Showing posts with label Efesus. Show all posts
Showing posts with label Efesus. Show all posts

Monday, May 1, 2023

Keselamatan kita adalah pemberian Allah (Efesus 2:8)


 

Keselamatan kita bukanlah hasil prosedur-prosedur mekanis seperti layaknya sebuah mesin. Atau hasil dari formula-formula tertentu yang tidak ubahnya seperti mantra belaka. Keselamatan kita adalah terutama tentang relasi atau hubungan pribadi dengan Allah yang telah memberi keselamatan itu sendiri.

Ada orang yang berpikir bahwa urusan rohani itu dimulai dari bagaimana kita mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau karena kita melakukan prosedur-prosedur tertentu. Ucapkan kalimat ini, maka engkau akan terhitung sebagai orang dengan kepercayaan ini, ucapkan kalimat itu, maka engkau adalah bagian dari jemaat agama itu. Naikkan doa ini sebanyak sepuluh kali lalu tambah dengan doa itu sebanyak dua puluh kali, maka engkau akan begini dan akan begitu. Kirimkan pesan ini kepada seratus teman maka sesuatu keajaiban akan terjadi, tetapi jika engkau tidak melakukannya maka bencana akan datang.

Ada begitu banyak model di dalam spiritualitas mekanik prosedural semacam itu yang bisa kita lihat di dalam kehidupan. Sebuah spiritualitas individuil yang tidak memiliki relasi dengan siapa-siapa kecuali dengan seberapa banyak kita telah melaksanakan hal-hal tertentu di dalam kehidupan ini.

Kamu udah berdoa berapa kali? 10 kali? Well.. aku sih udah 15 kali. Kamu udah berpuasa berapa kali dalam satu bulan? Tidak pernah? Wah.. aku sih puasa setiap hari. Relasi kita akhirnya terjalin bukan dengan Tuhan tetapi dengan angka-angka, dengan prosedur-prosedur, atau dalam bahasa yang lebih agamawi… dengan ritual-ritual. Cara-cara sesat semacam itu jelas bukan ajaran Alkitab… 

Meskipun demikian, orang Kristen pun tidak kebal dari kemungkinan untuk menyimpang ke arah situ. Jika kita melihat keselamatan sebagai anugerah, tetapi kita gagal melihat Siapa yang memberi anugerah, maka pada dasarnya kita salah melihat. Apabila kita melihat keselamatan sebagai hasil dari iman, tetapi gagal memandang kepada Siapa kita beriman, maka pada dasarnya kita juga telah keliru.

Kita tidak menjadi Kristen karena kita ini fasih atau lancar mengucapkan kalimat “aku percaya Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.” Itu namanya mantra ! Kekristenan tidak pernah mengajarkan model spiritualitas ala password semacam itu. Sebab kalau kekristenan kita hanya dibangun dari ucapan-ucapan atau jargon-jargon seperti itu saja, maka iblis pun bisa kita masukkan ke dalam persekutuan Kristen, mengapa? Karena iblis pun pernah mengucap kalimat: “Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah.” (Markus 1:24)

Kita tidak diajar untuk menjadi Kristen ala password seperti itu, kita menjadi Kristen karena kita menjalin relasi kasih dengan Bapa melalui Kristus dengan pertolongan Roh Kudus. Ini adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh iblis, atau oleh siapapun yang ada di luar kerajaan Allah.

Anugerah adalah sesuatu yang indah, tetapi keindahannya bukan terletak di dalam anugerah itu sendiri, melainkan terletak di dalam Dia yang telah memberi anugerah. Iman adalah sesuatu yang berharga, tetapi esensi dari iman bukan terletak dari iman itu sendiri melainkan terletak pada Pribadi yang kita imani tersebut.

Di dalam dunia kita diajar, asalkan engkau cukup percaya, maka apapun yang engkau percayai akan berhasil. Kalimat semacam ini populer sekali di dalam dunia kita, tertama kalau kita ikut seminar-seminar marketing atau mendengarkan para motivator yang berusaha meyakinkan kita untuk menjadi orang yang sukses di dunia ini. Penekanan mereka adalah pada seberapa besar kepercayaanmu.

Alkitab mengajarkan, iman sebesar biji sesawi pun bisa memindahkan gunung, mengapa? Sebab yang terpenting bukan imannya sebesar apa, yang terpenting adalah kepada Siapa iman itu diletakkan. Yang memindahkan gunung bukan iman kita, tetapi Dia yang berkehendak melakukannya bagi kita di dalam kedaulatan-Nya. Alkitab bahkan berkali-kali mencatat orang-orang yang mengalami keragu-raguan namun tetap mendapat pertolongan dari Tuhan. Penekanan Alkitab adalah pada kebesaran Allah, bukan pada kebesaran iman seseorang.

Betapa berbedanya cara pandang dunia dan cara pandang Alkitab tentang arti sebuah kepercayaan. Oleh karena itu, sungguh memilukan jika mimbar gereja pun ada kalanya menyuarakan hal-hal yang tidak berbeda dengan suara-suara para motivator dunia tersebut, bukan?

Keselamatan kita adalah pemberian Allah, oleh karena itu, tujuan dari keselamatan kita pun bukan sekedar demi diluputkan dari neraka saja, melainkan agar kita dapat dengan bebas mencintai Allah yang telah menyelamatkan kita. Adakah hal ini menimbulkan suatu ketertarikan atau gairah di dalam hati kita? Ataukah kita malah menjadi kecewa karena menyangka keselamatan adalah tentang sesuatu yang lain??

Biarlah pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi perenungan pribadi kita di hadapan Allah. Kiranya Tuhan memberkati kita, Amin.

Tuesday, April 18, 2023

Itu bukan hasil usahamu (Efesus 2:8)


Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kita telah membicarakan beberapa aspek dari iman yaitu aspek kekinian, aspek pengetahuan, aspek emosional dan aspek kemauan. Semua aspek yang kita bicarakan itu amat berguna untuk mengevaluasi diri kita sendiri, apakah kita sudah memiliki aspek tersebut di dalam iman kita?

Meksipun demikian, pembicaraan tentang kesejatian iman di dalam diri kita, apabila tidak berhati-hati dapat pula membawa kita kepada suatu kebahayaan. Bahaya apakah itu? Bahaya yang disebabkan oleh perasaan bangga, puas diri, merasa benar (self righteous) dan akhirnya jatuh ke dalam dosa sebagaimana yang dilakukan oleh orang Farisi yang berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;” (Lukas 18:11)

Jika kita tidak hati-hati, tanpa sadar doa kita bisa saja berubah menjadi: “O Yesus aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama dengan orang lain di gereja ku, aku punya iman yang selalu kuhidupi setiap hari, aku punya pengetahuan akan Engkau, aku punya kasih kepada-Mu dan aku punya kehendak untuk setia pada-Mu, bukan seperti teman gerejaku yang tidak tidak tahu apa-apa itu, boro-boro ngerti Alkitab, boro-boro mengasihi Tuhan, kerjanya gosip melulu dan pikirannya juga gak jauh-jauh dari soal dagangan dan cari duit. Aku heran Tuhan, kenapa mereka bisa payah kayak gitu? Aku bersyukur sekali karena aku tidak seperti mereka… Puji Tuhan… Haleluya..”

Awalnya kita ingin menjadi orang Kristen yang memiliki iman sejati, tetapi ternyata pelan-pelan kita berubah menjadi semakin serupa dengan si Farisi itu. Betapa berbahayanya hal ini bukan? Dan betapa mudahnya kita jatuh ke dalam dosa semacam itu, jika kita tidak senantiasa memelihara sikap yang hati-hati, mawas diri dan senantiasa belajar untuk mengkritisi diri sendiri dan belajar menjauhi sikap yang suka menghakimi orang lain.

Kerohanian itu persoalan yang cukup unik, mirip sekali dengan kerendahan hati. Ketika kita pikir kita sedang memilikinya, jangan-jangan justru pada saat itu kita telah kehilangan dia. Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi orang Kristen untuk senantiasa merenungkan perkataan di dalam Efesus 2: “Itu bukan hasil usahamu”

Kekristenan sejati memahami keselamatan sebagai sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan melalui iman. Bahkan kemampuan kita untuk beriman pun bukan merupakan sesuatu yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Kalau kita bisa memiliki iman yang sejati, maka itu semata-mata adalah anugerah dari Tuhan juga, bukan kita yang mengusahakan agar iman itu datang atau muncul di dalam diri kita, tetapi Tuhan.

“Itu (pasti) bukan hasil usahamu,” sebab sebagai manusia yang berdosa, kita telah mati di hadapan Allah. Apakah yang dapat diharapkan dari orang yang sudah mati? Apakah kita dapat berharap bahwa mayat dapat melakukan sesuatu? Tentu tidak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan jika kita mengharapkan bahwa orang yang mati di hadapan Allah dapat tiba-tiba mempunyai kekuatan dari dalam dirinya untuk beriman kepada Yesus, apabila Allah tidak terlebih dahulu menganugerahkan kehidupan yang baru kepada orang yang mati tadi.

Sepintas ajaran ini sepertinya begitu sering kita dengar, ajaran yang  basic sekali, sehingga kita merasa seperti agak bosan mendengar hal tersebut. Akan tetapi, hanya karena hal ini terdengar sederhana, dan sudah sangat sering didengar, apakah diri kita yakin tidak akan pernah jatuh ke dalam dosa si orang Farisi tadi?

Waktu awal-awal kita menjadi orang Kristen, mungkin kita nangis bercucuran air mata di hadapan Tuhan. Sadar sebagai orang berdosa yang tidak pantas, hanya bisa menangis memukul dada seperti si pemungut cukai dalam kisah yang terkenal itu.

Tetapi setelah puluhan tahun berlalu, setelah berbagai pengetahuan atau berbagai gelar sarjana kita sandang, setelah berbagai jabatan di dalam konteks gerejawi kita pegang, orang mulai banyak yang suka sama kita, mereka men-tua-kan kita, hormat, percaya pada kita, adakah kita masih berada di dalam posisi si pemungut cukai tadi?

Atau jangan-jangan..? “Yah… dulu sih memang merasa diri tidak pantas di hadapan Tuhan, tapi sekarang… hmmm ... kayaknya aku oke juga ya? Aku rada panteslah kalau dibanding dulu? Sekarang malah orang lain yang jadi kelihatan tidak pantas.. Itu loh, mereka-mereka yang males pelayanan, yang pengetahuan Alkitabnya di bawah standard, yang gampang jatuh ke dalam perzinahan, perjudian, mabuk-mabukan… ya mereka-mereka itu yang gak pantas… Tapi kalau aku sih……. Oke punyalah….” Tanpa kita sadari tiba-tiba si Farisi datang dan menyalami kita sambil berkata: “welcome to the club my friend…”

Apakah kita pikir bahwa Tuhan akan bangga dengan prestasi kita, atau iman kita, atau pelayanan kita lebih daripada Tuhan bangga kepada orang lain (atau kepada Anak-Nya)? Apakah kita pikir bahwa pada suatu hari nanti kita akan pergi menghadap Tuhan sambil berkata: “Tuhan lihat … imanku yang sejati ini telah membawaku untuk melakukan ini, melakukan itu, mengajar sekian ribu jam di dalam kelas PA, menulis sekian puluh buku, terbang ribuan kilometer untuk memperluas kerajaan Allah” dan seterusnya.. dan seterusnya….

Cukup populer di kalangan orang Kristen (yang merasa cukup rajin dan saleh) sebuah pemikiran bahwa pada saat meninggal nanti ia bisa berkata: Tuhan, inilah jiwa-jiwa yang telah kubawa kepada-Mu melalui penginjilan. Inilah jiwa-jiwa yang telah kumenangkan bagi-Mu. Seakan-akan kita datang sambil membawa semacam simbol kemenangan atau tanda pencapaian ke hadapan Tuhan.

Mendengar itu, sangat mungkin Tuhan akan berkata: “Itu bukan hasil usahamu…” Atau bahkan yang lebih ngeri lagi: “Aku tidak pernah mengenal kamu…” (Matius 7:23)

Kalau mau gaya-gayaan, kita gak mungkin menang sama Agustinus yang hidup di sekitar abad ke 5 Masehi. Ia menulis begitu banyak buku, beribu-ribu halaman isinya. Ia adalah seorang pengkhotbah yang sangat trampil, dengan kekuatan pikiran dan orasi yang begitu tajam. Ia juga dikenal sebagai seorang sastrawan, filsuf atau pemikir kekristenan terbesar semenjak era para rasul. Pikirannya mempengaruhi Marthin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi Kristen lainnya, bahkan pengaruhnya terasa hingga zaman kita sekarang ini.

Tetapi apakah di ranjang kematiannya Agustinus tersenyum bangga atas segala pencapaian yang ditorehkannya selagi ia masih sehat? Tidak… Sebelum menutup mata untuk selamanya, Agustinus, bapa gereja yang sangat diberkati itu, tidak banyak berkata-kata. Ia hanya mengutip Mazmur 51:  Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar…

Tidak ada bangga-banggaan, tidak ada tepuk dada kemenangan. Agustinus sadar sepenuhnya, bahwa ia hanyalah orang berdosa yang membutuhkan belas kasihan dari Tuhan. Ia sadar betul bahwa dirinya hanyalah alat di tangan Tuhan. Semua pekerjaan itu bukan pekerjaan dia, melainkan Allah sendiri yang telah berbelas kasihan, berkenan untuk bekerja melalui dia.

Karl Barth, seorang teolog besar dari Swiss yang hidup di abad ke 20. Ia berani menulis surat kepada Hitler untuk menentang pemikiran Nazi. Ia giat berjuang, menggempur kekuatan teologi liberal. Ia menulis buku Church Dogmatics yang terkenal itu. Pada masa tuanya, setelah segala prestasi itu, ketika ia diminta untuk meringkas seluruh karyanya dalam satu kalimat.. Karl Barth menjawab: Jesus loves me this I know for the Bible tells me so…

Siapakah kita dibandingkan dengan orang-orang sekaliber Agustinus, ataupun Karl Barth ataupun tokoh-tokoh besar lain dalam kekristenan? Dan terutama, siapakah kita di hadapan Yesus Kristus? Meskipun kita patut bersyukur atas iman yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi tidak ada satu titik pun di mana kita punya dasar untuk bermegah atas apa yang telah terjadi di dalam hidup ini melalui iman kita. Mengapa?

Sebab itu bukan hasil usahamu..

Kiranya Tuhan menolong kita tetap memiliki hati seperti si pemungut cukai yang sadar betapa tidak pantasnya diri kita ini di hadapan Tuhan. Amin.



Sunday, January 24, 2021

Aspek-aspek dari iman

Apakah yang dimaksud dengan iman?
Apakah ciri-ciri dari iman yang sejati?
Aspek apa saja yang harus kita perhatikan di dalam iman Kristen?




Seringkali orang menganggap iman sebagai sesuatu tindakan mempercayai sesuatu tanpa didukung oleh bukti-bukti dan tanpa disertai dengan tanda-tanda yang objektif. Sehingga iman sering dilihat sebagai sesuatu tindakan yang kurang dapat diandalkan, terkesan hanya bagi orang bodoh yang kurang suka berpikir dan cenderung melemparkan sebuah realita ke dalam area yang sangat subjektif. [Baca juga: Keselamatan Itu Bukan Hasil Usahamu. Klik disini.]



Buku "Iman Yang Bermakna, 
Keterlibatan Tuhan ditengah Penderitaan Manusia"
Klik disini.

Akibatnya, iman Kristen pun sering dilecehkan sebagai sesuatu yang tidak dapat diandalkan. Bahkan tidak sedikit orang yang mencibir kepercayaan Kristen dengan ungkapan misalnya: “Enak banget jadi orang Kristen, asal percaya saja pada Yesus lalu diselamatkan, padahal hidupnya brengsek, suka tipu, suka gosip” … dan seterusnya.. dan seterusnya…

Semua anggapan itu adalah keliru. Iman Kristen bukan sesuatu yang percaya asal percaya saja. Alkitab memang mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh iman dan bukan oleh perbuatan (Efesus 2:8). Tetapi jika kita membaca Alktitab secara teratur dan menyeluruh, kita akan mengerti bahwa iman yang sejati bukan tanpa disertai dengan tanda-tanda yang jelas.

Berikut ini kita akan melihat setidaknya tiga aspek dari iman Kristen, yaitu:
1. Aspek pengetahuan
2. Aspek emosional
3. Aspek kemauan



Aspek pengetahuan dari iman

Dalam perjalanan misinya ke Atena, Paulus pernah melihat suatu mezbah penyembahan yang ditujukan kepada allah yang tidak dikenal (Kis 17:23). Rupanya orang Yunani di Atena merasa takut apabila mereka lupa atau luput atau terlewat dalam menyembah semua dewa-dewa yang ada. Mereka takut bahwa dewa yang tidak mereka sembah karena ke-alpa-an itu, kemudian akan menjadi marah terhadap mereka.

Itu sebabnya, demi menjamin keamanan diri mereka sendiri dari amukan sang dewa, maka mereka membangun mezbah untuk menyembah dia, yang tidak mereka kenal, siapapun itu, agar dewa tersebut tidak marah lagi kepada mereka.

Mungkin kita pikir orang Yunani itu aneh, tetapi berapa banyak orang Kristen yang sebetulnya sudah mengenal siapakah Yesus Kristus itu? Atau setidaknya dapat berseru seperti Paulus: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia”..? Atau jangan-jangan selama ini kehidupan Kristen kita pun tidak jauh berbeda dengan orang Yunani yang ditemui oleh Paulus pada saat itu?

Kita memang datang ke gereja, memberi persembahan, melakukan ini dan itu (yang kita sebut sebagai pelayanan), tetapi sebetulnya kita tidak kenal siapa Yesus itu. Atau, jangankan untuk mengenal, untuk mengetahui saja pun ternyata pengetahuan kita masih sangat minim sekali. Kita membiarkan tahun demi tahun berlalu dalam hidup kekristenan, tanpa suatu upaya yang serius untuk mengerti Dia, memahami Dia dan pada akhirnya mengenal Dia dalam suatu relasi pribadi yang intim.

Mungkinkah alasan kita menyembah Yesus selama inipun ternyata tidak lebih dan tidak kurang, hanya digerakkan oleh suatu rasa ketakutan kalau-kalau Dia marah, sehingga mengakibatkan Dia tidak mau lagi memelihara hidup kita, tidak mau lagi memberi order-order untuk dagangan kita, tidak peduli lagi kalau kita sakit dan pada akhirnya Dia akan melemparkan kita ke dalam neraka…?

Apabila kehidupan iman kita hanya didorong oleh rasa ketakutan seperti ini, maka sebetulnya kehidupan iman kita pun tidak jauh berbeda bukan dengan orang-orang Yunani itu? Bedanya mungkin hanya terletak pada tempat ibadahnya saja. Sementara orang Yunani beribadah di kuil, kita beribadah di gereja (atau di depan televisi kalau dalam konteks saat ini). Bedanya lagi mungkin terletak pada pribadi yang disembah, orang Yunani punya banyak, orang Kristen punya Yesus. Tetapi jiwa dari penyembahan itu sendiri, jangan-jangan tidak berbeda jauh, yaitu dikendalikan oleh rasa takut (dan bukan kasih), serta didasarkan pada tidak adanya pengenalan akan Dia.

[Catatan: Alkitab memang mengajarkan pula bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi takut yang disebutkan dalam Amsal 1:7 adalah takut yang disertai oleh kasih dan pengenalan. Kita akan membahas hal ini pada kesempatan lain]

Iman Kristen bukanlah iman yang buta. Iman Kristen adalah iman yang melibatkan unsur pengetahuan dan pembelajaran. Bagaimana mungkin kita dapat mengenal dan mengasihi Dia, apabila kita tidak pertama-tama mengisi pengetahuan kita melalui pembelajaran Alkitab dengan tekun? Bahkan, menurut prinsip Alkitab, percaya kepada Yesus sama artinya dengan menjadi murid di hadapan-Nya.


Memang tidak semua orang Kristen dipanggil untuk sekolah Teologi, tetapi semua orang Kristen jelas-jelas dipanggil untuk menjadi murid Kristus. Kekacauan orang Yunani yang menyembah dewa-dewa itu mungkin lebih bisa dimengerti, karena dewa-dewa mereka tidak pernah menyatakan diri secara jelas, pun dewa-dewa itu tidak pernah meminta umatnya untuk menjadi murid, bukan?


Tetapi Yesus, sebelum naik ke sorga, telah berpesan: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku …. , dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu…"


Tuhan Yesus tidak berkata: pergilah, jadikanlah semua bangsa percaya kepada-Ku. Tidak demikian. Yang Tuhan Yesus inginkan bukan agar mereka percaya, tetapi agar mereka menjadi murid. Orang yang mengaku percaya, belum tentu adalah murid. Tetapi seorang murid Kristus, sudah pasti percaya kepada-Nya.


Tuhan tidak berkata: jadikanlah semua bangsa murid-Ku, kecuali mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Atau, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, kecuali kaum ibu rumah tangga, anak kecil dan mereka yang sudah lanjut usia… Tidak ada perkataan seperti itu.


Tuhan hanya berkata: jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan ajarlah mereka (Titik). Laki-laki perempuan, tua muda, miskin kaya, ada pekerjaan atau tidak ada pekerjaan, sekolah atau tidak sekolah, tinggal di kota atau tinggal di dalam gua, semua yang percaya dipanggil untuk menjadi murid Kristus.


Apakah kita orang yang percaya kepada Yesus? Orang yang percaya adalah orang yang mau menjadi murid dan mau belajar segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan kepada kita. Apakah kita akan menjadi murid yang sempurna? Tidak akan ada murid yang sempurna, yang belajar tidak sempurna, yang dipakai Tuhan untuk mengajar pun tidak sempurna. Namun yang terpenting di sini adalah arah hati kita yang mau menjadi murid di hadapan Kristus. Inilah salah satu ciri atau tanda dari orang beriman yang sejati.


Kekristenan yang sejati bukan berbicara tentang kepercayaan yang buta melainkan suatu kepercayaan yang membawa orang untuk menjadi murid Kristus. Salah satu tanda bahwa seseorang telah percaya kepada Yesus Kristus adalah pemuridan. Orang yang mengaku percaya kepada Yesus, tetapi tidak mau menjadi seorang murid, menurut prinsip ini, bukan orang percaya yang sejati.


Selain tentang pemuridan, kita dapat pula melihat aspek pengetahuan dari iman itu sebagai keserupaan di dalam cara berpikir. Maksud saya adalah begini: orang yang sungguh percaya kepada Yesus, adalah orang yang semakin hari bertumbuh di dalam memikirkan apa yang dipikirkan pula oleh Tuhan Yesus.


Rasul Paulus pernah berkata: Tetapi kami memiliki pikiran Kristus. (1 Kor 2:16). Sepintas ucapan Paulus ini bisa terdengar sedikit sombong atau terlalu percaya diri. Tetapi sebetulnya tidak demikian. Jika ini dituliskan di dalam Alkitab, maka pasti bukan hanya Paulus yang menginginkannya, tetapi Tuhan Yesus pun menginginkan hal yang demikian. Kalimat ini adalah suatu undangan dari Tuhan, bukan kepada Paulus saja, tetapi kepada kita semua juga.


Sebab bagaimana mungkin kita disebut sebagai orang yang percaya, apabila pikiran kita tidak pernah sejalan dengan apa yang Kristus pikirkan? Jika pikiran kita selalu berbeda dengan apa yang Yesus pikirkan, maka pada dasarnya kita bukan sedang mempercayai Kristus, melainkan mempercayai pikiran kita sendiri. Logika seperti ini cukup wajar bukan?


Kristus memikirkan Kerajaan Allah, tetapi kita senantiasa hanya memikirkan kerajaan kita sendiri, karir kita sendiri, bisnis kita sendiri, urusan kita sendiri, masalah kita sendiri. Apakah ini yang disebut dengan percaya kepada Yesus?


Kristus memikirkan bagaimana agar dunia ini dapat dilayani, tetapi yang kita pikirkan adalah bagaimana agar dunia ini dapat melayani kita, memberi kita kepuasan, kesenangan, keuntungan, kegembiraan dan kekayaan. Seperti inikah yang disebut sebagai orang yang percaya kepada Kristus?


Kristus memikirkan kesucian, tetapi kita memikirkan hal-hal yang najis. Kristus memikirkan orang-orang yang miskin di hadapan Allah, tetapi kita memikirkan: pokoknya aku harus kaya.. Kristus memikirkan pengorbanan, tetapi kita memikirkan bagaimana mengorbankan orang lain agar diri kita sendiri selamat.


  • Kristus memikirkan jalan salib, tetapi kita memikirkan jalan kemuliaan.
  • Kristus berpikir untuk memberi, tetapi kita berpikir untuk merampas.
  • Kristus berpikir untuk mengasihi, tetapi kita berpikir untuk membenci.
  • Kristus berpikir untuk mengampuni, tetapi kita memusatkan pikiran pada dendam.
  • Kristus memikirkan kebenaran, tetapi kita memikirkan kepalsuan.
  • Kristus hanya memikirkan bagaimana menyenangkan hati Bapa, tetapi kita menghabiskan sekian banyak waktu dan energi untuk memikirkan bagaimana caranya agar diriku happy dan happy selalu.
  • Kristus memikirkan bagaimana caranya mati bagi orang lain. Tetapi kita memikirkan bagaimana caranya mematikan orang lain. (mungkin kita memang tidak pernah membunuh nyawa orang lain, tetapi berapa sering kita telah mematikan usahanya, mematikan semangatnya, mematikan harapannya, mematikan karakternya, mematikan kepercayaannya pada kita?)
Demi semua perbedaan cara berpikir antara diri kita dan Kristus, lalu apakah kita berani yakin bahwa kita memang mempercayai Dia?

Alkitab adalah undangan cinta kasih dari Tuhan kepada kita yang percaya kepada-Nya. Tuhan tahu bahwa kita tidak mampu, tetapi bukan berarti bahwa Tuhan akan membiarkan kita terus menerus di dalam keadaan yang sama seperti sebelum kita percaya atau ketika baru percaya.

Allah begitu mencintai kita sehingga Ia mengizinkan kita untuk sama-sama memikirkan segala sesuatu dari sudut pandang Dia. Ajakan Tuhan untuk memiliki pikiran yang sama dengan Kristus ini, bukanlah suatu ajakan kejam yang ingin mematikan pikiran kita sendiri. Ini justru adalah ajakan cinta kasih yang ingin membebaskan kita dari pikiran-pikiran kita sendiri yang tidak akan membawa kita kepada sukacita yang sejati.

Banyak orang yang sibuk mempelajari cara berpikir Steve Jobs, cara berpikir Bill Gates, Einstein, ataupun Winston Churchill. Orang membaca buku-buku tentang mereka, mengkoleksi setiap tips sukses yang mereka berikan, orang begitu kepingin tahu apa saja yang mereka pikirkan sehingga bisa berhasil seperti itu. Tetapi ketika berbicara tentang pikiran Kristus, hmm.. gimana ya.. kok kayaknya kurang seru ya? Kayaknya … agak ngawang-ngawang gitu loh?

Walaupun tidak harus selalu salah jika kita tertarik pada cara berpikir dari orang-orang ternama, tetapi adakah kita juga tertarik untuk mengikuti cara berpikir Kristus? Kalau iman kita bertumbuh, maka kita pun akan mulai memikirkan segala sesuatu dari sudut pandang Yesus Kristus, bukan dari sudut pandang diri kita sendiri saja. Orang yang memiliki pikiran Kristus, pasti akan memiliki sukacita yang jauh lebih besar daripada orang yang hanya disibukkan oleh pikirannya sendiri. Mengapa? Sebab Kristus adalah sumber kasih, sukacita dan pengharapan. Dia Allah Yang Mahabesar.


Kristus adalah sumber kasih, Dia telah mencintaiku sejak dahulu sebelum aku mengenal-Nya.Kristus adalah sumber sukacita, Dia masih mencintaiku hingga sekarang.
Kristus adalah sumber pengharapan, Dia akan terus mencintaiku, bahkan sampai pada kekekalan.
Kristus adalah Dia Yang Mahabesar, biarlah pikiranku yang sempit ini tenggelam di dalam kebesaran hikmat-Nya.


Maukah kita bertumbuh semakin hari semakin memiliki pikiran yang serupa dengan Dia? Kiranya Tuhan Yesus berbelas kasihan untuk mengubah cara berpikir kita agar semakin serupa dengan cara berpikir Dia.



Aspek emosional dari iman

Jika dalam tulisan sebelumnya kita sudah melihat secara singkat salah satu aspek dari iman yaitu dari aspek pengetahuannya, maka dalam tulisan kali ini, saya akan coba mengetengahkan sisi lain dari iman kita yaitu dilihat dari aspek emosionalnya.


Sebagai manusia yang memiliki emosi, kita tidak dapat memisahkan iman kita itu dari emosi yang kita miliki. Maksud saya adalah, iman yang sejati tidak mungkin tidak melibatkan unsur emosi kita pula. Justru aneh apabila ada orang yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus atau percaya kepada Alkitab, tetapi tidak memiliki emosi atau perasaan apapun terhadap Kristus maupun terhadap Alkitab.


Kita bisa mengetahui sesuatu, tanpa memiliki perasaan apapun terhadap hal tersebut. Sebagai contoh, kita tahu bahwa penguin hanya ada di Kutub Selatan sementara beruang putih (Polar Bear) hanya ada di Kutub Utara. Tapi ya sudah, begitu saja, kita tidak ada perasaan apa-apa terhadap hal itu bukan? Kita tahu bahwa di dalam tata surya kita ada planet yang namanya Jupiter, tapi terus kenapa? Ya sudah, biar saja dia di situ. Kita tahu bahwa Thor pada dasarnya hanya mitologi Norse (Skandinavia, German Utara) yang telah dimodernisasi oleh Marvel menjadi jagoan yang keren dan kocak, tapi ya.. so what? Toh dia cuma tokoh fantasi aja kan?


Ada banyak hal di dunia ini yang bisa kita ketahui, kita pelajari, tetapi kita tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap hal tersebut, dan itu fine-fine saja menurut saya. Tetapi akan jadi celaka jika cara seperti ini kita perlakukan juga terhadap Yesus dan Alkitab.


Dalam tulisan yang lalu saya sudah mengetengahkan betapa pentingnya aspek pengetahuan di dalam iman Kristen. Akan tetapi, aspek pengetahuan itu saja tersebut belum menjadi tanda yang lengkap dari seorang yang sudah percaya, jika tidak dilengkapi pula dengan aspek emosionalnya.


Apa gunanya kita paham bahasa Yunani dari dosa (hamartia), atau fasih dalam menjelaskan teori-teori tentang dosa (hamartiology), tetapi kita sendiri tidak sungguh-sungguh merasa sebagai orang yang berdosa? Apa gunanya segala pengetahuan tentang dosa itu, jika kita tidak pernah menangis mencucurkan air mata di hadapan Tuhan karena menyadari betapa berdosanya kita ini?


Apa gunanya kita paham dan fasih sekali dalam menjelaskan tentang hukum yang pertama dan yang terutama di dalam Alkitab, tetapi di dalam hidup ini kita tidak ada perasaan cinta kepada Tuhan Yesus? Dan apa gunanya kita mengaku mengasihi Tuhan Yesus, tetapi kita tidak bisa mengasihi dan mengampuni sesama kita?

Iman yang sejati tidak mungkin tidak melibatkan unsur emosi kita. Atau, jika unsur emosi tidak terlibat, maka sangat mungkin iman kita itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah suatu bayang-bayang ilusi belaka.

Apa gunanya kita menjadi sangat ahli di dalam teologi, tetapi hal itu malah menjadikan kita sombong, dingin, suka menghina, melecehkan orang lain yang beda pendapat dan sulit mengampuni orang yang bersalah pada kita? Apa gunanya kita hafal banyak sekali ayat Alkitab, tetapi kita selalu ngomel, selalu marah, galak ketika melihat kesalahan orang lain, selalu menuntut ini dan itu kepada orang lain yang mungkin memang belum sanggup menjadi seperti kita? Bukankah pada akhirnya orang akan lebih merasa gerah dan takut jika kita hadir, tetapi merasa lebih lega ketika kita pergi? Waktu Yesus hadir, baik para penyamun dan pelacur maupun orang-orang Farisi, bisa duduk makan satu meja dengan Dia. Apa yang telah terjadi dengan wajah kekeristenan kita?

Kita tidak membaca Alkitab supaya suatu saat jadi seorang jagoan teologi, bukan? Dan kita juga tidak mendalami Alkitab demi untuk mengerti teori-teori tentang pengampunan saja. Kita belajar Alkitab agar kita mengenal dan mengalami perjumpaan dengan Pribadi Kristus. Dan melalui pengenalan itu, tumbuhlah perasaan (emosi) belas kasihan kepada orang lain, sebagaimana Kristus juga telah berbelaskasihan kepada kita yang berdosa ini.

Hal lain yang dapat kita renungkan tentang aspek emosional dari iman adalah bagaimana di dalam pertumbuhan rohani itu kita semakin hari memiliki emosi yang semakin serupa dengan Kristus. Kita semakin mengasihi apa yang Yesus kasihi, semakin membenci apa yang Yesus benci. Kita semakin bersuka cita atas segala sesuatu yang membuat Yesus bersuka cita, dan turut berduka cita atas segala sesuatu yang mendukakan Allah kita.


Ada orang Kristen yang berkata: “Jadi orang Kristen itu yang penting adalah sukacita. Selalu sukacita di mana saja, tidak boleh ada alasan apapun bagi kita untuk berduka cita.”


Kita tahu bahwa memang ada ayat Alkitab yang mengatakan hal itu, tetapi seluruh Alkitab kan isinya bukan cuma ayat itu? Kalau hidup ini isinya hanya sukacita, lalu bagaimana kita ikut merasakan kepedihan Yesus ketika Ia menangisi Yerusalem yang tidak mau percaya itu? Kalau hidup ini isinya cuma senang, bersuka dan tertawa, lalu bagaimana kita menanggapi perkataan Tuhan: berbahagialah engkau yang menangis, tetapi celakalah engkau yang tertawa?


Menjadi orang Kristen sepatutnya menjadikan emosi atau perasaan kita semakin luas dan peka, bukan malah menjadi semakin sempit dan tumpul. Orang yang hanya bisa bersukacita tetapi tidak mampu berdukacita, bukanlah orang yang semakin serupa dengan Kristus melainkan orang yang mengalami gangguan di dalam mentalitasnya sebagai manusia. (Mungkin Joker adalah contoh yang pas dalam hal ini.)


Pertanyaannya bukan apakah kita selalu bersuka, ataukah selalu berduka? Pertanyaannya adalah, kita ini umumnya bersukacita karena apa? Dan biasanya berdukacita karena apa?


Jika kita bersukacita karena mendapat hadiah Rp 1 M, jangankan orang percaya, orang atheist pun akan mengalami sukacita seperti itu. Kalau kita berdukacita karena terkena PHK, jangankan orang Kristen, orang lain yang tidak pernah baca Alkitab pun akan merasakan dukacita seperti itu. Lalu kita ini bedanya apa?

Bedanya adalah ini: semakin kita bertumbuh di dalam iman, kita akan mulai turut bersukacita ketika nama Tuhan dipermuliakan, ketika melihat Kerajaan Allah makin dinyatakan, melihat orang lain semakin bertumbuh, melihat kesetiaan Tuhan yang tidak pernah pudar, mendengar Dia berkata-kata melalui Firman-Nya dan melihat Dia hadir di dalam hidup kita.


Semakin iman kita bertumbuh, kita akan mulai turut berdukacita atas dosa-dosa yang ada di dalam diri kita, berdukacita melihat penolakan orang lain terhadap Kristus, berdukacita melihat dunia yang semakin hari semakin jahat, gelap, materialistis, menyimpang dari ajaran Alkitab dan mencintai dosa.


Hanya orang yang tahu apa itu dukacita rohani, yang akan dapat mengerti dan menghayati apa artinya sukacita rohani. Hanya dia yang menabur dengan cucuran air mata, yang akan menuai dengan sorak sorai.


Ketika Daud datang menemui saudara-saudaranya di medan perang, Daud tidak ada rencana untuk ikut berperang. Tetapi ketika Daud mendengar ada orang yang namanya Goliath menghina Allah Israel, Daud merasa tersinggung dan memutuskan untuk maju melawan Goliath. Daud tidak marah karena Goliath menghina dirinya. Daud marah karena Allah yang Ia kasihi dihina. Inilah contoh manusia yang emosinya sudah menyatu dengan emosi Allah.


Kita biasanya mudah tersinggung ketika orang lain menghina diri kita. Tetapi adakah kita juga bisa seperti Daud, yang turut menyuarakan emosi Ilahi terhadap orang-orang yang melawan Dia? Adakah kita seperti Kristus yang menyuarakan kepedihan hati Sang Bapa atas orang-orang yang menolak uluran Kasih Karunia?


Kiranya Tuhan menolong iman kita bertumbuh melalui perasaan kita, yang semakin hari semakin bergetar bersama-sama dengan perasaan Kristus.



Aspek kemauan dari iman …

Kekristenan tidak pernah mengajarkan konsep percaya Yesus yang “asal percaya saja.” Kalaupun ada konsep semacam itu di dalam pembicaraan kita sehari-hari, maka dapat dipastikan bahwa hal itu bukan sesuatu yang lahir dari Alkitab, melainkan suatu gagasan yang muncul dari kesalahpahaman orang Kristen sendiri maupun berasal dari tuduhan-tuduhan orang yang masih hidup di dalam kegelapan.


Melalui tulisan-tulisan sebelumnya, kita sudah melihat betapa iman yang sejati itu tidak mungkin tidak disertai oleh unsur pengetahuan maupun emosi. Dalam tulisan kali ini, kita akan melihat lebih jauh keutuhan dari iman, yaitu ditinjau dari aspek kemauan.


Apa yang dimaksud dengan aspek kemauan dari iman? Maksudnya adalah, iman yang sejati itu pasti akan melahirkan kemauan untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan apa yang diimani tersebut. Jika tidak demikian, maka sangat mungkin itu bukan iman yang sejati.


Tidak ada gunanya kita tahu bahwa Yesus itu Tuhan, tidak ada gunanya kalau kita menjadi kagum dan hormat kepada Yesus, apabila pada akhirnya tidak ada kemauan dalam diri kita untuk taat mengikut Dia. Iman yang sejati tidak mungkin menghasilkan kemauan yang menyimpang seperti itu.


Mahatma Gandhi bukan sama sekali tidak memiliki pengetahuan akan siapa Yesus. Ia bahkan sangat menyukai Khotbah di Bukit sehingga sering membaca Matius pasal 5 hingga pasal 7 setiap hari sebelum melakukan kegiatan yang lain. Tidak sulit untuk menduga bahwa ada semacam emosi kekaguman yang muncul di dalam diri Gandhi terhadap Yesus. Tetapi apakah Gandhi ada kemauan untuk ikut Kristus? Tidak..


[Catatan: Memang alasan Gandhi menolak adalah karena kekecewaannya terhadap orang Kristen yang gagal menunjukkan kasih Kristus, tetapi sebetulnya itu adalah persoalan yang lain lagi. Kita akan membahas hal ini dalam tulisan yang terpisah]

Yudas Iskariot juga bukan orang yang sama sekali tidak tahu siapa Yesus. Banyak orang yang sama sekali tidak tahu siapa itu Yesus, tetapi Yudas justru tahu. Ia bahkan melewatkan waktu kira-kira tiga tahun hidup bersama Yesus; makan bersama, jalan bersama, bersenda gurau bersama, tidur bersama pula mungkin. Yudas pernah melihat Yesus, sering mendengar Dia, bahkan kakinya pun pernah dibasuh oleh Yesus. Pengalaman Yudas bersama Yesus jauh lebih nyata dibandingkan dengan kita yang sama sekali belum pernah bertemu secara fisik dengan Yesus Kristus.


Ketika sadar bahwa perbuatannya terhadap Yesus ternyata keliru, muncullah suatu emosi (perasaan) di dalam diri Yudas. Emosi apakah itu? Emosi penyesalan. Yudas sadar bahwa ia telah menyerahkan darah Orang yang tidak bersalah. Yudas menyesal telah menjual Yesus, sangat menyesal bahkan. Tetapi apakah kemudian emosi penyesalan Yudas itu mendorong dia untuk mau kembali kepada Yesus, memohon ampun kepada-Nya? Tidak. Kemauan Yudas telah mendorong dia untuk gantung diri.


Baik Yudas maupun Gandhi, sama-sama pernah memiliki pengetahuan tertentu terhadap Yesus. Baik Yudas maupun Gandhi, sama-sama pernah memiliki perasaan tertentu terhadap Yesus. Tetapi baik Yudas maupun Gandhi, akhirnya sama-sama memutuskan untuk meninggalkan Yesus untuk selama-lamanya. Tidak ada kemauan di dalam diri mereka untuk datang menyembah dan taat kepada Yesus.


Hanya karena kita banyak tahu siapa Kristus melalui Alkitab yang kita pelajari, belum tentu kita adalah orang percaya sejati, apabila di dalam diri kita tidak muncul suatu kemauan untuk menyembah dan taat kepada Dia.


Hanya karena kita memiliki emosi tertentu pada Yesus, entah kagum, hormat, suka atau bahkan takut, belum tentu kita adalah orang percaya sejati, apabila di dalam diri kita tidak muncul suatu kemauan untuk menyembah dan taat kepada Dia.


Dalam suatu peristiwa, Tuhan Yesus melepaskan seorang yang kerasukan banyak sekali roh jahat. Alkitab mencatat bahwa roh-roh jahat itu mengenali Yesus sebagai Anak Allah Yang Mahatinggi (Lukas 8:28). Di dalam dunia kita saat ini banyak manusia yang tidak mengenal siapa Yesus, mereka hanya mau mengakui Yesus sebagai seorang nabi, atau orang saleh atau guru yang agung. Tetapi mereka tidak mau mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah yang Mahatinggi. Sangat ironis bukan? Manusia tidak tahu siapa Yesus, tetapi iblis justru lebih tahu siapa Dia yang sebenarnya.


Dengan mengetahui bahwa Yesus adalah Anak Allah Yang Mahatinggi, lalu apakah para iblis itu bersikap biasa-biasa saja? Cuek, santai dan malahan ngeledek Tuhan Yesus? Tidak, mereka merasa sangat ketakutan. Banyak manusia mengaku tidak takut kepada Yesus. Mereka menghina Yesus dengan kata-kata yang bahkan tidak pantas kita kenakan kepada manusia biasa. Bahkan iblis pun tidak berani melakukan hal segila itu..

Iblis takut kepada Yesus, tetapi banyak manusia justru tidak takut kepada-Nya. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kelakuan sebagian manusia itu jauh lebih buruk daripada iblis? Jika iblis yang merasa ketakutan saja tetap akan dihukum di dalam kekekalan, apakah yang akan terjadi dengan orang yang tidak takut kepada-Nya?


Iblis tahu siapa Yesus dan mereka merasa ketakutan, tetapi apakah kemudian emosi takut itu membawa mereka kepada keinginan untuk menyembah dan taat kepada Yesus? Tidak, mereka memilih masuk ke dalam babi dan terjun ke air bersama dengan babi-babi yang malang itu.


Mengetahui siapa Yesus adalah satu hal, merasa takut kepada Dia adalah hal yang lain, dan itu semua adalah hal yang baik adanya. Tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah pengetahuan dan rasa takut kita kepada Kristus juga telah mendorong kita untuk memiliki keinginan (kemauan, willingness) untuk tunduk, taat dan menyembah Dia?


Sungguh absurd dan luar biasa ngawur jika ada orang yang mengatakan: “enak banget jadi orang Kristen, asalkan percaya Yesus, tahu-tahu dapat tiket untuk masuk sorga.” Tidak pernah ada konsep percaya Yesus yang asal-asalan seperti ini di dalam Alkitab.


Orang yang percaya kepada Yesus adalah orang yang menjadi murid Kristus, mengasihi Dia serta punya kemauan untuk taat dan menyembah Dia.


Orang yang mengaku percaya tetapi tidak mau menjadi murid (aspek pengetahuan), tidak mengasihi Dia (aspek emosional) dan tidak mau taat serta menyembah Dia (aspek kemauan), pada dasarnya adalah orang yang belum dilahirbarukan dan belum dapat dikatakan sebagai orang yang percaya, meskipun ia adalah seorang pengunjung gereja.


Ada di dalam Kristus merupakan sesuatu yang berbeda dengan ada di dalam gereja. Orang yang ada di dalam Kristus adalah orang yang juga berada di dalam gereja. Tetapi orang yang berada di dalam gereja, belum tentu adalah orang yang sudah berada di dalam Kristus.


Orang yang percaya adalah orang yang pikirannya, perasaannya dan kemauannya semakin lama semakin sejalan dengan pikiran, perasaan dan kemauan Kristus.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua untuk semakin bertumbuh di dalam Dia. Amin.


Baca Juga:
 
Hal apa sajakah yang sesungguhnya diajarkan dalam Yohanes 3:16? Klik disini
Apakah arti dari kebebasan? Klik disini

Teofilus adalah orang yang kepadanya Lukas menulis, tetapi siapakah sebenarnya Teofilus dan apa yang dapat kita pelajari dari nama ini? Klik disini

Sebelum naik ke sorga, Tuhan Yesus berjanji akan mengirim Roh Kudus dan apabila Roh itu datang, Tuhan Yesus ingin agar kita orang percaya bersaksi kepada dunia. Seperti apakah bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus itu? Klik disini.

Di jaman Tuhan Yesus hidup, Alkitab Perjanjian Baru belum ditulis. Oleh karena itu, Alkitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus adalah Alkitab Perjanjian Lama. Apa sajakah arti penting Alkitab Perjanjian Lama itu bagi Tuhan Yesus? Klik disini.

Saturday, January 23, 2021

Perenungan dari Efesus 2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman

Apa artinya diselamatkan karena kasih karunia?
Mengapa Tuhan melakukan hal itu pada manusia?

Apakah yang dimaksud dengan iman?


Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan

 
Sebab karena kasih karunia…

Salah satu keunikan iman Kristen yang Alkitabiah yaitu adanya ajaran tentang kasih karunia. Istilah lain yang sering dipakai untuk kasih karunia adalah anugerah, atau chariti dalam bahasa Yunani, atau grace dalam bahasa Inggris.

Alkitab versi NIV misalnya mengatakan: For it is by grace you have been saved, through faith - and this not from yourselves, it is the gift of God (Ephesians 2:8)

Sementara semua sistem kepercayaan di luar Alkitab, apapun namanya, mengajarkan kepada umatnya untuk sungguh-sungguh dalam mengejar sorga, bersungguh-sungguh mengejar kesucian, kesalehan, keberhasilan di dalam hal rohani dan seterusnya dan seterusnya…, Alkitab justru mengajarkan bahwa semua itu adalah pemberian Allah kepada manusia, yang diberikan bukan karena manusia mengejarnya. Keselamatan adalah pemberian Allah kepada manusia bukan karena manusia pantas menerimanya, tetapi justru karena manusia tidak pantas untuk menerimanya. [Mengapa Tuhan melarang kita bersandar pada pengertian kita sendiri? Klik disini.]


Mengapa Tuhan melakukan hal itu kepada manusia?


Keselamatan dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia karena menurut kesaksian Alkitab, manusia tidak memiliki kemungkinan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. [Baca juga: Itu bukan hasil usahamu. Klik disini.]

Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan manusia itu mati. Alkitab tidak mengajarkan bahwa karena jatuh ke dalam dosa, maka manusia menjadi sakit, atau lemah, menjadi tidak bertenaga atau menjadi pelupa. Tidak demikian. Dosa mengakibatkan manusia itu mati di hadapan Allah.

Jika manusia hanya sakit, maka masih ada kemungkinan ia menjadi sembuh dengan sendirinya. Tetapi manusia ternyata bukan sakit melainkan mati. Dan tidak ada orang yang mati lalu menjadi hidup kembali dengan sendirinya bukan? Orang yang telah mati, tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu lagi untuk melawan efek dari kematian tersebut.

Di mata Tuhan, seluruh ras umat manusia telah mati bersama-sama dengan Adam dan Hawa ketika mereka melanggar perintah Allah. Itu sebabnya, menurut ajaran Alkitab manusia tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah kondisinya yang sudah mati itu di hadapan Allah.

Segala moralitas manusia, segala kebaikannya (kalau pun memang ada yang pantas disebut sebagai kebaikan), segala ritual mereka, segala kasih sayang manusia, segala kekayaan atau segala apapun, tidak mungkin lagi mengubah keadaan manusia yang sudah mati. Jika kita mendandani mayat, maka sekalipun secara sepintas mayat itu menjadi indah atau anggun, tetap saja tidak ada kehidupan di sana. Kita tidak bisa meminta mayat untuk mengasihi sesamanya, bukan?

Dalam keadaan kematian yang tanpa harapan inilah, Allah bertindak atas dasar belas kasihan-Nya. Ia memberikan keselamatan itu. Ia melahirbarukan orang yang sudah mati itu, sehingga di dalam kehidupan yang baru tersebut, manusia bisa kembali belajar untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya.


Cheap grace

Kritik yang paling keras terhadap ajaran Alkitab berkenaan dengan kasih karunia adalah, bahwa ajaran ini diduga atau dicurigai akan membawa manusia kepada suatu gaya hidup yang seenaknya saja. Anugerah yang seharusnya merupakan pemberian yang indah dari Tuhan, dikhawatirkan malah akan menjadi anugerah yang murahan di tangan manusia.

“Enak banget jadi orang Kristen, tinggal percaya lalu masuk sorga, padahal hidupnya brengsek, suka nyolong, selingkuh, korupsi, suka nipu !,” demikian ungkapan populer yang biasanya dialamatkan kepada ajaran Kristen.

Tentu saja itu semua adalah kesalahpahaman semata-mata. Alkitab tidak mengajarkan hal yang seperti itu. Seandainya saja orang yang berkata seperti itu dapat meluangkan waktu untuk membaca Alkitab dan mempelajarinya, ia akan tahu bahwa Alkitab tidak mengajar seperti itu. Tetapi sayangnya, ungkapan semacam ini seringkali dilontarkan bukan karena orang ingin tahu kebenarannya seperti apa, melainkan hanya memakai gagasan itu sebagai alasan untuk membenarkan sikapnya yang memang tidak ingin mengenal Allah sejati yang diberitakan oleh Alkitab.

Dalam tulisan saya berjudul “Supaya barangsiapa percaya…”, saya sudah mengutarakan sedikit pengertian dari apa yang dimaksud di dalam kata “percaya” menurut prinsip Alkitab. Dalam bagian itu, saya juga sudah menjelaskan bahwa konsep cheap grace bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh iman Kristen yang sejati. Yesus tidak mengajar seperti itu, para rasul pun tidak pernah mengajarkan hal yang demikian. Hanya orang yang salah paham dan tidak belajar Alkitab-lah yang curiga akan hal tersebut.

Hidup baru itu berasal dari Allah, bukan diciptakan oleh manusia sendiri. Oleh karena itu, orang yang sungguh-sungguh telah menerima hidup yang baru, pasti akan ditandai dengan gaya hidup yang baru pula. Dan sebagaimana seorang bayi belajar untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia. Demikian pula orang yang dilahirbarukan secara rohani, ia belajar pula untuk menjalani kehidupannya sebagai manusia yang rohani.

Dan sebagaimana seorang bayi yang masih sering jatuh bangun ketika ia belajar berjalan. Demikian pula manusia yang mengalami kelahiran baru, pasti tidak luput dari kehidupan yang jatuh bangun antara keinginan untuk hidup mengikut Kristus dan kegagalan di dalam dosa-dosa lamanya.

Orang yang mengaku percaya kepada Kristus, tetapi sama sekali tidak memiliki kerinduan untuk hidup mengikuti Kristus, maka bukan Kristus yang salah, juga bukan Alkitab yang salah, melainkan karena pada dasarnya orang itu memang belum memiliki kehidupan yang baru tersebut.

“Sebab karena kasih karunia..” ini adalah perkataan yang agung, tidak sepatutnya manusia menghina perkataan ini. Karena Allah mengasihi, maka Ia mengaruniakan hidup itu. Dan karunia yang Allah berikan, bukan karunia sembarang karunia, bukan karunia yang murahan, bukan pula karunia untuk disalahgunakan, tetapi sebuah karunia yang mengundang kita untuk mengasihi Dia yang telah memberikan karunia itu.

Di dalam kasih, Ia memberi karunia.
Di dalam karunia, Ia mendorong kita untuk mengasihi.
Makanya disebut kasih karunia..
Terpujilah Allah yang telah memberikan kasih karunia ini kepada kita yang tidak pantas menerimanya.


Kamu diselamatkan …

Perkataan “kamu diselamatkan” bisa membawa manusia kepada berbagai persepsi. Bagi sebagian orang, perkataan ini bisa menjadi suatu kabar baik, tetapi bagi sebagian orang lainnya, mereka mungkin jadi balik bertanya; “Diselamatkan? Memangnya aku sedang terancam bahaya apa?”

Kita tahu bahwa injil sering juga disebut sebagai kabar baik, atau good news. Tetapi sesuatu itu baru benar-benar menjadi sebuah good news, jika kita tahu bad news nya seperti apa.

Misalnya saya bilang: Bapak Ibu saya ada good news.
Lalu orang tanya: apa tuh good news-nya Pak?
Saya jawab: Tiket pesawat ke Madagaskar diskon 95% selama masa Covid ini.
Orang akan pikir dalam hati: “Trus, memang kenapa? Aku toh gak pernah kepingin juga kok ke sana. Jangankan ada Covid, gak ada Covid pun mau ngapain juga ke sana?”

Apa yang tadinya seperti good news, ternyata hanya berakhir jadi berita yang biasa-biasa saja. Mengapa? Karena berita itu tidak ada hubungannya dengan pribadi orang yang mendengar.

Tapi kalau saya bilang: “Bapa Ibu saya ada good news. Pemerintah memutuskan bahwa setiap orang Kristen akan dibebaskan dari biaya pajak dan akan mendapat santunan hari tua minimal Rp 1 M per masing-masing orang.” …. Nahh… ini dia nih baru bener-benar good news !! ...Iya kan? hehehehe…

Oke, saya akui memang contohnya rada-rada ekstrim, tapi yang ingin saya katakan adalah berita Injil pun belum tentu menjadi sebuah good news, apabila kita tidak tahu apa konsekuensinya jika injil itu tidak pernah ada di dunia ini. Kalau gak ada injil, terus bad news-nya apa gitu loh?

Perkataan “kamu diselamatkan” sekali lagi baru menjadi suatu good news, jika kita sadar betul bahwa kita ini butuh diselamatkan. Hanya orang yang sadar bahwa dirinya bermasalah yang akan menanggapi berita keselamatan itu dengan sukacita pengharapan. Oke, sekarang katakanlah bahwa kita sadar bahwa saat ini sedang ada dalam masalah dan kita butuh keselamatan. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, diselamatkan dari apa?

Ada orang yang merasa bahwa masalah terbesar dari hidupnya adalah kemiskinan, maka mungkin sekali Yesus yang ia harapkan adalah Yesus yang akan menyelamatkan dari kemiskinan. Ada orang yang merasa bahwa masalah terbesar dari hidupnya adalah sakit penyakit, maka mungkin sekali Yesus yang ia harapkan adalah Yesus yang akan menyelamatkan dia dari sakit penyakit.. dan seterusnya.. dan seterusnya..

Philip Yancey, seorang penulis Kristen, mengatakan bahwa ia pernah melihat sebuah poster Yesus di Amerika Latin dalam sosok pria berotot yang menenteng senjata bagaikan seorang Rambo. Bagi orang-orang yang hidup di bawah penindasan, Yesus yang berotot dan menenteng senapan otomatis mungkin lebih menjanjikan ketimbang Yesus yang mati di kayu salib seperti orang yang kalah perang, bukan?

Jadi, Yesus Kristus seperti apa sebetulnya yang kita harapkan datang menyelamatkan kita? Persoalan apa yang kita rasa paling mengganggu di dalam hidup ini? Jika kita menganggap bahwa Covid atau keterpurukan ekonomi adalah masalah terbesar di dalam dunia, atau jika kita merasa bahwa dosa bukan suatu masalah yang terbesar di dalam hidup ini, mungkin Yesus versi Alkitab memang bukan sosok yang kita harapkan.

Orang Farisi pikir Mesias akan membebaskan mereka dari Romawi. Tetapi Yesus malah mati di bawah hukum Romawi. Orang kaya pikir kekayaannya adalah bukti bahwa Allah memberkati dia. Tetapi Yesus malah minta dia menjual semua hartanya. Orang sakit pikir bahwa Yesus datang untuk menyembuhkan mereka dari sakit penyakit yang mereka derita. Tetapi Yesus malah melarang mereka memberitahukan bahwa Ia telah menyembuhkan mereka.

Betapa banyaknya orang yang salah paham tentang Dia. Jika kita tidak sungguh-sungguh mencari Dia di dalam kesejatian-Nya, sangat mungkin kita akan berakhir seperti orang-orang yang kenyang oleh lima roti dan dua ikan di atas bukit itu, mereka bersemangat di awal, tetapi kemudian pergi meninggalkan Dia karena kecewa.

Jadi, perkataan “kamu diselamatkan” itu akan kita maknai seperti apa? Mungkin orang Kristen akan menjawab: tentu saja diselamatkan dari dosa. Ini jawaban yang bagus sekali, paling tidak jawaban seperti itu sesuai dengan Injil Matius yang mengatakan bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa. (Matius 1:21)

Tapi kemudian pertanyaannya; jika Yesus datang untuk menyelamatkanku dari dosa, lantas dosa apakah di dalam hidup ini yang telah dibebaskan semenjak Ia datang ke dalam hidupku?

Sekedar contoh saja, dulu aku seorang pemarah, jangan-jangan sampai hari ini pun aku masih seorang pemarah. Dulu aku orang yang pelit, jangan-jangan sampai sekarang pun aku masih pelit (tambah pelit bahkan). Dulu aku orang yang cinta uang, jangan-jangan sampai hari inipun aku masih cinta uang.

Jika setelah sekian lama kita menjadi orang Kristen, tetapi keadaan kita masih tetap sama seperti dulu waktu kita belum percaya atau waktu kita baru percaya, maka kita pantas bertanya: Apa betul Yesus adalah juruselamat bagiku? Jangan-jangan Dia hanyalah satu sosok yang ada di luar sana tetapi tidak pernah hadir di dalam hidupku?

Alkitab tidak mengajarkan paham perfectionism, dalam arti, jika seorang sudah percaya maka hidupnya pasti akan sempurna, tidak ada dosa lagi, senantiasa berbuah. Tentu tidak. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa barangsiapa tinggal di dalam Yesus maka hidupnya pasti akan berbuah, yaitu buah yang sesuai dengan pertobatan. Adakah hidup kita ini telah menghasilkan buah bagi kerajaan-Nya?

Tidak ada orang Kristen yang sempurna, itu sudah pasti. Tetapi apakah arah kehidupan kita sudah sejalan dengan hidup orang yang diselamatkan? Saya suka dengan perkataan John McArthur, seorang penulis buku dan pengkhotbah Kristen. Dalam salah satu khotbahnya ia berkata: Our Christian life is not about perfection, but rather about going to the right direction. Kehidupan kristen kita bukan tentang kesempurnaan (karena tidak seorang pun yang sempurna), tetapi tentang perjalanan (atau pertumbuhan) menuju ke arah yang benar.

“Dulu aku seorang yang gampang marah, hari ini sebetulnya aku masih bisa marah, tetapi sudah jauh berkurang. Dulu aku sering marah pada orang lain yang tidak sesuai harapanku, sekarang aku lebih sering marah kepada dosa-dosaku sendiri.”

“Dulu aku seorang yang pelit, hari ini pun aku masih suka bergumul kalau mau berbagi dengan orang lain, tetapi di dalam kebaikan Tuhan, aku sudah jauh lebih rela dibandingkan aku yang dulu.”

“Dulu aku sangat cinta uang, segala sesuatu aku ukur menurut nilai ekonomi, bahkan aku lebih menghargai orang yang naik mobil mewah ketimbang mereka yang naik becak, tetapi sekarang aku sadar bahwa uang memang penting, tetapi uang bukan segala-galanya lagi. Dan manusia tidak sepantasnya diukur berdasarkan kemampuan ekonominya sebab mereka semua adalah gambar dan rupa Allah yang harus aku hormati dan kasihi.”

Ini beberapa contoh saja dari hidup yang tidak sempurna tetapi telah diubahkan oleh Tuhan. Ada progress, ada pertumbuhan, seberapa pun kecilnya. Ada kalanya kita bahkan mundur di dalam kerohanian, tetapi jika Yesus memang sungguh-sungguh telah masuk ke dalam hati kita, maka di dalam kebaikan-Nya pasti kita akan maju lagi bersama Dia.

Kalau fokus kita adalah kesempurnaan, maka sangat mungkin kita akan menjadi orang Kristen yang depresi, mudah marah, suka menghakimi dan sulit menerima kekurangan orang lain.

Tetapi kalau fokus kita adalah memperhatikan bagaimana Tuhan memberi pertumbuhan di dalam hidup kita, maka kita akan menjadi orang Kristen yang bersukacita bersama Dia yang memberi pertumbuhan itu. Kita akan mendapati diri kita dan Yesus bagaikan dua orang sahabat yang saling mengasihi, yang menanam pohon bersama-sama dan kemudian tertawa gembira bersama pula ketika pohon itu mulai berbuahkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Sudahkah berita keselamatan itu membawa kita berjalan menuju ke arah yang benar tersebut? Kiranya Tuhan yang penuh belas kasihan itu berkenan menuntun kita berjalan bersama-Nya.
 

Oleh iman …

Iman adalah suatu kata yang begitu sering kita baca atau dengar, baik di dalam konteks kekristenan, maupun di luar kekristenan. Bahkan di dalam dunia orang-orang atheist pun, pembicaraan tentang iman bukannya tidak ada sama sekali. Tentang doa misalnya, seorang atheist pernah mengatakan: prayer for the atheist can be like singing in the car or in the shower. No one is listening, and that is just fine.

Kita mungkin sulit memikirkan, bagaimana mungkin ada orang yang tidak beriman kepada Allah, tetapi masih bisa berdoa? Rupanya bagi kaum atheist, doa itu adalah seperti orang yang menyanyi sendirian di mobil atau di kamar mandi, mereka merasa oke-oke saja meskipun menurut mereka tidak ada siapa-siapa di atas sana yang mendengarkan. Betapa kacaunya dunia ini bukan?

Tetapi ketimbang kita menghakimi orang-orang atheist dan orang lain yang belum percaya - lagipula mereka toh sudah ada Hakimnya sendiri, bukan? - alangkah baiknya jika kita melihat kepada diri sendiri. Hidup kekristenan kita belum bertumbuh jika kita hanya bisa mengkritik orang lain saja, melihat orang lain lalu berkata: ini salah, itu salah, tetapi kurang mampu mengkritisi diri sendiri.

[Ini tentu saja bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak boleh mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalam dunia, tentu ada tempatnya untuk itu, tetapi alangkah baiknya jika kita pertama-tama justru melakukan introspeksi terhadap praktik-praktik yang ada di kalangan kita sendiri.]

Apakah kita sebagai orang Kristen telah memiliki iman yang benar kepada Dia yang adalah Sang Kebenaran sejati itu? Jangan-jangan setelah melakukan introspeksi, kita terkejut bahwa iman yang kita miliki selama inipun ternyata tidak jauh berbeda dengan jenis iman orang lain yang berada di luar lingkup Alkitab.

[Baca juga: Disalibkan bersama Kristus. Klik disini]

Iman di dalam kekristenan, sangat jauh berbeda dengan iman yang dipahami oleh orang yang belum mengalami kelahiran baru. Di dalam tulisan yang berjudul “Supaya barang siapa percaya…” saya sudah mengemukakan satu aspek kecil saja dari makna “iman/percaya” yang diajarkan oleh Alkitab, yaitu dari aspek present atau sifat ke-kini-an atau ke-sekarang-an dari iman kita.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba membahas pengertian iman dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari aspek pengetahuan (cognitive, knowledge), aspek perasaan (emotional) dan aspek keinginan (willingness). Mengapa? Sebab setiap kita pada dasarnya memiliki ketiga aspek tersebut di dalam diri kita.

Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu, kemampuan untuk merasakan sesuatu dan kemampuan untuk menginginkan sesuatu. Ini adalah kebaikan Tuhan bagi manusia sehingga kita dapat menjalankan kehidupan dengan penuh sukacita dan penuh makna di dalam dunia ini. Oleh karena itu, maka sangat beralasan apabila iman yang kita miliki itu, juga memiliki keterkaitan dengan ketiga aspek tadi.

Justru apabila iman kita tidak berkaitan dengan ketiga aspek tersebut, maka kita patut introspeksi, jangan-jangan apa yang kita pikir sebagai iman, ternyata tidak lebih dari suatu konsep yang abstrak belaka.

Kita akan membicarakan ketiga aspek dari iman itu di dalam tulisan selanjutnya yang berjudul Aspek-aspek Iman (Klik disini).

Dengarkan versi Audio dari perenungan ini melalui :

Anchor atau Spotify


Baca juga:
Apakah arti dari kebebasan? Klik disini

Siapakah Teofilus dalam Lukas 1? Klik disini
Apa arti penting Alkitab Perjanjian Lama bagi Tuhan Yesus? Klik disini
Seperti apakah ciri dari iman yang sejati itu? Klik disini