Showing posts with label Markus. Show all posts
Showing posts with label Markus. Show all posts

Friday, May 14, 2021

Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga

Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga


3 Arti Penting Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga
 

Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya. (Markus 16:19-20)

Peristiwa terangkatnya Tuhan Yesus ke sorga merupakan satu di antara beberapa peristiwa pemuliaan (exaltation) Tuhan kita. Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan kita yang mulia sejak dari kekal itu, sebelum mengalami pemuliaan telah terlebih dahulu mengalami perendahan dan penghinaan (atau humiliation) di dalam dunia ini. [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan iman? Klik disini.]

Apa sajakah penghinaan yang harus dialami oleh Tuhan Yesus? Alkitab mengajarkan ada 4 (empat) tahap dalam perendahan (humiliation) Tuhan Yesus, yaitu:
1. Inkarnasi atau kelahiran di Betlehem
2. Penderitaan, baik selama hidupNya maupun terutama di atas kayu salib.
3. Kematian.
4. Dikuburkan

Setelah mengalami perendahan seperti itu, Tuhan kita lalu mengalami 4 (empat) tahap pula dalam pemuliaan (exaltation), yaitu:
1. Kebangkitan,
2. Kenaikan ke sorga
3. Duduk di sebelah kanan Allah Bapa
4. Datang kembali di dalam segala kemuliaan dan kuasa, menjadi Hakim bagi seluruh umat manusia.

Tidak ada suatu hal yang diajarkan oleh Alkitab yang tidak memiliki manfaat bagi kita, orang yang percaya, oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan coba melihat apa arti penting dari kenaikan Tuhan Yesus ke sorga itu bagi kita. Kenaikan Tuhan kita ke sorga memiliki arti penting bagi kita semua. Dalam tulisan ini saya akan menyampaikan setidaknya ada 3 arti penting dari kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga, yaitu:

Pertama
Menjadi jaminan bagi kita semua yang percaya kepada-Nya bahwa kitapun akan diangkat ke sorga untuk tinggal bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan dipersatukan pula dengan Bapa.

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yohanes 14:3)

Jadi sebagaimana Tuhan Yesus naik ke sorga untuk tinggal bersama Bapa. Demikian juga nanti Tuhan akan membawa kita semua ke tempat-Nya, supaya di tempat di mana Tuhan Yesus berada, kita pun berada.

Kedua
Memberi jaminan bahwa rumah kita yang sesungguhnya bukanlah di dunia ini, melainkan di sorga bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Manusia sering tergoda untuk mengikat dirinya dengan begitu banyak hal di dunia ini. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa dunia ini bukan rumah kita yang sesungguhnya, rumah kita adalah bersama dengan Dia.

Jika kita tidak belajar untuk tinggal di dalam Dia selagi masi di dunia ini. Jangan-jangan itu adalah pertanda bahwa kita memang tidak akan tinggal di dalam Dia kelak dalam kehidupan yang selanjutnya.

Ketiga
Memberi kita tanggung jawab untuk bersaksi. Kenaikan Tuhan Yesus bukan untuk dihayati sebagai sesuatu yang wah.. keren ya bisa naik ke sorga, aku juga mau ahh. Betul kita memang akan naik juga ke tempat Tuhan Yesus. Tetapi Markus mejelaskan bahwa setelah Tuhan Yesus naik, maka para murid bukan duduk leha-leha sambil menunggu waktu mereka diangkat.

Sebaliknya, inilah saatnya mereka harus bekerja bagi Tuhan menjadi saksi bagi Tuhan ke seluruh dunia. Tuhan Yesus pernah hadir di dunia untuk menjadi saksi bagi Bapa-Nya. Kini setelah Tuhan Yesus naik, justru tanggungjawab itu diserahkan kepada kita untuk bersaksi bagi Dia selama kita masih hidup di dunia ini.

Inilah ke 3 arti penting dari kenaikan Tuhan Yesus ke sorga, kini pertanyaannya adalah:
- Apakah kita sudah menghayati panggilan untuk bersaksi ini?
- Apakah kita sudah setia dalam menjalani panggilan ini?

Kiranya peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke sorga ini memberi kita suatu:
Penghiburan bahwa Tuhan yang kita percayai adalah Tuhan yang sejati.
Pengharapan bahwa pada suatu saat kitapun akan diangkat ke tempat Tuhan kita berada
Kesadaran akan tanggungjawab kita di dunia ini. Tugas belum selesai, kita harus bersaksi bagi Tuhan.

Kiranya Tuhan Yesus senantiasa memberkati kita dengan penghiburan, pengharapan dan kesadaran akan tanggungjawab kita selama di dunia ini. Amin

Dengarkan versi Audio dari 3 arti penting kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga melalui:
Spotify: Klik disini
 
Atau
 
Anchor: Klik disini
 

Baca juga artikel lain:
Mengapa Tuhan Yesus harus datang sebagai Manusia ? Klik disini
Perenungan dari Yohanes 3:16. Klik disini

Tuesday, April 14, 2020

Kepala pasukan percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah




Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat mati-Nya demikian, berkatalah ia: "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" (Markus 15:39)

Pada sore hari itu, dua pemimpin pasukan saling berhadap-hadapan. Yang seorang adalah pemimpin pasukan Romawi, sedang yang Seorang lagi adalah Pemimpin Pasukan Bala Tentara Sorga. Tetapi bukan dengan maksud untuk berperang mereka saling berhadapan, sebab yang seorang masih hidup sedangkan yang Satu lagi sudah mati.

Menurut kacamata dunia, yang mati di salib itulah yang berhasil ditaklukkan. Tetapi menurut kacamata Kerajaan Allah, justru yang masih berdiri itulah yang telah ditaklukkan, bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang, melainkan dengan Firman.

Kekristenan tidak dibangun di atas berita keberhasilan menurut standar dunia. Sebab jika kekristenan dibangun di atas kisah kesuksesan sebagaimana yang dunia ini pahami, maka kisah kematian Yesus di atas kayu salib sama sekali tidak cocok dengan gambaran keberhasilan manapun.

Yesus pada akhirnya mati. Dia yang lahir di kandang domba itu, yang datang dari kampung tidak terkenal bernama Nazaret itu, dan yang senantiasa menjalani kehidupan penuh derita itu, telah mati. Nabi Yesaya pernah melukiskan Yesus sebagai “… seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; (Yesaya 53:3) ” Kita tidak membaca kisah Yesus seperti membaca kisah kesuksesan Bill Gates ataupun kisah Mark Zuckerberg, bukan?

Tetapi yang menarik adalah, justru dalam keadaan yang jauh dari kesan berhasil itulah, sang kepala pasukan Romawi menyadari bahwa Yesus adalah Anak Allah. Ia bahkan belum melihat bahwa Yesus pada akhirnya bangkit kembali, tetapi ia sudah dapat percaya.

Iman yang sejati adalah iman yang bertumbuh dari perspektif salib. Jika kita bisa melihat Yesus sebagai Anak Allah di dalam kematian-Nya di kayu salib, maka bersyukurlah, sebab itulah tanda bahwa Allah telah bekerja di dalam hati kita.

Sekarang bandingkan dengan peristiwa di bawah ini:
Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Yesus melarang orang itu memberitahukannya kepada siapapun juga.. (Lukas 5:13-14)

Mengapa Yesus melarang orang memberitahukan bahwa Ia telah menyembuhkan orang yang sakit kusta? Jawabannya adalah: Karena Yesus tidak ingin dikenal sebagai Mesias yang pandai menyembuhkan orang dari sakit penyakit.

Betapa berbedanya sudut pandang Alkitab dengan sudut pandang kekristenan zaman sekarang bukan? Banyak orang mengira, kita akan lebih mudah percaya apabila Yesus melakukan mukjizat. Banyak orang menyangka bahwa iman bertumbuh dari pekerjaan-pekerjaan ajaib yang Allah lakukan. Itu sebabnya hingga masa kini pun banyak gereja yang sangat bersemangat mengejar hal-hal spektakuler dan ajaib dari Allah sebagai semacam bahan bakar untuk menghidupkan iman kita.

Menurut Alkitab, iman semacam itu belum tentu merupakan iman yang sejati. Ada sangat banyak cerita di dalam Alkitab tentang perbuatan ajaib Allah yang tidak menghasilkan iman yang sejati. Orang Israel tetap tidak percaya, orang Farisi tetap membenci dan ahli Taurat pun tetap mencemooh, sekalipun tanda-tanda ajaib ada di depan mata mereka. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengajar bahwa jika seseorang tidak bisa diyakinkan melalui Alkitab, maka mereka juga tidak akan bisa percaya sekalipun melihat orang mati bangkit kembali. (Lukas 16:31)

Alkitab mencatat bahwa iman sejati itu timbul dari pendengaran, yaitu pendengaran akan Firman Kristus (Roma 10:17). Dan apakah Firman yang sering diulang-ulang oleh Kristus sebelum Ia mati disalib? Bahwa Ia ”harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” (Markus 8:31)

Orang yang hanya tertarik pada Yesus karena Ia pandai membuat mukjizat, mungkin sekali pada dasarnya bukan orang yang percaya, sebab bukan Yesus yang mereka cari, tetapi keajaiban semata-mata. Tetapi orang yang bisa melihat kemuliaan Kristus dari perspektif salib, tanpa embel-embel keajaiban, justru sangat mungkin adalah orang yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus.

Salah satu contoh terbaik yang dapat kita lihat adalah kepala pasukan Romawi yang berdiri di hadapan Kristus itu. Tidak ada keajaiban, belum ada kebangkitan, tidak ada yang terlalu spesial kecuali seorang pria Yahudi yang sebelum mati-Nya memberikan perkataan-perkataan penuh kasih dan pengampunan kepada orang-orang di sekitar-Nya.

Dalam moment kematian dan kebangkitan Yesus ini, biarlah masing-masing kita melihat ke dalam hati kita, Yesus seperti apakah yang kita lihat selama ini? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin. (Oleh: izar tirta)


Beberapa pertanyaan reflektif:
Apakah yang dapat dipelajari dari Markus 15:39?
Mengapa kepala pasukan Romawi dapat percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah?
Apakah anda percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah?
Melalui apakah kepala pasukan Romawi melihat bahwa Yesus adalah Anak Allah?
Mengapa Tuhan Yesus tidak ingin orang mengenal Dia sebagai penyembuh dari penyakit?
Apakah mukjizat itu berguna bagi pertumbuhan iman yang sejati?
Seperti apakah iman yang sejati itu?
Darimana timbulnya iman yang sejati itu?

Monday, April 13, 2020

Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan

Eksposisi singkat Markus 14:36
 
Oleh: Izar Tirta




Kata-Nya: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Markus 14:36)

Banyak orang berpendapat bahwa semua agama itu sama saja, dan bahwa Yesus pada dasarnya sama mulianya dengan para pendiri agama lain. Terdengar indah pendapat seperti itu, bukan? Tetapi menurut Alkitab, pendapat semacam itu adalah tanda atau ciri dari mereka yang akan binasa.

[Baca juga: Arti penting kebangkitan Yesus Kristus. Klik disini]

Sebab tidak mungkin ada satu manusiapun di dunia ini yang dapat menyamai Yesus Kristus. Ia adalah suatu teladan sempurna dari seorang Manusia sejati. Bahkan di dalam saat-saat penderitaan-Nya pun, Yesus Kristus tetap mementingkan kehendak Bapa, ketimbang memikirkan kehendak-Nya sendiri.

Tidak ada yang mustahil bagi-Mu
Tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk mengambil cawan penderitaan itu dari Yesus, tetapi Allah memilih untuk tidak mengambil cawan itu. Sebab dari semula Bapa memang telah berencana untuk menyelamatkan manusia melalui pengorbanan Anak-Nya yang tunggal itu. Hal ini perlu kita pahami agar kita sadar bahwa meskipun Allah punya kebebasan untuk tidak menolong kita, tetapi Ia tetap secara bebas memilih untuk menyelamatkan kita melalui Yesus.

Ambillah cawan ini dari pada-Ku
Yesus berharap Bapa mengambil cawan yang harus Ia minum, cawan apakah itu? Cawan yang Yesus maksudkan adalah cawan murka Allah yang disediakan bagi orang-orang berdosa.

Pada saat ini, orang-orang berdosa di dunia masih tidak menyadari kengerian apa yang sedang menanti mereka di balik kematian. Mereka berpikir bahwa segalanya akan berjalan baik-baik saja. Mereka pikir asalkan mereka tekun menjalankan ritual agama maka segalanya akan beres. Mereka berpikir bahwa diri mereka sudah cukup baik. Mereka pikir semua orang akan diselamatkan dan masuk sorga juga pada akhirnya. Menurut Alkitab hal itu sangat keliru.

Mereka tidak sadar bahwa ada murka Allah yang menyala-nyala sedang menantikan mereka. Dan cawan murka Allah itulah yang kini sedang disiapkan untuk diminum oleh Yesus Kristus. Ia yang tidak berdosa, harus menanggung murka Allah yang menakutkan karena Allah berencana untuk menyelamatkan para pendosa itu, jika mereka percaya dan taat pada Firman-Nya.

Jangan kehendak-Ku
Pada titik ini kita mungkin heran, mengapa Yesus berkata seperti itu? Bukankah dengan demikian ada kesan bahwa kehendak Yesus berlainan dengan kehendak Bapa-Nya?

Tidak ada yang mudah bagi Tuhan kita ketika Ia harus menjadi Manusia demi menggantikan kita, orang-orang berdosa yang jahat ini. Ketika dicobai iblis, Yesus tidak merintih atau pun mengeluh. Ketika disalahpahami, Ia tidak marah. Ketika dibenci Ia tidak balas membenci. Ketika ditinggalkan dan dikhianati, Ia tidak mengumpat. Betapa tabah hati-Nya, bukan? Tetapi siapakah yang sadar bahwa di balik semua itu, Yesus tetap adalah seorang Manusia yang memiliki hati dan perasaan seperti kita semua?

Di taman Getsemani, Tuhan Yesus membukakan kepada kita sedikit realita dari rintihan hati-Nya yang menderita. Yesus merasa takut menyadari apa yang akan Ia hadapi, sebab Ia bukanlah suatu Pribadi tak berperasaan yang bisa diperlakukan apa saja tanpa hati-Nya terpengaruh sama sekali.

[Baca juga: Resep hidup berkelimpahan. Klik disini]

Melihat orang lain menangis, Yesus bisa menangis. Melihat orang lain bersuka cita, Yesus bisa ikut bersuka. Melihat yang malang, Ia berbelas kasihan. Dan melihat hukuman mati yang siap menanti, Yesus bisa merasakan pula suatu kegentaran di dalam hati-Nya. Yesus adalah Allah, tetapi Ia juga adalah Manusia sepenuhnya, biarlah kita tidak melupakan hal itu.

Dalam natur Ilahi-Nya, Yesus tidak mungkin berbeda kehendak dengan Sang Bapa. Tetapi di dalam natur Manusiawi-Nya, Yesus Kristus memiliki kemungkinan untuk berbeda keinginan dengan Sang Bapa. Ketakutan yang mendalam itu telah mendorong Yesus untuk menaikkan permohonan kepada Sang Bapa agar diluputkan dari kengerian salib.

Tentang Yesus Kristus yang memiliki dua kehendak, Charles Hodge pernah mengatakan: ”The prossession of a human nature involves of necessity the possession of a human will, ...” (Charles Hodges, Systematic Theology, 405)

Senada dengan Hodge, Wayne Grudem juga berkata: “It seems necessary to say that Jesus had two distinct wills, a human will and a divine will, …” (Wayne Grudem, Systematic Thelogy, 560)

Apakah Tuhan Yesus telah jatuh ke dalam dosa karena memiliki keinginan yang berbeda dengan Sang Bapa, walau hanya seketika sajapun? Tidak. Sebab jika hal itu merupakan dosa, maka Yesus tidak layak menjadi Penebus yang sempurna bagi kita.

John Calvin melukiskan ketakutan dan kebimbangan Yesus dengan cara demikian: so far as the pure and innocent nature of man could admit, he (Yesus) was struck with fear and seized with anguish, so that, amidst the violent shocks of temptation, he vacillated (bimbang) --as it were--from one wish to another.

Bahkan John Calvin juga mengajukan pertanyaan retoris yang mirip sekali seperti pertanyaan kita: How was his will pure from all vice, while it did not agree with the will of God?

Dan untuk itu Calvin memberi jawaban: Though it be true rectitude to regulate all our feelings by the good pleasure of God, yet there is a certain kind of indirect disagreement with it which is not faulty, and is not reckoned as sin; if, for example, a person desire to see the Church in a calm and flourishing condition, if he wish that the children of God were delivered from afflictions, that all superstitions were removed out of the world, and that the rage of wicked men were so restrained as to do no injury. These things, being in themselves right, may properly be desired by believers, though it may please God to order a different state of matters: for he chooses that his Son should reign among enemies; that his people should be trained under the cross; and that the triumph of faith and of the Gospel should be rendered more illustrious by the opposing machinations of Satan. We see how those prayers are holy, which appear to be contrary to the will of God; for God does not desire us to be always exact in inquiring what he has appointed, but allows us to ask what is desirable according to the capacity of our senses. (John Calvin, Commentary on Matthew 26:39)

Tetapi kehendak-Mu yang jadi
Yang menjadi persoalan bukan apakah Yesus sempat memiliki kehendak yang berbeda dengan Bapa-Nya atau tidak. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pada akhirnya Yesus menyerahkan segala sesuatu terjadi menurut kehendak Sang Bapa. Inilah bentuk dari ketaatan yang sejati.

Ketaatan sejati bukan tanpa pergumulan. Ketaatan sejati tidak sama seperti robot yang diprogram untuk melakukan sesuatu. Di dalam ketaatan ada pergumulan. Di dalam ketaatan ada pilihan, yaitu pilihan untuk taat atau untuk tidak taat.

Melalui apa yang Yesus katakan kita belajar suatu teladan yang sangat indah. Yaitu bahwa Tuhan Yesus pun bukan Manusia yang tidak pernah bergumul. Ketika dicobai Ia tersiksa, tetapi tetap taat melawan semua godaan. Ketika ketakutan Ia juga tersiksa, tetapi tetap taat melawan semua keinginan Manusiawi-Nya sendiri.

Benarlah yang dikatakan oleh penulis Ibrani: Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, (Ibrani 5:8,9)


Kiranya kita dapat semakin menghargai pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Ia lakukan itu demi menyelamatkan kita, bukan tanpa kesulitan, bukan tanpa pergumulan dan bukan tanpa ketakutan. Celakalah kita jika sampai detik ini kita masih saja berkata: ada banyak jalan menuju ke sorga. Kiranya Tuhan berbelas kasihan kepada kita. Amin.

Untuk comment dan permohonan doa silahkan WA ke: 087712051970

Beberapa pertanyaan reflektif:
Apakah maksud perkataan Yesus: "Tidak ada yang mustahil bagi-Mu?"
Apakah bagi Tuhan memang tidak ada yang mustahil?
Sebuah sebuah contoh dari hal yang mustahil Tuhan lakukan.
Apakah maksud perkataan Yesus: "Ambillah cawan ini dari pada-Ku?"
Apa yang dimaksud dengan cawan di Taman Getsemani?
Mengapa Yesus meminta Bapa mengambil cawan itu berlalu?
Apakah Tuhan Yesus berputus asa ketika meminta cawan murka Allah berlalu?
Apakah maksud perkataan Yesus: "Jangan kehendak-Ku?"
Apakah Tuhan Yesus memiliki kehendak yang berbeda dengan Bapa?
Apakah Tuhan Yesus menentang Bapa ketika berkata "Jangan kehendak-Ku?"
Apakah Tuhan Yesus telah berdosa karena memiliki kehendak yang berlainan dengan Bapa?
Apakah yang menjadi kehendak Tuhan Yesus di Taman Getsemani?
Apa maksud perkataan Yesus: "Tetapi kehendak-Mu yang jadi?'
Apa yang dimaksud dengan ketaatan? Apa ciri-cirinya?
Apa yang dimaksud dengan iman yang sejati? Klik disini
Sebagai orang Kristen, bolehkah kita merasa ragu-ragu dengan iman kita?
Sebagai orang Kristen, bolehkah kita merasa bimbang dengan iman kita?
Apakah Tuhan Yesus perlu belajar untuk menjadi taat?
Apakah Tuhan Yesus perlu proses untuk mencapai kesempurnaan?

Apa artinya: Sebelum ayam berkokok 2 kali, Petrus menyangkal Yesus Kristus 3 kali?

Ketika seekor ayam lebih setia daripada seorang murid...

Sebelum ayam berkokok 2 kali, Petrus menyangkal Yesus Kristus 3 kali


Kata Petrus kepada-Nya: "Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak." Lalu kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." (Markus 14: 29,30)



Rekomendasi Buku 
"Mengapa Engkau Meninggalkan Aku"
 
Petrus belum benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi dengan Yesus Kristus dan ia juga tidak betul-betul memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri. Itulah sebabnya Petrus merasa sangat yakin bahwa ia memiliki keberanian untuk mengikut Yesus kemana pun Dia pergi, bahkan menuju kematian sekalipun.[Baca juga: Perbedaan antara perbuatan daging dan Buah Roh. Klik disini.]

Akan tetapi respon Tuhan Yesus terhadap Petrus ternyata sangat di luar dugaan. Bahkan Petrus pun tidak mengira akan menerima tanggapan seperti itu.

Di sini kita belajar bahwa keyakinan seseorang, betapapun kuatnya, tidak serta merta sama dan sebangun dengan kenyataan yang ada. Tuhan mengerti isi hati kita jauh lebih dalam daripada diri kita sendiri. Adakalanya kita begitu confident akan diri kita, iman kita, keberanian kita, bahkan “keberhasilan” kita di dalam melayani Tuhan. Tetapi pada akhirnya, hanya Tuhan saja yang benar-benar mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di dalam diri kita. [Baca juga: Mengapa Kekristenan tidak mengakui Apocrypha sebagai Kitab Suci? Klik disini.]

Dari ucapannya Petrus terlihat sangat beriman, sangat cinta Tuhan, sangat setia dan sangat berlainan dengan murid lain yang terlihat sebagai penakut. Tetapi apakah Petrus memang seperti apa yang dipikirkannya sendiri? Tuhan Yesus membuka jati diri Petrus yang bahkan Petrus sendiri pun sama sekali tidak menyadari.

Bagaimana dengan kita? Ada kalanya kita juga seperti Petrus. Yang begitu percaya diri, yang merasa lebih baik dari orang lain, yang merasa sudah sangat memahami Yesus Kristus dan merasa sangat siap untuk membela Dia. Tetapi jangan-jangan ucapan Tuhan Yesus kepada Petrus pun ternyata adalah ucapan yang dapat ditujukan pula kepada diri kita.

Sebelum ayam berkokok dua kali
Ada penafsir yang mencoba mencari tahu berapa kali sebetulnya ayam berkokok sebelum datangnya waktu fajar. Menurut mereka, biasanya ayam berkokok sebanyak tiga kali, yaitu tengah malam, sekitar jam 3 pagi dan terakhir sekitar jam 5 pagi yaitu menjelang terbitnya matahari. Sehingga ketika Yesus mengatakan sebelum ayam berkokok dua kali, maka hal itu dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum jam 3 pagi. Sudut pandang seperti ini saya pikir cukup menarik. [Baca juga: Rasa bersalah yang membawa pada pertobatan dan pengampunan. Klik disini.]

Tetapi mengetahui fakta (atau teori) semacam itu saja barangkali kurang membawa kita kepada suatu kekayaan pengertian tentang betapa dalamnya Petrus telah jatuh ke dalam dosa. Apalagi catatan tentang “ayam yang berkokok dua kali” ini ternyata tidak terlalu ditekankan pula oleh para penulis Injil yang lain. Hanya Markus yang mengutarakan hal tersebut. Sehingga sepertinya tidak jadi persoalan apakah Petrus menyangkal sebelum jam 3 pagi atau sebelum jam 5 pagi. Penulis Injil lain malah tidak membahas hal itu sama sekali.

Jadi apa yang dapat kita pelajari dari catatan Markus yang cukup unik ini?
Secara umum kita mengetahui bahwa ayam berkokok karena ia mengenali akan datangnya sang fajar, yaitu terang yang datang ke dalam dunia yang gelap. Jika ayam saja yang hanya seekor binatang yang rendah, bisa mengenali terang dunia yang berasal dari matahari, mengapa Petrus yang adalah seorang manusia yang mulia,  tidak bisa mengenali Sang Terang sejati? Petrus menyangkal bahwa ia kenal dengan Tuhan Yesus. Petrus sudah sekian lama mengikut Yesus, sudah sekian lama melihat perbuatan dan tanda-tanda ajaib Yesus, tapi ia tetap gagal mengenali Sang Terang sejati itu.

Ayam saja begitu setia menyambut pergantian hari, begitu konsisten dalam memberitakan datangnya sang terang yang berasal dari matahari. Mengapa Petrus justru menyangkali Sang Terang itu? Dan jika ayam saja berkokok hingga dua kali untuk mempermuliakan Tuhan, mengapa Petrus menyangkal bahkan sampai tiga kali untuk mempermalukan Tuhannya? Betapa dalamnya kejatuhan Petrus dalam gambaran ini, bukan?

Tentu saja, seorang manusia tidak sepantasnya disandingkan dengan seekor ayam. Tetapi disini kita melihat suatu ironi yang besar. Ia yang menyangka bahwa dirinya begitu tinggi, pada akhirnya harus mendapati bahwa ia telah melakukan perbuatan yang sangat rendah. Ia yang menyangka bahwa dirinya sangat setia, pada akhirnya harus belajar dari kesetiaan seekor ayam dalam menjalankan fungsinya di dunia.

Kita tidak lebih baik dari Petrus, oleh karena itu sangat mungkin kita juga tidak lebih setia dari seekor ayam, ciptaan Tuhan yang rendah itu. Ada beberapa point yang dapat kita pikirkan.

Pertama
Persoalan manusia di dunia ini adalah bahwa mereka sering menilai diri mereka terlalu tinggi di hadapan Tuhan. Bagi orang yang tidak percaya kepada Yesus, mereka merasa bahwa diri mereka cukup baik sehingga tidak memandang perlunya seorang Juruselamat.

Tetapi sebagai orang yang sudah percaya pun, janganlah kita merasa terlalu yakin terhadap diri kita sendiri. Kejadian yang menimpa Petrus hendaklah menjadi peringatan bagi kita. Sudah seberapa jauhkah kita mengenal Yesus Kristus? Petrus pikir dia sudah mengenal Kristus, tetapi kita tahu bahwa ternyata ia keliru.

Kedua
Betapa pentingnya memelihara kerendahan hati di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama kita. Ketimbang merasa sudah cukup baik di hadapan Tuhan dan cukup baik dibandingkan anak Tuhan yang lain, ada baiknya kita senantiasa melihat diri kita sebagai orang gagal yang senantiasa membutuhkan pertolongan dan belas kasihan Tuhan.

Ketiga
Orang yang berteriak-teriak bahwa ia sedang membela Tuhan, belum tentu merupakan tanda atau ciri bahwa ia sudah mengenal Tuhan.

UNTUK DIRENUNGKAN
Bencana global yang sedang melanda dunia saat ini setidaknya membantu kita untuk melihat bahwa kita tidak jauh lebih kuat bahkan dibandingkan dengan organisma yang sangat kecil sekalipun. Sama seperti Petrus yang ternyata tidak lebih setia daripada seekor ayam. Oleh karena itu, atas dasar apa kita bisa merasa lebih kuat dari kuasa dosa yang sedang menggerogoti jiwa kita saat ini?

Jika orang sebesar Petrus saja bisa melakukan kesalahan yang sedemikian dalam, apalagi kita.

Biarlah momen Paskah yang kita rayakan ini mengingatkan kita bahwa tidak selamanya kita akan tinggal di dunia ini, bahkan Yesus pun pada akhirnya pergi dari dunia ini melalui kematian-Nya.

Biarlah momen Paskah yang kita rayakan ini juga mengingatkan kita bahwa ada suatu pengharapan akan datangnya suatu hidup baru yang ditawarkan oleh Yesus yang bangkit itu. Apabila Ia datang, jangan sampai kita gagal mengenal Dia sedemikian rupa hingga kita menyangkali Dia.

Kiranya Tuhan memberkati. Amin.


Beberapa pertanyaan reflektif:
Apa maksud dari perkataan di dalam Markus 14:29,30?
Mengapa Petrus menyangkal Tuhan Yesus?
Mengapa ayam berkokok dua kali?
Apa artinya ayam berkokok dua kali?
Mengapa Petrus semula ingin ikut mati bersama Tuhan Yesus?
Mengapa Tuhan Yesus mengatakan bahwa Petrus akan menyangkal Yesus?