Tuesday, July 30, 2024

Seperti apakah wujud nyata dari kasih Allah?


Wujud nyata dari kasih Allah

Allah adalah kasih, dan jika kita ingin mengerti apa artinya, maka kita harus kembali kepada Alkitab untuk melihat bagaimana kasih Allah itu diwujudnyatakan. Melalui wujud nyata kasih Allah, kita dapat semakin mengenal Pribadi Allah.

Apabila diringkas, maka ada 3 hal yang merupakan wujud nyata dari kasih Allah kepada dunia ini, yaitu:

Pertama, Allah mewujudkan kasih-Nya melalui ciptaan. Ada kasih agape di dalam ciptaan. Allah menerbitkan matahari bagi semua orang. Allah menyediakan udara bagi semua orang. Allah menurunkan hujan bagi semua orang. Tanpa membedakan apakah orang percaya atau tidak percaya, kasih Allah disediakan dan diberikan kepada semua orang.

Kedua, Allah menyatakan kasih-Nya melalui pemeliharaan (providensia). Tuhan bukan saja mencipta, tetapi Ia memelihara kehidupan dengan setia. Tidak semua orang yang percaya pada-Nya akan senantiasa mengalami kejadian yang nyaman, dan sebaliknya, tidak semua orang yang tidak percaya pada-Nya pasti senantiasa akan mengalami bencana. Tuhan memelihara manusia secara sama rata. Orang baik tidak senantiasa menerima kebaikan, orang jahat pun tidak segera mengalami penghakiman. Bagi orang baik yang menerima kesulitan, Tuhan memelihara orang itu agar ia semakin bertumbuh. Bagi orang jahat yang tidak segera dihukum, Tuhan memelihara orang itu agar ia punya kesempatan untuk bertobat. Di dalam keduanya, Tuhan senantiasa bersabar, menanti orang percaya untuk bertumbuh dan menanti orang tidak percaya untuk bertobat, atau untuk tiba pada kegenapan dari kejahatannya.

Ketiga, Allah menyatakan kasih ketika Ia memberikan Kristus pada dunia. Jika dua yang pertama tadi adalah kasih yang bersifat umum, maka untuk yang ketiga ini adalah kasih yang bersifat khusus. Kasih yang bersifat umum meliputi orang percaya maupun orang tidak percaya. Tetapi kasih di dalam Kristus adalah kasih yang khusus, yaitu hanya diberikan dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus yang telah mati untuk meredam murka Allah kepada manusia dan telah bangkit untuk memberi hidup yang kekal.


Kasih dan kekudusan

Jika mengacu pada tiga wujud kasih Allah di atas, kita melihat bahwa kasih Allah itu memang memiliki dimensi yang berbeda dan tidak boleh dicampur adukkan. Ada aspek kasih Allah yang bersifat universal, seperti memberikan matahari dan menurunkan hujan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa ada pula aspek kasih Allah yang bersifat spesial atau khusus, yaitu ketika bicara tentang keselamatan. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa di dalam konteks keselamatan, kasih Allah hanya dapat dinikmati di dalam Kristus yang mati dan bangkit. Tidak ada ajaran di Alkitab yang mengatakan bahwa keselamatan manusia dari kebinasaan akibat dosa itu bersifat universal. Oleh karena itu pernyataan Paus Francis pada tanggal 15 April 2018 bahwa Ateis pun dapat masuk ke sorga, merupakan pernyataan yang sangat-sangat menyesatkan dan secara langsung telah menghina Yesus Kristus dan meremehkan Firman-Nya.

Wujud cinta kasih Allah yang paling jelas dan paling tegas, justru telah dinyatakan melalui diri Kristus. Dari Allah kita belajar bahwa cinta itu bukan sekedar konsep, cinta itu bukan sekedar perasaan, seperti perasaan enak, damai, tenang, merasa diterima dan lain sebagainya. Di dalam Kristus, kasih Allah itu bukan cuma perasaan tetapi mewujud secara nyata menjadi seorang Manusia. Ia berjalan, Ia berbicara, mengajar, menyentuh manusia dan bahkan memberi teguran akan dosa. Apabila kita mau mengasihi kaum ateis, maka kita perlu membawa mereka kepada Kristus, bukan dengan cara menipu mereka melalui janji-janji palsu bahwa ateis pun dapat masuk ke sorga.

Cinta Allah yang sejati selalu disertai kekudusan, sebab Allah adalah kudus. Dan karena kekudusan Allah harus berhadapan dengan keberdosaan manusia, maka di dalam cinta Allah yang sejati, ada komitmen, ada kematian, ada kepedihan, ada perlawanan, ada penderitaan dan bahkan ada kematian. Dan wujud nyata cinta Allah yang berhadapan dengan keberdosaan manusia adalah salib Kristus. Tanpa wujud nyata cinta yang seperti ini, maka cinta itu seperti tidak ada bentuknya, hanya berputar-putar di area emosional manusia yang tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga sangat rapuh dan mudah berubah menjadi kebencian.

Banyak orang yang merasa kesulitan untuk menjelaskan kasih, sehingga mereka beranggapan bahwa cinta itu hanyalah ilusi. Tetapi orang-orang itu keliru. Cinta jelas bukan sebuah ilusi, sebab apabila cinta merupakan ilusi maka untuk apa kita mengajarkan anak-anak untuk mencintai orang tua? Adakah orang tua yang mengajarkan anaknya untuk membenci? Semua orang tua yang normal pasti ingin anaknya bertumbuh di dalam cinta kasih. Dan merupakan tanggungjawab orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya agar mengenal kasih yang benar, yaitu kasih yang disertai dengan kekudusan.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.

Sunday, July 14, 2024

Pertumbuhan rohani, kerendahan hati dan pengampunan

 

Pertumbuhan rohani, kerendahan hati dan pengampunan

Surat Yohanes menyebutkan tentang Allah yang adalah kasih, sebagai suatu penegasan bagi kita bahwa hanya melalui Allah sajalah manusia dapat mengerti apa yang dimaksud dengan kasih. Tanpa pengenalan akan sosok Pribadi Allah, maka segala yang kita pikirkan tentang kasih dapat menjadi keliru. 

Sebagai contohnya adalah apa yang terjadi di dalam zaman sekarang ini, yaitu dimana seorang manusia dapat secara bebas dan subjektif memutuskan sendiri apakah dirinya adalah seorang laki-laki atau perempuan. Seorang dengan ciri-ciri fisik yang sangat jelas sebagai laki-laki, dapat secara bebas mengaku sebagai wanita dan ikut dalam kegiatan-kegiatan yang sebetulnya hanya diberikan kepada kaum wanita.

Dan masyarakat, orang tua, lembaga pendidikan, bahkan gereja-gereja tertentu mendukung kebebasan ini karena didasarkan pada kebebasan hak masing-masing individu. Atas nama kasih dan tolerasi kepada hak-hak kemanusiaan, maka segala penyimpangan ini bukan saja tidak ditegur atau dikoreksi, melainkan justru mendapat sambutan positif.

Pertanyaannya, apakah hal yang seperti ini layak disebut sebagai kasih? Apabila tidak, lalu darimana tolok ukurnya sehingga kita yakin bahwa hal seperti itu memang bukan kasih?

Ketika kita memahami Pribadi Allah yang adalah kasih dan kita belajar bagaimana Allah mengasihi manusia, maka dengan tegas kita dapat berkata bahwa kekacauan di dalam cara menentukan gender seseorang seperti disebutkan tadi, jelas merupakan penyimpangan yang harus ditegur dan dikoreksi. Berbagai pernyataan dan contoh-contoh kasus dalam Alkitab, dengan jelas mengatakan bahwa manusia hanya memiliki dua gender yang ditetapkan sejak lahir bahwa hubungan seksual sesama jenis adalah suatu kejahatan di mata Allah.

Adalah sebuah kejahatan apabila orang yang salah itu tidak ditegur dan diupayakan untuk kembali ke jalan yang benar. Dan justru adalah tindakan cinta kasih yang benar apabila kita dengan tegas berkata bahwa gerakan LGBTQ adalah dosa dan pelakunya harus bertobat dan kembali hidup mempermuliakan Tuhan.

Tanpa adanya pengenalan akan kasih Allah, manusia akan terus terperosok masuk ke dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya, pengenalan terhadap kasih Allah akan membawa manusia kepada keselamatan dan pertumbuhan rohani.

Dalam pertumbuhan rohani ada dua hal fundamental yang harus dipahami:

  1. Memahami betapa dalamnya kita telah dosa.
  2. Memahami betapa besarnya Kasih Allah yang dilimpahkan pada manusia melalui Yesus Kristus.

Ciri dari orang yang ada di dalam Tuhan adalah munculnya kesadaran di dalam diri orang itu bahwa ia telah berdosa besar di hadapan Tuhan. Ini hal yang sangat fundamendal. Apakah kita ini sadar bahwa ada kecenderungan memberontak di hadapan Tuhan? Orang bisa merasa benar dan merasa layak, karena tidak sungguh menyadari kondisi keberdosaannya di hadapan Tuhan. 

Kerendahan hati bukanlah seni dalam menghina diri sendiri. Orang yang rendah hati itu, bukanlah orang yang suka mengatakan bahwa dirinya orang bodoh, jelek, tidak bisa apa-apa dan seterusnya. Itu sama sekali bukan sikap rendah hati, melainkan sebuah sikap rendah diri atau minder, dan sikap seperti itu sama sekali bukanlah sikap yang baik. Jika demikian, lalu seperti apakah sikap orang yang rendah hati itu?

Orang yang rendah hati adalah orang yang tahu posisi dirinya ada dimana ketika ia berhadapan dengan Tuhan, dengan sesama dan bahkan dengan seluruh alam semesta. Ada orang yang menyembah gunung, atau bersujud di hadapan sebuah pohon. Itu adalah contoh yang cukup gamblang dari orang yang tidak sadar di mana posisinya di alam semesta ini. Seseorang seharusnya sembah sujud di hadapan Tuhan, mengasihi sesama dan mengelola alam, bukan malah kebalikannya, bersujud di hadapan alam, membenci manusia dan tidak mengakui keberadaan Tuhan serta tidak mengindahkan Firman-Nya.

Orang yang rendah hati sadarnya statusnya sebagai apa di dalam dunia ini dan peran atau fungsi atau tanggungjawab apa yang harus ia jalankan selama ia hidup di dalam dunia ini.. Ia menerima semua itu dengan lapang dada dan menjalankan tanggungjawab yang harus dipikulnya dengan sikap hati yang positif. Musa adalah orang yang rendah hati. Ia tidak iri pada orang yang posisinya lebih tinggi, juga tidak bersikap kejam terhadap orang-orang yang posisi sosialnya lebih rendah. Musa lemah lembut, tetapi tidak ragu untuk angkat senjata dan berperang jika hal itu memang dibutuhkan. Karena ia sadar di dalam menjalankan tanggungjawabnya yang berat, terkadang ia harus memerangi kejahatan manusia lain yang mencoba merusak jemaat Tuhan yang telah dipercayakan padanya.

Orang yang rendah hati tahu keadaan spiritualnya di hadapan Tuhan, yaitu sebagai orang yang berdosa dan membutuhkan belas kasihan dari Tuhan. Secara ironis, dosa justru seringkali membuat seseorang tidak sadar posisinya di hadapan Tuhan. Bukannya memohon belas kasihan, ia justru tidak merasa bersalah di hadapan Tuhan. Bahkan sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kejadian 3, orang berdosa selalu merasa bahwa orang lainlah yang lebih bersalah daripada dirinya.

Berapa banyakkah kita harus memberi pengampunan?

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. (Matius 18:21-22)

Dalam suatu perbincangan tentang pengampunan, Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk mengampuni orang yang bersalah sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Hal itu membuat para murid tercengang, karena mereka merasa bahwa jumlah itu terlalu banyak. Tetapi hal ini dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menyadarkan para murid akan betapa banyaknya mereka telah berdosa di hadapan Tuhan.

Orang yang sadar bahwa ia telah banyak menerima pengampunan dari Tuhan, maka orang itu akan bersedia untuk mengampuni orang lain. Tetapi orang yang merasa mendapat pengampunan yang sedikit dari Tuhan, maka akan sedikit pula ia menunjukkan pengampunan kepada orang lain. Pada praktiknya, siapakah manusia di dunia ini yang hanya membutuhkan pengampunan sedikit saja dari Tuhan? Tidak ada. Semua manusia pada dasarnya membutuhkan pengampunan yang sangat besar dari Tuhan. Hanya manusia yang belum mengenal siapakah Tuhan dan siapakah dirinya saja yang merasa bahwa ia menerima sedikit pengampunan.

Petrus beranggapan, apabila seseorang dapat mengampuni orang lain hingga 3 kali sajapun sudah merupakan hal yang luar biasa. Tetapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa ia harus mengampuni sebanyak 70 x 7 kali yang merupakan angka kesempurnaan atau kepenuhan atau bahkan gambaran dari infinity atau sesuatu yang tidak ada batasnya. 

Apa yang dilukiskan oleh Tuhan Yesus merupakan suatu gambaran pengampunan yang sangat fantastis dan tak terbayangkan apabila kita diharuskan untuk melakukannya. Murid-murid merasa heran bagaimana Tuhan Yesus bisa sampai pada hitungan seperti itu. Darimana konsep seperti itu bisa muncul? Apa dasarnya sehingga Tuhan Yesus bisa mengatakan hal yang seperti itu?

Untuk menjelaskannya, maka Tuhan Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang berhutang sebanyak 10.000 talenta. Sekedar perbandingan saja, 1 Talenta = 6000 dinar. Jadi 10.000 Talenta = 60.000.000 dinar. Sehingga apabila 1 dinar adalah sama dengan upah 1 hari, maka 60 jt dinar adalah upah untuk 60 jt : 360 hari = 167.000 tahun. Atau jika kita mengasumsikan usia rata-rata manusia adalah 70 tahun, maka hutang tersebut sama dengan 2.386 kali siklus kehidupan seorang manusia. Suatu perbandingan angka-angka yang sangat fantastis, 100 dinar dibandingkan dengan 60 jt dinar adalah 0,000167%. [Dapat pula memakai perbandingan antara Rp 50 M dengan Rp 10 juta, hasilnya juga 0,0002%]

Tetapi karena orang dalam perumpamaan itu tidak mampu membayar, maka hutangnya tersebut dihapuskan oleh sang raja. Suatu gambaran dari seorang raja yang sangat murah hati dan penuh pengampunan. Yang ironis adalah, ketika selanjutnya orang tersebut berjumpa pula dengan orang lain yang berhutang kepadanya sebanyak 100 dinar, orang yang baru menerima pengampunan sangat besar dari raja ini bukannya terdorong untuk mengampuni kawannya yang berhutang jauh lebih sedikit, melainkan ia malah mencekik dan memasukkan orang lain itu ke dalam penjara. 

Mengapa kita sulit mengampuni orang lain? Karena di satu sisi kita merasa hutang kita kepada Tuhan itu tidak banyak, tetapi di sisi lain kita merasa bahwa hutang orang lain kepada kita itulah yang sangat banyak. Kita merasa bahwa diri kita ini baik-baik saja di hadapan Tuhan, maka kita merasa patut mendapat berbagai kebaikan dari Tuhan. Tetapi orang lain, kita menganggap mereka itu tidak baik-baik saja kepada kita, mereka banyak berhutang pada saya, maka sangat sulit bagi saya untuk mengampuni mereka.

Kondisi seperti ini, yaitu kondisi tidak sadar hutang kita pada Tuhan dan sangat sadar hutang orang lain pada kita, membuat kerohanian kita terhambat, tidak bertumbuh. Itu sebabnya, ketika Roh Kudus datang, maka Ia akan menyadarkan kita akan betapa besarnya dosa kita  di hadapan Tuhan. Dalam Yohanes 16:8, Tuhan Yesus berkata apabila Roh Kudus datang, maka Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman.

Tanpa keinsafan akan dosa, kebenaran dan penghakiman, manusia sulit untuk menjadi rendah hati, sehingga juga akan suit untuk mengampuni orang lain, dan pada gilirannya akan mengalami kesulitan dalam pertumbuhan kerohaniannya. 

Berita Injil mengingatkan betapa besarnya anugerah pengampunan yang telah diberikan oleh Tuhan pada kita. Orang yang sadar akan dosanya, terdorong untuk memiliki kerendahan hati, bukan saja di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia. Ia akan memiliki hati yang penuh ucapan syukur karena melihat betapa banyaknya kebaikan yang Tuhan telah berikan, sekalipun ia adalah orang yang berdosa.

Ketika ia sadar akan kebaikan Tuhan, maka ia akan lebih memfokuskan diri untuk melihat betapa banyaknya kebaikan yang disediakan Tuhan di dalam dunia ini, bukan malah fokus untuk melihat betapa banyaknya keburukan di dunia ini. Apabila ia sadar akan kebaikan Tuhan, maka ia akan terdorong dengan sendirinya untuk bergiat mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan. Bukan berarti bahwa Tuhan membutuhkan pertolongan kita, tetapi kebaikan Tuhan itu secara natural telah mendorong orang yang menerima kebaikan-Nya untuk turut mengekspresikan kasih kepada Tuhan.

Orang yang merasa diampuni oleh Tuhan, maka waktu melayani pun sikap hatinya akan berbeda. Ia tidak pernah memandang remeh setiap pelayanan. Ia bersedia melakukan apa saja yang baik dan dibutuhkan, tanpa melihat apakah pelayanan yang dikerjakan itu terkesan sederhana dan tidak membutuhkan skill tertentu, ataukah pelayanan yang terkesan jauh lebih terpandang serta membutuhkan skill atau titel tertentu.

Orang yang sadar betapa besarnya Tuhan telah mengampuni dia, tidak akan melihat lagi apakah jumlah orang yang harus ia layani itu sedikit atau banyak, semua orang akan dilayani dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melihat dirinya sebagai over-qualified, melainkan dengan rendah hati akan bergantung kepada kekuatan Allah, sebab tanpa kekuatan dari Roh Tuhan, maka segala kemampuan dan kekuatan kita sama sekali tidak ada gunanya.

Orang yang merasa diampuni oleh Tuhan, di dalam melayani tidak akan menjadi over-sensitive terhadap kebutuhan dan kesejahteraan dirinya, tetapi akan menjadi lebih self-less (melupakan arti penting dirinya) dan lebih fokus pada kebutuhan orang lain yang Tuhan kirimkan untuk dilayani. Orang semacam inilah yang akan mengalami pertumbuhan kerohanian.

Jadi, sekali lagi, ada dua hal yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan rohani seseorang, yaitu:

  • Kesadaran diri sebagai seorang pendosa yang besar di hadapan Allah.
  • Kesadaran akan kasih Allah yang telah memberi pengampunan.

Melalui pembacaan Kitab Suci yang teratur dan diiringi dengan perenungan serta pencarian yang bertanggungjawab, seseorang akan semakin sadar bahwa ia adalah orang berdosa yang masih jauh dari standar Ilahi. Dan melalui pembacaan Kitab Suci itu pula, orang itu akan menemukan betapa besarnya kasih Allah pada manusia.

Mengapa terkadang seseorang merasa bahwa hidup ini masih banyak kurangnya? Karena orang itu tidak menyadari betapa besarnya kasih Allah, ia merasa bahwa kasih Allah saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akan hidup ini. Ia masih menginginkan yang lain. Hal ini mirip dengan bangsa Israel yang meskipun diberi kesempatan untuk bergaul akrab dengan Tuhan, sekalipun kebutuhan hidup mereka sudah dipenuhi oleh Tuhan, namun mereka tetap saja menginginkan kuali penuh daging di Mesir. Mereka tidak menikmati kasih Allah, mereka tidak menikmati kehadiran Allah, mereka menganggap sepi cinta kasih Allah, atau belum tahu bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi dan bahwa kasih Allah itu cukup bagi mereka.

Ada kalanya kita merasa dikasihi oleh Tuhan, tetapi masih merasa iri pula dengan orang lain. Sebab kita merasa Tuhan tidak adil, lebih mengasihi orang lain daripada mengasihi diri kita. Hal ini mirip dengan jemaat Yahudi di Roma, yang merasa Tuhan telah bersikap tidak adil dan lebih mengasihi jemaat Roma yang non-Yahudi. Dan untuk menanggapi hal ini, Rasul Paulus juga mengawali tulisannya dengan mengingatkan kembali jemaat di Roma akan betapa besarnya dosa-dosa manusia di hadapan Allah, sehingga tidak perlu merasa bahwa orang lain lebih baik atau lebih buruk, melainkan lebih fokus pada kasih Allah dan kesetiaan-Nya pada manusia. Kalau kita sadar berapa besar kasih Allah, maka kita akan bersyukur, dan bukan mencari-cari siapa lebih baik dan siapa lebih buruk.

Orang yang mengalami pertumbuhan rohani akan menemukan fakta bahwa kunci dari ketenangan jiwa adalah lemah lembut dan rendah hati seperti Tuhan Yesus (Matius 11:29). Lemah lembut itu artinya orang yang punya kekuatan, tetapi memilih untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Sedangkan rendah hati artinya orang yang tahu dimana posisinya di hadapan Allah dan di hadapan sesama manusia, sehingga dapat berespon dan bertindak secara sesuai dengan posisinya itu.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua untuk memiliki pertumbuhan spiritual yang sehat dan baik. Amin.