperti dulu waktu kita belum percaya atau waktu kita baru percaya, maka kita pantas bertanya: Apa betul Yesus adalah juruselamat bagiku? Jangan-jangan Dia hanyalah satu sosok yang ada di luar sana tetapi tidak pernah hadir di dalam hidupku?

Alkitab tidak mengajarkan paham perfectionism, dalam arti, jika seorang sudah percaya maka hidupnya pasti akan sempurna, tidak ada dosa lagi, senantiasa berbuah. Tentu tidak. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa barangsiapa tinggal di dalam Yesus maka hidupnya pasti akan berbuah, yaitu buah yang sesuai dengan pertobatan. Adakah hidup kita ini telah menghasilkan buah bagi kerajaan-Nya?

Tidak ada orang Kristen yang sempurna, itu sudah pasti. Tetapi apakah arah kehidupan kita sudah sejalan dengan hidup orang yang diselamatkan? Saya suka dengan perkataan John McArthur, seorang penulis buku dan pengkhotbah Kristen. Dalam salah satu khotbahnya ia berkata: Our Christian life is not about perfection, but rather about going to the right direction. Kehidupan kristen kita bukan tentang kesempurnaan (karena tidak seorang pun yang sempurna), tetapi tentang perjalanan (atau pertumbuhan) menuju ke arah yang benar.

“Dulu aku seorang yang gampang marah, hari ini sebetulnya aku masih bisa marah, tetapi sudah jauh berkurang. Dulu aku sering marah pada orang lain yang tidak sesuai harapanku, sekarang aku lebih sering marah kepada dosa-dosaku sendiri.”

“Dulu aku seorang yang pelit, hari ini pun aku masih suka bergumul kalau mau berbagi dengan orang lain, tetapi di dalam kebaikan Tuhan, aku sudah jauh lebih rela dibandingkan aku yang dulu.”

“Dulu aku sangat cinta uang, segala sesuatu aku ukur menurut nilai ekonomi, bahkan aku lebih menghargai orang yang naik mobil mewah ketimbang mereka yang naik becak, tetapi sekarang aku sadar bahwa uang memang penting, tetapi uang bukan segala-galanya lagi. Dan manusia tidak sepantasnya diukur berdasarkan kemampuan ekonominya sebab mereka semua adalah gambar dan rupa Allah yang harus aku hormati dan kasihi.”

Ini beberapa contoh saja dari hidup yang tidak sempurna tetapi telah diubahkan oleh Tuhan. Ada progress, ada pertumbuhan, seberapa pun kecilnya. Ada kalanya kita bahkan mundur di dalam kerohanian, tetapi jika Yesus memang sungguh-sungguh telah masuk ke dalam hati kita, maka di dalam kebaikan-Nya pasti kita akan maju lagi bersama Dia.

Kalau fokus kita adalah kesempurnaan, maka sangat mungkin kita akan menjadi orang Kristen yang depresi, mudah marah, suka menghakimi dan sulit menerima kekurangan orang lain.

Tetapi kalau fokus kita adalah memperhatikan bagaimana Tuhan memberi pertumbuhan di dalam hidup kita, maka kita akan menjadi orang Kristen yang bersukacita bersama Dia yang memberi pertumbuhan itu. Kita akan mendapati diri kita dan Yesus bagaikan dua orang sahabat yang saling mengasihi, yang menanam pohon bersama-sama dan kemudian tertawa gembira bersama pula ketika pohon itu mulai berbuahkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Sudahkah berita keselamatan itu membawa kita berjalan menuju ke arah yang benar tersebut? Kiranya Tuhan yang penuh belas kasihan itu berkenan menuntun kita berjalan bersama-Nya.
 

Oleh iman …

Iman adalah suatu kata yang begitu sering kita baca atau dengar, baik di dalam konteks kekristenan, maupun di luar kekristenan. Bahkan di dalam dunia orang-orang atheist pun, pembicaraan tentang iman bukannya tidak ada sama sekali. Tentang doa misalnya, seorang atheist pernah mengatakan: prayer for the atheist can be like singing in the car or in the shower. No one is listening, and that is just fine.

Kita mungkin sulit memikirkan, bagaimana mungkin ada orang yang tidak beriman kepada Allah, tetapi masih bisa berdoa? Rupanya bagi kaum atheist, doa itu adalah seperti orang yang menyanyi sendirian di mobil atau di kamar mandi, mereka merasa oke-oke saja meskipun menurut mereka tidak ada siapa-siapa di atas sana yang mendengarkan. Betapa kacaunya dunia ini bukan?

Tetapi ketimbang kita menghakimi orang-orang atheist dan orang lain yang belum percaya - lagipula mereka toh sudah ada Hakimnya sendiri, bukan? - alangkah baiknya jika kita melihat kepada diri sendiri. Hidup kekristenan kita belum bertumbuh jika kita hanya bisa mengkritik orang lain saja, melihat orang lain lalu berkata: ini salah, itu salah, tetapi kurang mampu mengkritisi diri sendiri.

[Ini tentu saja bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak boleh mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalam dunia, tentu ada tempatnya untuk itu, tetapi alangkah baiknya jika kita pertama-tama justru melakukan introspeksi terhadap praktik-praktik yang ada di kalangan kita sendiri.]

Apakah kita sebagai orang Kristen telah memiliki iman yang benar kepada Dia yang adalah Sang Kebenaran sejati itu? Jangan-jangan setelah melakukan introspeksi, kita terkejut bahwa iman yang kita miliki selama inipun ternyata tidak jauh berbeda dengan jenis iman orang lain yang berada di luar lingkup Alkitab.

[Baca juga: Disalibkan bersama Kristus. Klik disini]

Iman di dalam kekristenan, sangat jauh berbeda dengan iman yang dipahami oleh orang yang belum mengalami kelahiran baru. Di dalam tulisan yang berjudul “Supaya barang siapa percaya…” saya sudah mengemukakan satu aspek kecil saja dari makna “iman/percaya” yang diajarkan oleh Alkitab, yaitu dari aspek present atau sifat ke-kini-an atau ke-sekarang-an dari iman kita.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba membahas pengertian iman dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari aspek pengetahuan (cognitive, knowledge), aspek perasaan (emotional) dan aspek keinginan (willingness). Mengapa? Sebab setiap kita pada dasarnya memiliki ketiga aspek tersebut di dalam diri kita.

Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu, kemampuan untuk merasakan sesuatu dan kemampuan untuk menginginkan sesuatu. Ini adalah kebaikan Tuhan bagi manusia sehingga kita dapat menjalankan kehidupan dengan penuh sukacita dan penuh makna di dalam dunia ini. Oleh karena itu, maka sangat beralasan apabila iman yang kita miliki itu, juga memiliki keterkaitan dengan ketiga aspek tadi.

Justru apabila iman kita tidak berkaitan dengan ketiga aspek tersebut, maka kita patut introspeksi, jangan-jangan apa yang kita pikir sebagai iman, ternyata tidak lebih dari suatu konsep yang abstrak belaka.

Kita akan membicarakan ketiga aspek dari iman itu di dalam tulisan selanjutnya yang berjudul Aspek-aspek Iman (Klik disini).

Dengarkan versi Audio dari perenungan ini melalui :

Anchor atau Spotify


Baca juga:
Apakah arti dari kebebasan? Klik disini

Siapakah Teofilus dalam Lukas 1? Klik disini
Apa arti penting Alkitab Perjanjian Lama bagi Tuhan Yesus? Klik disini
Seperti apakah ciri dari iman yang sejati itu? Klik disini