Some guys have all the luck…
some guys have all the pain… begitulah sepenggal lirik lagu yang pernah
dinyanyikan oleh Rod Stewart, penyanyi dan songwriter dari Inggris.
Ungkapan Stewart tersebut mau
tidak mau mengingatkan saya akan nasib ke dua anak Adam dan Hawa. Kain, namanya
mengandung arti “mendapatkan.” Sedangkan Habel berarti “kesia-siaan.” Yang satu
memperoleh, yang satu kehilangan. Sungguh bagaikan sebuah ironi, bukan?
Semenjak jatuh ke dalam dosa,
jiwa manusia mengalami kekosongan yang amat mendalam, sehingga manusia begitu
haus untuk mengisi kekosongan itu dengan apapun yang bisa mereka dapatkan.
Itu sebabnya kita, sebagai
keturunan dari manusia yang berdosa, sangat mengagungkan budaya mendapatkan ini, jauh melebihi budaya memberi atau membagi-bagikan. Orang yang mendapat
banyak adalah orang yang beruntung dan mengagumkan sekali di mata dunia. Orang
yang tidak punya apa-apa, yang rela kehilangan segala sesuatu hingga nyawa pun
harus diberikan kepada orang lain, adalah orang yang hidupnya sangat sia-sia.
Keberhasilan seseorang di dunia ini selalu diukur dari berapa banyak yang telah
ia dapatkan selama hidupnya.
“He who dies with the most toys
wins,” demikian perkataan Malcom Stevenson Forbes yang sangat terkenal itu.
Dan Forbes membuktikan ucapannya dengan senantiasa mempromosikan gaya hidup
yang sangat glamour, sarat dengan pesta, traveling dan bahkan akhirnya
berkesempatan untuk menutup usia dengan status sebagai orang yang masih sangat
kaya. Forbes bukan cuma pandai membuat ungkapan yang keren, tetapi ia juga
berhasil menghidupi ungkapan keren-nya itu dalam kegiatan sehari-hari.
Bukan itu saja, majalah Forbes
yang dimilikinya, senantiasa menampilkan daftar orang-orang paling kaya di
dunia dengan sederetan angka-angka yang mencerminkan berapa banyak yang telah didapatkan
oleh orang-orang beruntung itu dalam kehidupan mereka.
“Mendapatkan.” Siapakah yang
tidak ingin mendapatkan sesuatu untuk dimiliki? Kehausan kita untuk
mendapatkan atau memperoleh segala sesuatu itu nyaris sulit ditemukan
batasannya, karena sangat banyak sekali. Mulai dari uang, rumah, mobil, emas, gadget
paling mutakhir, hingga hasrat untuk mendapat pujian, disanjung keluarga,
menjadi anak kebanggaan orang tua, mendapat kebahagiaan, kemudahan, nama baik,
kesehatan, umur panjang dan bahkan mendapatkan penerimaan dari Tuhan. Siapa
yang tidak ingin mendapatkan semua hal tersebut di dalam hidupnya?
Bukan suatu kebetulan jika hasrat
kita yang tidak ada habis-habisnya untuk mendapatkan segala sesuatu itu, memiliki
arti yang sama dengan nama Kain. Bahkan setelah membunuh adiknya, Kain
mendapatkan kesempatan untuk tetap hidup (setidaknya hidup menurut definisi
kita orang modern, bukan hidup menurut definisi Alkitab), sempat memiliki
banyak keturunan, membangun kota besar dan memiliki kekayaan. Nyaris tidak ada
berita kesialan yang menghampiri hidupnya.
Dalam konteks bahasa modern, Kain
adalah lambang kesuksesan hidup, Forbes tentu bangga terhadap orang yang satu
ini.
Saya yakin, jika saja Kain tidak keburu
diberi label sebagai “penjahat” oleh Guru Sekolah Minggu atau pemimpin rohani
kita, maka kita pun diam-diam akan memimpikan kehidupan seperti yang dimiliki Kain,
bukan? Siapa sih yang tidak ingin menghajar orang yang membuat kita merasa kesal?
Siapa sih yang tidak ingin tetap hidup bebas, bahkan setelah membunuh orang
sekalipun? Siapa sih yang tidak ingin
punya banyak keturunan? Siapa sih
yang tidak kepingin kaya? Kain punya
semua itu, bukan saja ia memiliki banyak keturunan, Alkitab bahkan melukiskan
keturunan Kain sebagai orang-orang yang sukses, yaitu sekumpulan orang-orang
yang sudah pasti akan turut menghiasi halaman-halaman majalah Forbes yang
terkenal itu.
Berikut ini kita akan sama-sama melihat
beberapa keberhasilan Kain, ditinjau dari kacamata manusia modern (yang telah
jatuh ke dalam dosa):
Kain tidak dibunuh, bahkan setelah ia
membunuh
Di mata Kain, Habel benar-benar adik yang
menyebalkan. Ia mempermalukan Kain di hadapan Tuhan. Ia membuat ibadah Kain
yang sekedar ritual tanpa hati yang percaya kepada Tuhan itu menjadi kelihatan
buruk dan kurang religius. Jika Habel tidak ada, maka siapakah yang tahu bahwa
Kain sebetulnya tidak percaya kepada Tuhan? Dari tampak luar, Kain adalah orang
yang religius, ia suka beribadah, suka memberi persembahan, sungguh-sungguh
kelihatan saleh, benar-benar seorang yang beragama.
Tetapi Habel membuat segalanya jadi berbeda.
Melalui Habel orang jadi sadar dan bisa membuat perbandingan bahwa beribadah
bukan pertama-tama berbicara tentang tampilan luar kehidupan seseorang.
Beribadah terutama adalah tentang sikap hati yang percaya kepada Tuhan. Penulis
kitab Ibrani melukiskan hal itu dengan cara demikian: Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik
dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya,
bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu … (Ibrani 11:4)
Habel beriman kepada Tuhan di dalam hatinya
sedemikian rupa sehingga ia memberi persembahan yang terbaik untuk Tuhan. Ada
kasih di dalam hati Habel untuk Tuhan yang ia sembah.
Dalamnya laut dapat diduga, tetapi apa yang ada
di dalam hati, siapakah yang bisa mengetahuinya? Demikian ungkapan populer yang
kerap kita dengar. Manusia memang tidak mungkin bisa mengetahui kedalaman hati manusia,
tetapi Tuhan bisa. Dan justru apa yang terjadi di dalam hati inilah yang
menarik perhatian Tuhan. Tuhan tidak tertarik pada ibadah yang hanya terlihat
di dalam tampilan luar. Tuhan melihat jauh menembusi apa yang kelihatan, menuju
apa yang tidak kelihatan, yaitu sikap hati.
Karena ada yang bagus, maka yang jelek jadi
kelihatan. Inilah yang terjadi di antara Kain dan Habel. Karena ada Habel yang
hatinya sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, maka kemunafikan Kain jadi terlihat
jelas.
Setelah Kain membunuh Habel, Tuhan memang
datang kepadanya. Tetapi berbeda dengan harapan kita bahwa Tuhan akan menghajar
dia dengan pukulan keras yang mematikan. Tuhan justru seolah-olah membiarkan
dia. Kain hanya diusir dari hadapan Tuhan. Hanya diusir….
Setelah berdosa
besar, tapi (seakan-akan) lolos dari hukuman maut, siapa yang gak seneng mengalami hal ini? Dalam
kehidupan kita, ada banyak berita yang kita baca atau dengar atau bahkan kita lihat
dengan mata kepala sendiri, tentang orang-orang yang melakukan kejahatan
seperti korupsi, pembunuhan, penipuan, percabulan, ketamakan, penindasan
terhadap orang yang lebih lemah, penyalahgunaan wewenang serta jabatan dan lain
sebagainya, namun yang tetap saja dapat lolos dari penghukuman atau penghakiman
di dunia ini.
Di dalam kejahatannya, mereka lolos karena
hukum dunia tidak berhasil menangkap mereka. Orang-orang yang seharusnya
berperan sebagai hakim yang menjunjung tinggi keadilan tidak mampu atau tidak
mau membawa para penjahat itu menerima hukuman yang setimpal atas kejahatan
mereka.
Ada beberapa faktor yang biasanya membuat
keadilan semacam itu gagal ditegakkan. Faktor-faktor itu bisa disebabkan karena
hakimnya telah disuap atau karena bukti-buktinya tidak cukup (atau sengaja
dibuat tidak cukup, atau karena sengaja dihilangkan) atau bisa juga karena
orang yang berbuat jahat itu dipandang masih bisa berguna untuk menjalankan
kepentingan tertentu bagi kelompok tertentu dalam masyarakat.
Singkatnya, selalu ada kemungkinan di dalam
dunia yang berdosa ini bagi orang-orang yang berbuat jahat lolos dari hukuman.
Dan bagi orang tersebut, kondisi ini jelas merupakan suatu keberuntungan. Kain
adalah sosok mula-mula dari keberuntungan tersebut. (Sekali lagi harus saya
tegaskan bahwa keberuntungan di sini adalah dilihat dari kacamata orang
berdosa, bukan dari sudut pandang Alkitab).
UNTUK DIRENUNGKAN
Secara
kasat mata, secara sudut pandang dunia, Kain adalah sosok yang beruntung.
Tetapi di balik keberuntungan itu, Kain sudah tidak mempunyai kesempatan untuk
kembali kepada Tuhan. Mana yang lebih menarik hati kita, nasib baik seperti
Kain? Atau kesempatan untuk kembali kepada Tuhan, walau konsekuensinya pahit?
Untuk membaca uraian tentang Kisah Kain dan Habel dari Kitab Kejadian Pasal 4 lainnya silahkan
Tuhan memberkati.