Tuesday, July 30, 2024

Seperti apakah wujud nyata dari kasih Allah?


Wujud nyata dari kasih Allah

Allah adalah kasih, dan jika kita ingin mengerti apa artinya, maka kita harus kembali kepada Alkitab untuk melihat bagaimana kasih Allah itu diwujudnyatakan. Melalui wujud nyata kasih Allah, kita dapat semakin mengenal Pribadi Allah.

Apabila diringkas, maka ada 3 hal yang merupakan wujud nyata dari kasih Allah kepada dunia ini, yaitu:

Pertama, Allah mewujudkan kasih-Nya melalui ciptaan. Ada kasih agape di dalam ciptaan. Allah menerbitkan matahari bagi semua orang. Allah menyediakan udara bagi semua orang. Allah menurunkan hujan bagi semua orang. Tanpa membedakan apakah orang percaya atau tidak percaya, kasih Allah disediakan dan diberikan kepada semua orang.

Kedua, Allah menyatakan kasih-Nya melalui pemeliharaan (providensia). Tuhan bukan saja mencipta, tetapi Ia memelihara kehidupan dengan setia. Tidak semua orang yang percaya pada-Nya akan senantiasa mengalami kejadian yang nyaman, dan sebaliknya, tidak semua orang yang tidak percaya pada-Nya pasti senantiasa akan mengalami bencana. Tuhan memelihara manusia secara sama rata. Orang baik tidak senantiasa menerima kebaikan, orang jahat pun tidak segera mengalami penghakiman. Bagi orang baik yang menerima kesulitan, Tuhan memelihara orang itu agar ia semakin bertumbuh. Bagi orang jahat yang tidak segera dihukum, Tuhan memelihara orang itu agar ia punya kesempatan untuk bertobat. Di dalam keduanya, Tuhan senantiasa bersabar, menanti orang percaya untuk bertumbuh dan menanti orang tidak percaya untuk bertobat, atau untuk tiba pada kegenapan dari kejahatannya.

Ketiga, Allah menyatakan kasih ketika Ia memberikan Kristus pada dunia. Jika dua yang pertama tadi adalah kasih yang bersifat umum, maka untuk yang ketiga ini adalah kasih yang bersifat khusus. Kasih yang bersifat umum meliputi orang percaya maupun orang tidak percaya. Tetapi kasih di dalam Kristus adalah kasih yang khusus, yaitu hanya diberikan dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus yang telah mati untuk meredam murka Allah kepada manusia dan telah bangkit untuk memberi hidup yang kekal.


Kasih dan kekudusan

Jika mengacu pada tiga wujud kasih Allah di atas, kita melihat bahwa kasih Allah itu memang memiliki dimensi yang berbeda dan tidak boleh dicampur adukkan. Ada aspek kasih Allah yang bersifat universal, seperti memberikan matahari dan menurunkan hujan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa ada pula aspek kasih Allah yang bersifat spesial atau khusus, yaitu ketika bicara tentang keselamatan. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa di dalam konteks keselamatan, kasih Allah hanya dapat dinikmati di dalam Kristus yang mati dan bangkit. Tidak ada ajaran di Alkitab yang mengatakan bahwa keselamatan manusia dari kebinasaan akibat dosa itu bersifat universal. Oleh karena itu pernyataan Paus Francis pada tanggal 15 April 2018 bahwa Ateis pun dapat masuk ke sorga, merupakan pernyataan yang sangat-sangat menyesatkan dan secara langsung telah menghina Yesus Kristus dan meremehkan Firman-Nya.

Wujud cinta kasih Allah yang paling jelas dan paling tegas, justru telah dinyatakan melalui diri Kristus. Dari Allah kita belajar bahwa cinta itu bukan sekedar konsep, cinta itu bukan sekedar perasaan, seperti perasaan enak, damai, tenang, merasa diterima dan lain sebagainya. Di dalam Kristus, kasih Allah itu bukan cuma perasaan tetapi mewujud secara nyata menjadi seorang Manusia. Ia berjalan, Ia berbicara, mengajar, menyentuh manusia dan bahkan memberi teguran akan dosa. Apabila kita mau mengasihi kaum ateis, maka kita perlu membawa mereka kepada Kristus, bukan dengan cara menipu mereka melalui janji-janji palsu bahwa ateis pun dapat masuk ke sorga.

Cinta Allah yang sejati selalu disertai kekudusan, sebab Allah adalah kudus. Dan karena kekudusan Allah harus berhadapan dengan keberdosaan manusia, maka di dalam cinta Allah yang sejati, ada komitmen, ada kematian, ada kepedihan, ada perlawanan, ada penderitaan dan bahkan ada kematian. Dan wujud nyata cinta Allah yang berhadapan dengan keberdosaan manusia adalah salib Kristus. Tanpa wujud nyata cinta yang seperti ini, maka cinta itu seperti tidak ada bentuknya, hanya berputar-putar di area emosional manusia yang tidak memiliki dasar yang kokoh, sehingga sangat rapuh dan mudah berubah menjadi kebencian.

Banyak orang yang merasa kesulitan untuk menjelaskan kasih, sehingga mereka beranggapan bahwa cinta itu hanyalah ilusi. Tetapi orang-orang itu keliru. Cinta jelas bukan sebuah ilusi, sebab apabila cinta merupakan ilusi maka untuk apa kita mengajarkan anak-anak untuk mencintai orang tua? Adakah orang tua yang mengajarkan anaknya untuk membenci? Semua orang tua yang normal pasti ingin anaknya bertumbuh di dalam cinta kasih. Dan merupakan tanggungjawab orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya agar mengenal kasih yang benar, yaitu kasih yang disertai dengan kekudusan.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.

Sunday, July 14, 2024

Pertumbuhan rohani, kerendahan hati dan pengampunan

 

Pertumbuhan rohani, kerendahan hati dan pengampunan

Surat Yohanes menyebutkan tentang Allah yang adalah kasih, sebagai suatu penegasan bagi kita bahwa hanya melalui Allah sajalah manusia dapat mengerti apa yang dimaksud dengan kasih. Tanpa pengenalan akan sosok Pribadi Allah, maka segala yang kita pikirkan tentang kasih dapat menjadi keliru. 

Sebagai contohnya adalah apa yang terjadi di dalam zaman sekarang ini, yaitu dimana seorang manusia dapat secara bebas dan subjektif memutuskan sendiri apakah dirinya adalah seorang laki-laki atau perempuan. Seorang dengan ciri-ciri fisik yang sangat jelas sebagai laki-laki, dapat secara bebas mengaku sebagai wanita dan ikut dalam kegiatan-kegiatan yang sebetulnya hanya diberikan kepada kaum wanita.

Dan masyarakat, orang tua, lembaga pendidikan, bahkan gereja-gereja tertentu mendukung kebebasan ini karena didasarkan pada kebebasan hak masing-masing individu. Atas nama kasih dan tolerasi kepada hak-hak kemanusiaan, maka segala penyimpangan ini bukan saja tidak ditegur atau dikoreksi, melainkan justru mendapat sambutan positif.

Pertanyaannya, apakah hal yang seperti ini layak disebut sebagai kasih? Apabila tidak, lalu darimana tolok ukurnya sehingga kita yakin bahwa hal seperti itu memang bukan kasih?

Ketika kita memahami Pribadi Allah yang adalah kasih dan kita belajar bagaimana Allah mengasihi manusia, maka dengan tegas kita dapat berkata bahwa kekacauan di dalam cara menentukan gender seseorang seperti disebutkan tadi, jelas merupakan penyimpangan yang harus ditegur dan dikoreksi. Berbagai pernyataan dan contoh-contoh kasus dalam Alkitab, dengan jelas mengatakan bahwa manusia hanya memiliki dua gender yang ditetapkan sejak lahir bahwa hubungan seksual sesama jenis adalah suatu kejahatan di mata Allah.

Adalah sebuah kejahatan apabila orang yang salah itu tidak ditegur dan diupayakan untuk kembali ke jalan yang benar. Dan justru adalah tindakan cinta kasih yang benar apabila kita dengan tegas berkata bahwa gerakan LGBTQ adalah dosa dan pelakunya harus bertobat dan kembali hidup mempermuliakan Tuhan.

Tanpa adanya pengenalan akan kasih Allah, manusia akan terus terperosok masuk ke dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya, pengenalan terhadap kasih Allah akan membawa manusia kepada keselamatan dan pertumbuhan rohani.

Dalam pertumbuhan rohani ada dua hal fundamental yang harus dipahami:

  1. Memahami betapa dalamnya kita telah dosa.
  2. Memahami betapa besarnya Kasih Allah yang dilimpahkan pada manusia melalui Yesus Kristus.

Ciri dari orang yang ada di dalam Tuhan adalah munculnya kesadaran di dalam diri orang itu bahwa ia telah berdosa besar di hadapan Tuhan. Ini hal yang sangat fundamendal. Apakah kita ini sadar bahwa ada kecenderungan memberontak di hadapan Tuhan? Orang bisa merasa benar dan merasa layak, karena tidak sungguh menyadari kondisi keberdosaannya di hadapan Tuhan. 

Kerendahan hati bukanlah seni dalam menghina diri sendiri. Orang yang rendah hati itu, bukanlah orang yang suka mengatakan bahwa dirinya orang bodoh, jelek, tidak bisa apa-apa dan seterusnya. Itu sama sekali bukan sikap rendah hati, melainkan sebuah sikap rendah diri atau minder, dan sikap seperti itu sama sekali bukanlah sikap yang baik. Jika demikian, lalu seperti apakah sikap orang yang rendah hati itu?

Orang yang rendah hati adalah orang yang tahu posisi dirinya ada dimana ketika ia berhadapan dengan Tuhan, dengan sesama dan bahkan dengan seluruh alam semesta. Ada orang yang menyembah gunung, atau bersujud di hadapan sebuah pohon. Itu adalah contoh yang cukup gamblang dari orang yang tidak sadar di mana posisinya di alam semesta ini. Seseorang seharusnya sembah sujud di hadapan Tuhan, mengasihi sesama dan mengelola alam, bukan malah kebalikannya, bersujud di hadapan alam, membenci manusia dan tidak mengakui keberadaan Tuhan serta tidak mengindahkan Firman-Nya.

Orang yang rendah hati sadarnya statusnya sebagai apa di dalam dunia ini dan peran atau fungsi atau tanggungjawab apa yang harus ia jalankan selama ia hidup di dalam dunia ini.. Ia menerima semua itu dengan lapang dada dan menjalankan tanggungjawab yang harus dipikulnya dengan sikap hati yang positif. Musa adalah orang yang rendah hati. Ia tidak iri pada orang yang posisinya lebih tinggi, juga tidak bersikap kejam terhadap orang-orang yang posisi sosialnya lebih rendah. Musa lemah lembut, tetapi tidak ragu untuk angkat senjata dan berperang jika hal itu memang dibutuhkan. Karena ia sadar di dalam menjalankan tanggungjawabnya yang berat, terkadang ia harus memerangi kejahatan manusia lain yang mencoba merusak jemaat Tuhan yang telah dipercayakan padanya.

Orang yang rendah hati tahu keadaan spiritualnya di hadapan Tuhan, yaitu sebagai orang yang berdosa dan membutuhkan belas kasihan dari Tuhan. Secara ironis, dosa justru seringkali membuat seseorang tidak sadar posisinya di hadapan Tuhan. Bukannya memohon belas kasihan, ia justru tidak merasa bersalah di hadapan Tuhan. Bahkan sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kejadian 3, orang berdosa selalu merasa bahwa orang lainlah yang lebih bersalah daripada dirinya.

Berapa banyakkah kita harus memberi pengampunan?

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. (Matius 18:21-22)

Dalam suatu perbincangan tentang pengampunan, Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk mengampuni orang yang bersalah sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Hal itu membuat para murid tercengang, karena mereka merasa bahwa jumlah itu terlalu banyak. Tetapi hal ini dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menyadarkan para murid akan betapa banyaknya mereka telah berdosa di hadapan Tuhan.

Orang yang sadar bahwa ia telah banyak menerima pengampunan dari Tuhan, maka orang itu akan bersedia untuk mengampuni orang lain. Tetapi orang yang merasa mendapat pengampunan yang sedikit dari Tuhan, maka akan sedikit pula ia menunjukkan pengampunan kepada orang lain. Pada praktiknya, siapakah manusia di dunia ini yang hanya membutuhkan pengampunan sedikit saja dari Tuhan? Tidak ada. Semua manusia pada dasarnya membutuhkan pengampunan yang sangat besar dari Tuhan. Hanya manusia yang belum mengenal siapakah Tuhan dan siapakah dirinya saja yang merasa bahwa ia menerima sedikit pengampunan.

Petrus beranggapan, apabila seseorang dapat mengampuni orang lain hingga 3 kali sajapun sudah merupakan hal yang luar biasa. Tetapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa ia harus mengampuni sebanyak 70 x 7 kali yang merupakan angka kesempurnaan atau kepenuhan atau bahkan gambaran dari infinity atau sesuatu yang tidak ada batasnya. 

Apa yang dilukiskan oleh Tuhan Yesus merupakan suatu gambaran pengampunan yang sangat fantastis dan tak terbayangkan apabila kita diharuskan untuk melakukannya. Murid-murid merasa heran bagaimana Tuhan Yesus bisa sampai pada hitungan seperti itu. Darimana konsep seperti itu bisa muncul? Apa dasarnya sehingga Tuhan Yesus bisa mengatakan hal yang seperti itu?

Untuk menjelaskannya, maka Tuhan Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang seseorang yang berhutang sebanyak 10.000 talenta. Sekedar perbandingan saja, 1 Talenta = 6000 dinar. Jadi 10.000 Talenta = 60.000.000 dinar. Sehingga apabila 1 dinar adalah sama dengan upah 1 hari, maka 60 jt dinar adalah upah untuk 60 jt : 360 hari = 167.000 tahun. Atau jika kita mengasumsikan usia rata-rata manusia adalah 70 tahun, maka hutang tersebut sama dengan 2.386 kali siklus kehidupan seorang manusia. Suatu perbandingan angka-angka yang sangat fantastis, 100 dinar dibandingkan dengan 60 jt dinar adalah 0,000167%. [Dapat pula memakai perbandingan antara Rp 50 M dengan Rp 10 juta, hasilnya juga 0,0002%]

Tetapi karena orang dalam perumpamaan itu tidak mampu membayar, maka hutangnya tersebut dihapuskan oleh sang raja. Suatu gambaran dari seorang raja yang sangat murah hati dan penuh pengampunan. Yang ironis adalah, ketika selanjutnya orang tersebut berjumpa pula dengan orang lain yang berhutang kepadanya sebanyak 100 dinar, orang yang baru menerima pengampunan sangat besar dari raja ini bukannya terdorong untuk mengampuni kawannya yang berhutang jauh lebih sedikit, melainkan ia malah mencekik dan memasukkan orang lain itu ke dalam penjara. 

Mengapa kita sulit mengampuni orang lain? Karena di satu sisi kita merasa hutang kita kepada Tuhan itu tidak banyak, tetapi di sisi lain kita merasa bahwa hutang orang lain kepada kita itulah yang sangat banyak. Kita merasa bahwa diri kita ini baik-baik saja di hadapan Tuhan, maka kita merasa patut mendapat berbagai kebaikan dari Tuhan. Tetapi orang lain, kita menganggap mereka itu tidak baik-baik saja kepada kita, mereka banyak berhutang pada saya, maka sangat sulit bagi saya untuk mengampuni mereka.

Kondisi seperti ini, yaitu kondisi tidak sadar hutang kita pada Tuhan dan sangat sadar hutang orang lain pada kita, membuat kerohanian kita terhambat, tidak bertumbuh. Itu sebabnya, ketika Roh Kudus datang, maka Ia akan menyadarkan kita akan betapa besarnya dosa kita  di hadapan Tuhan. Dalam Yohanes 16:8, Tuhan Yesus berkata apabila Roh Kudus datang, maka Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman.

Tanpa keinsafan akan dosa, kebenaran dan penghakiman, manusia sulit untuk menjadi rendah hati, sehingga juga akan suit untuk mengampuni orang lain, dan pada gilirannya akan mengalami kesulitan dalam pertumbuhan kerohaniannya. 

Berita Injil mengingatkan betapa besarnya anugerah pengampunan yang telah diberikan oleh Tuhan pada kita. Orang yang sadar akan dosanya, terdorong untuk memiliki kerendahan hati, bukan saja di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia. Ia akan memiliki hati yang penuh ucapan syukur karena melihat betapa banyaknya kebaikan yang Tuhan telah berikan, sekalipun ia adalah orang yang berdosa.

Ketika ia sadar akan kebaikan Tuhan, maka ia akan lebih memfokuskan diri untuk melihat betapa banyaknya kebaikan yang disediakan Tuhan di dalam dunia ini, bukan malah fokus untuk melihat betapa banyaknya keburukan di dunia ini. Apabila ia sadar akan kebaikan Tuhan, maka ia akan terdorong dengan sendirinya untuk bergiat mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan. Bukan berarti bahwa Tuhan membutuhkan pertolongan kita, tetapi kebaikan Tuhan itu secara natural telah mendorong orang yang menerima kebaikan-Nya untuk turut mengekspresikan kasih kepada Tuhan.

Orang yang merasa diampuni oleh Tuhan, maka waktu melayani pun sikap hatinya akan berbeda. Ia tidak pernah memandang remeh setiap pelayanan. Ia bersedia melakukan apa saja yang baik dan dibutuhkan, tanpa melihat apakah pelayanan yang dikerjakan itu terkesan sederhana dan tidak membutuhkan skill tertentu, ataukah pelayanan yang terkesan jauh lebih terpandang serta membutuhkan skill atau titel tertentu.

Orang yang sadar betapa besarnya Tuhan telah mengampuni dia, tidak akan melihat lagi apakah jumlah orang yang harus ia layani itu sedikit atau banyak, semua orang akan dilayani dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melihat dirinya sebagai over-qualified, melainkan dengan rendah hati akan bergantung kepada kekuatan Allah, sebab tanpa kekuatan dari Roh Tuhan, maka segala kemampuan dan kekuatan kita sama sekali tidak ada gunanya.

Orang yang merasa diampuni oleh Tuhan, di dalam melayani tidak akan menjadi over-sensitive terhadap kebutuhan dan kesejahteraan dirinya, tetapi akan menjadi lebih self-less (melupakan arti penting dirinya) dan lebih fokus pada kebutuhan orang lain yang Tuhan kirimkan untuk dilayani. Orang semacam inilah yang akan mengalami pertumbuhan kerohanian.

Jadi, sekali lagi, ada dua hal yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan rohani seseorang, yaitu:

  • Kesadaran diri sebagai seorang pendosa yang besar di hadapan Allah.
  • Kesadaran akan kasih Allah yang telah memberi pengampunan.

Melalui pembacaan Kitab Suci yang teratur dan diiringi dengan perenungan serta pencarian yang bertanggungjawab, seseorang akan semakin sadar bahwa ia adalah orang berdosa yang masih jauh dari standar Ilahi. Dan melalui pembacaan Kitab Suci itu pula, orang itu akan menemukan betapa besarnya kasih Allah pada manusia.

Mengapa terkadang seseorang merasa bahwa hidup ini masih banyak kurangnya? Karena orang itu tidak menyadari betapa besarnya kasih Allah, ia merasa bahwa kasih Allah saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akan hidup ini. Ia masih menginginkan yang lain. Hal ini mirip dengan bangsa Israel yang meskipun diberi kesempatan untuk bergaul akrab dengan Tuhan, sekalipun kebutuhan hidup mereka sudah dipenuhi oleh Tuhan, namun mereka tetap saja menginginkan kuali penuh daging di Mesir. Mereka tidak menikmati kasih Allah, mereka tidak menikmati kehadiran Allah, mereka menganggap sepi cinta kasih Allah, atau belum tahu bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi dan bahwa kasih Allah itu cukup bagi mereka.

Ada kalanya kita merasa dikasihi oleh Tuhan, tetapi masih merasa iri pula dengan orang lain. Sebab kita merasa Tuhan tidak adil, lebih mengasihi orang lain daripada mengasihi diri kita. Hal ini mirip dengan jemaat Yahudi di Roma, yang merasa Tuhan telah bersikap tidak adil dan lebih mengasihi jemaat Roma yang non-Yahudi. Dan untuk menanggapi hal ini, Rasul Paulus juga mengawali tulisannya dengan mengingatkan kembali jemaat di Roma akan betapa besarnya dosa-dosa manusia di hadapan Allah, sehingga tidak perlu merasa bahwa orang lain lebih baik atau lebih buruk, melainkan lebih fokus pada kasih Allah dan kesetiaan-Nya pada manusia. Kalau kita sadar berapa besar kasih Allah, maka kita akan bersyukur, dan bukan mencari-cari siapa lebih baik dan siapa lebih buruk.

Orang yang mengalami pertumbuhan rohani akan menemukan fakta bahwa kunci dari ketenangan jiwa adalah lemah lembut dan rendah hati seperti Tuhan Yesus (Matius 11:29). Lemah lembut itu artinya orang yang punya kekuatan, tetapi memilih untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Sedangkan rendah hati artinya orang yang tahu dimana posisinya di hadapan Allah dan di hadapan sesama manusia, sehingga dapat berespon dan bertindak secara sesuai dengan posisinya itu.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua untuk memiliki pertumbuhan spiritual yang sehat dan baik. Amin.

Sunday, March 31, 2024

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan

Apa yang harus kita pahami dari perkataan Amsal yang berbunyi “Takut akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuan.” tersebut?

Setidaknya ada 3 hal yang dapat kita renungkan, yaitu :

Pertama, bahwa di dalam hidup ini ada Tuhan yang harus ditakuti oleh manusia. Ini bukan sesuatu yang secara otomatis pasti dimiliki oleh semua orang di dunia. Banyak orang memiliki berbagai rasa takut di dalam hidupnya. Ada yang takut pada kematian, ada yang takut miskin, takut sakit, ada pula yang takut dilupakan, takut kepada setan, takut kepada orang-orang jahat dan masih banyak lagi. Tetapi Amsal mengingatkan bahwa ada sebuah rasa takut yang paling utama yang harus dimiliki manusia, yaitu takut kepada Tuhan.

Kedua, bahwa segala sesuatu yang dapat dicapai oleh rasio manusia, seperti intelektualitas, emosi dan kehendak, harus ditundukkan di bawah kuasa Tuhan. 

Daya pikir kita (intelektual) harus dikendaikan oleh rasa takut akan Tuhan. Kemampuan kita untuk berlogika seharusnya dipakai untuk mengerti dan mengenal Tuhan, bukan malah dipakai untuk menyerang, mendiskreditkan atau menghina Pribadi Tuhan.

Emosi perasaan kita harus dikendalikan untuk merasa takut kepada Tuhan, yaitu takut mengecewakan-Nya, takut membuat Tuhan sedih, takut membuat Tuhan marah, takut kurang mengasihi Tuhan. Bukankah di dalam hidup ini kita bisa merasa takut kurang berbuat semaksimal mungkin bagi orang yang kita kasihi? Misalnya, orang tua bisa merasa takut kurang memberi anaknya segala sesuatu yang terbaik. Seorang pacar bisa merasa takut kurang menunjukkan cinta kepada pasangannya. Jika kita sebagai manusia bisa merasa takut kurang memberi kepada manusia lainnya, mengapa kita tidak memiliki rasa takut yang sama kepada Tuhan?

Daya kehendak kita (willingness) sepatutnya digerakkan pula oleh rasa takut kepada Tuhan. Kita ingin belajar mengasihi, karena kita ingin menyenangkan Tuhan. Kita mau menjauhkan diri dari dosa karena kita takut menyakiti hati Tuhan.

Ketiga, segala yang dapat dicapai oleh rasio itu, suatu saat akan berhadapan dengan penghakiman Allah, harus dipertangungjawabkan kepada Allah. Pikiran kita akan dihakimi, emosi kita akan dihakimi, kehendak kita pun akan dihakimi oleh Tuhan.

Amsal 1:7 telah memberikan suatu gambaran tentang kondisi normal manusia sebagaimana Tuhan menciptakan kita, yaitu di mana Tuhan menjadi pusat dari kehidupan manusia.

Di sisi lain, aktivitas sehari-hari kita yang telah dipengaruhi oleh sifat berdosa, selalu cenderung mengalihkan perhatian kita dari Tuhan yang sejati, yaitu Tuhan yang harus ditakuti ini. Jangankan merasa takut, memikirkan Tuhan pun jarang, atau bahkan tidak sama sekali. Bagi banyak orang, Tuhan bahkan dianggap tidak ada, atau pun dianggap sebagai yang tidak memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari.

Berita-berita tentang kematian, berita-berita tentang bencana alam atau musibah apapun yang kita dengar atau baca melalui media massa, seringkali membuat kita merasa sangat gentar. Kita bertanya-tanya, bagaimana jika sendainya itu terjadi padaku? Apakah aku siap? Semua itu membuat kita sadar bahwa diri kita ini sangat rapuh.

Melalui berita kematian yang kita dengar sehari-hari, kita menjadi sadar, bahwa segala yang kita miliki selama ini telah membuat kita lupa betapa rapuhnya diri ini apabila dibandingkan dengan kematian itu sendiri. Segala yang kita anggap penting, tiba-tiba tidak ada artinya lagi apabila diperhadapkan dengan kematian.

Sebuah peristiwa kematian membuat kita sadar akan keterbatasan kita. Kita kembali diingatkan bahwa hidup kita sendiri pun suatu saat akan berakhir. Kita sadar bahwa kita sangat tidak berdaya. Ketika segalanya berjalan baik, kita selalu merasa bahwa kesulitan tidak mungkin datang pada kita. Kita selalu merasa bahwa diri kita cukup mampu menghadapi dunia ini. Berita kecelakaan dapat membuat kita menjadi sadar bahwa kita ini hanya manusia biasa, bukan Tuhan yang penuh kuasa.

Itu sebabnya, sangatlah wajar dan masuk akal untuk merasa takut kepada Tuhan. Jangan tunggu hingga bencana datang, untuk kita mulai merasa takut kepada Tuhan. Bacalah Alkitab, kenalilah Tuhan yang sejati itu, dan biarlah rasa takut kita kepada Tuhan menjadikan kita sebagai orang yang semakin hari semakin hidup di dalam perkenanan Tuhan.

Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Monday, March 18, 2024

Dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria


Salah satu point dari Pengakuan Iman Rasuli berbunyi: “… yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria …”

Adapun Pengakuan Iman Rasuli sendiri, pada dasarnya diambil dari catatan Alkitab, yaitu misalnya: Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. (Matius 1:18)

Dan juga dalam Matius 1:20 tertulis: Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.

Tulisan yang dibuat oleh Lukas pun tidak lebih jelas mengenai hal tersebut. Lukas 1:35 berbunyi: Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.


Bagaimana kita harus mencerna makna dari Firman tersebut?

Persoalan ini sudah menjadi topik diskusi dan pembicaraan bahkan sejak zaman bapa-bapa gereja. Ada beberapa kesimpulan yang dapat saya rangkum:

Pertama-tama, persoalan Yesus yang dilahirkan dari anak dara Maria bukanlah semata-mata agar Yesus memiliki sifat alami yang bebas dari dosa. 

Pendapat semacam ini dipegang oleh bapa gereja yang amat terkenal yaitu Agustinus yang hidup pada abad 5 Masehi. Pada masa hidup Agustinus, berkembang suatu gagasan bahwa semua aktivitas seksual adalah suatu dosa. Menurut pandangan ini adalah mustahil bagi suatu hubungan seksual antara pasangan suami istri yang tidak melibatkan dosa, paling tidak di dalam hubungan itu pasti ada suatu dosa karena hawa nafsu. Itu sebabnya semua bayi yang dilahirkan dari hubungan semacam ini sudah pasti akan tercemar oleh dosa pula. Agustinus menentang pandangan semacam ini, terutama karena pikiran semacam ini tidak memiliki suatu dukungan Alkitabiah. Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa secara inherent, hubungan seksual di dalam pernikahan bukanlah suatu dosa (misalnya dalam 1 Kor 7:1-4). Lagipula, Alkitab tidak pernah memberi dukungan pada pandangan yang mengajarkan bahwa dosa yang kita miliki adalah berasal dari (diturunkan melalui) hubungan seksual antara ayah dan ibu kita.

Kedua, persoalan Yesus yang dilahirkan dari anak dara Maria bukanlah semata-mata agar Yesus terhindar dari dosa yang diturunkan oleh garis laki-laki.

Pendapat ini cukup banyak mendapat pengakuan atau penerimaan dari berbagai kalangan Kristen. Menurut pandangan ini, dosa manusia terutama diturunkan dari laki-laki karena kepada laki-lakilah pertama kali Allah memberi larangan untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Alkitab mengatakan: Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17)

Bagaimana kita menanggapi pendapat semacam ini? Benarkah ketidakhadiran faktor manusia pria sebagai benih bagi janin Yesus memang untuk menjamin sifat ketidakberdosaan Yesus? Jawabnya adalah tidak.

Tidak ada dukungan Alkitab bagi pendapat bahwa sifat berdosa manusia diteruskan melalui benih laki-laki. Wanita pun dipandang sebagai makhluk yang berdosa oleh Alkitab, bukan hanya laki-laki. Mazmur 51:7 misalnya memberi indikasi tersebut, bunyinya: Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.

Lagipula, Alkitab juga mengajarkan bahwa Maria pun adalah pribadi yang membutuhkan Juruselamat sama seperti kita. Di dalam nyanyian Maria yang terkenal dan yang dicatat dalam Injil Lukas, Maria mengakui pula Allah sebagai Juruselamat pribadinya.

Jadi pandangan yang mengatakan bahwa kaum wanita tidak mewarisi sifat berdosa adalah jelas keliru. Sebagai tambahan, Ayub 15:14 mengajarkan pada kita demikian: Masakan manusia bersih, masakan benar yang lahir dari perempuan?

Jadi singkatnya, sifat ketidakberdosaan manusia Yesus Kristus adalah pekerjaan Roh Kudus, bukan karena Yesus hanya bersinggungan dengan kemanusiaan Maria dan luput dari kemanusiaan Yusuf yang berdosa. Tidak demikian. Sekalipun Yesus memiliki darah dan daging seperti kita, Ia tidak berdosa karena Ia dikandung dari Roh Kudus. Ini adalah pekerjaan Allah yang tidak bisa dicampuri oleh keberdosaan manusia. Bagi saya pribadi, prinsip pengajaran ini terlihat pula pada daftar silsilah Yesus Kristus. Keberdosaan leluhur Yesus tidak secara otomatis menjadikan Yesus sebagai Manusia berdosa.

Pandangan ketiga mengatakan bahwa kelahiran dari anak dara dibutuhkan oleh Yesus semata-mata demi mendapatkan status Anak Allah. 

Pandangan ini juga tidak dapat kita terima. Kelahiran dari anak dara tidak menjadikan Yesus sebagai Anak Allah. Sebab ke-Ilahi-an Yesus Kristus bukanlah dibentuk sejak di dalam rahim Maria. Ke-Ilahi-an Yesus Kristus bukan dimulai dari sejak Ia dikandung oleh Maria. Pandangan semacam ini memang tumbuh subur di kalangan penganut kepercayaan agama dan kepercayaan dunia.

Ambillah Hercules sebagai contoh. Hercules adalah tokoh dari mitologi Yunani yang saya anggap dapat mewakili jalan pikiran banyak orang tentang manusia yang memiliki sifat ilahi. Hercules memiliki orang tua yang berasal dari dua natur yang berbeda, manusia biasa dan dewa. Karena berasal dari keturunan dewa, maka Hercules pun memiliki sifat dewa. Dalam Pribadi Yesus Kristus, bukan ini yang terjadi.

Menurut pandangan Kristen, eksistensi seorang manusia dimulai ketika sel telur wanita bertemu dengan sel sperma dari kaum pria. Namun Yesus tidak seperti ini. Sebelum tinggal di dalam rahim Maria, Yesus sudah memiliki eksistensi Allah Tritunggal.

Pandangan Kristen bagi sifat dwi-natur Yesus Kristus adalah seperti ini: Sebelum Yesus Kristus dikandung oleh Maria, Yesus sudah ada sebagai Pribadi Yang Ilahi. Dengan Yesus dikandung dalam rahim Maria, Yesus tidak kehilangan sifat Ilahi itu. Melalui inkarnasi, sifat ke-Ilahi-an Yesus dipersatukan dengan (ditambah oleh) sifat ke-manusia-an.

Bagi saya penjelasan dari Millard J.Erickson tentang ajaran ini adalah baik dan jelas sekali. Menurut Erickson, Yesus membiarkan sifat ke-manusiaan-Nya menjadi beban bagi sifat ke-Ilahian-Nya. Saya pikir, mungkin istilah lain yang juga dapat menolong kita mengerti selain “menjadi beban” adalah “mengekang.” Artinya, Yesus sama sekali tidak kehilangan sifat Ilahi-Nya, namun Yesus membiarkan sifat manusiawi-Nya mengekang atau menahan atau ya itu tadi; menjadi beban bagi sifat Ilahi-Nya. Ia yang dulunya tidak terbatas, kini harus dikekang atau ditahan atau dibebani oleh tubuh manusiawi yang terbatas. Ia yang sebelumnya tidak membutuhkan makanan jasmani kini merasakan rasa lapar dan haus sebagai akibat dari daya kerja sifat manusiawinya yang menuntut Yesus untuk memenuhi kebutuhan jasmani tersebut.

Jadi, kelahiran dari anak dara adalah cara yang dipakai oleh Tuhan untuk menyatukan natur Ilahi-Nya dengan natur manusia. Inilah cara yang dipilih oleh Allah untuk masuk ke dalam sejarah manusia.

Beberapa ayat Firman Tuhan yang membicarakan tentang Pribadi Yesus yang unik tanpa secara khusus menyebutkan tentang kelahiran dari anak dara adalah:

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (Yohanes 1:14)

Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. (Lukas 1:35)

Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga. (1 Kor 15:47)

Bagaimana cara Allah membuat Firman menjadi manusia? Bagaimana anak yang dilahirkan dari wanita itu akan disebut kudus? Bagaimana manusia kedua berasal dari sorga? Maka semua pertanyaan ini dijawab dengan satu cara yaitu melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam rahim Maria. Inilah cara yang dipilih Allah. Inilah misteri Inkarnasi itu. Melalui cara ini Allah telah menyatukan diri-Nya dengan natur manusiawi seorang manusia.

Inkarnasi adalah tindakan Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus Yesus untuk menjadi Manusia, Yesus taat pada pengutusan itu dan Roh Kudus yang menyiapkan natur manusia bagi Yesus. Yesus lahir dari anak dara Maria karena sebagai Pribadi Ilahi yang mempunyai pra-eksistensi Yesus harus memakai substansi manusiawi Maria bagi diri-Nya agar Ia dapat terlahir sebagai manusia seperti kita dan pekerjaan yang luarbiasa ini dikerjakan oleh Roh Kudus.

Yesus adalah Firman Allah yang menjadi Manusia. Kita percaya itu terjadi melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam kandungan Maria. Bagaimana hal itu terjadi? Kita tidak tahu bagaimana secara teknis Roh Kudus mengerjakan hal tersebut, tetapi kita percaya itu terjadi karena Firman Tuhan berkata demikian. Yang kita tahu adalah bahwa melalui pekerjaan Roh Kudus itu, maka segala rencana Allah tercapai di dalam diri Manusia Yesus. Inilah arti penting dari fakta bahwa Yesus dikandung dari Roh Kudus dan lahir dari anak dara Maria.

 

Lalu apa yang dapat kita pelajari dari fakta Alkitab ini?

Pertama, doktrin kelahiran dari anak dara ini mengajarkan pada kita bahwa keselamatan kita berasal dari Allah bahkan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Manusia dengan usahanya sendiri tidak dapat melahirkan Yesus Kristus ke dalam dunia ini. Harus ada campur tangan langsung dari Allah. Jadi tanpa Allah, manusia bukan saja tidak dapat menyelamatkan dirinya dari dosa, lebih dari itu manusia bahkan tidak mampu mengatur proses paling pertama dari keselamatan itu yaitu menghadirkan sang Juruselamat ke dalam dunia. Kelahiran Yesus dari anak dara ini mengingatkan kita bahwa keselamatan itu sungguh-sungguh adalah anugrah. Maria memang adalah wanita yang baik, namun dia sama tidak layaknya dengan wanita-wanita yang lain di Israel. Dia tidak memiliki sesuatu yang dapat ditawarkan, bahkan seorang suami sekalipun. Namun justru karena ia tidak memiliki suami inilah, justru dalam kondisi yang dalam ukuran manusia tidak mungkin inilah, Allah memilih dia untuk mengandung Anak Allah agar kita ingat bahwa Allah dapat bekerja sesuai rencana-Nya sekalipun dari pihak manusia penuh dengan keterbatasan.

Kedua, doktrin kelahiran dari anak dara ini mengingatkan kita pada Pribadi Yesus yang unik.

Tuhan Yesus memang Manusia sepenuhnya seperti kita, namun Dia juga adalah Allah yang sepenuhnya berbeda dengan kita.

Kiranya melalui uraian ini kita kembali disegarkan tentang betapa dahsyatnya peristiwa Natal yang akan kita rayakan sebentar lagi.

Inkarnasi mengajarkan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan kita tidak boleh membeda-bedakan.

Dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, mengajarkan kita tentang anugerah Allah yang sungguh-sungguh tidak dapat kita gantikan dengan apapun. Amin.

Monday, January 15, 2024

Inkarnasi Tuhan Yesus dan nilai hidup kita sebagai manusia

Inkarnasi Yesus Kristus mengingatkan kita bahwa hidup seorang manusia sangat bernilai.

Ada cukup banyak keunikan yang terdapat di dalam Alkitab, yang mungkin tidak kita temukan di dalam ajaran lain. Beberapa di antaranya termasuk:

- bahwa Alkitab merupakan 100% suara Allah sekaligus 100% suara manusia.
- ajaran Tritunggal, Allah adalah 1 Substansi yang terdiri dari 3 Pribadi 
- Allah bersifat Immanent sekaligus Transenden.
- Roh Kudus adalah Allah yang berdiam di dalam diri manusia.
- Keselamatan adalah berdasarkan anugerah, bukan perbuatan baik manusia.
- Yesus Kristus adalah 100% Allah sekaligus 100% manusia.

Adapun pembahasan tentang Inkarnasi adalah termasuk di dalam kategori pembahasan tentang Tuhan Yesus yang adalah 100% Allah dan sekaligus 100% manusia tadi.

Kebaikan hati Tuhan Yesus yang sekalipun adalah Allah tetapi mau menjadi Manusia sama seperti kita, setidaknya mengingatkan kita akan satu hal, disamping hal-hal lainnya, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang berharga di mata Allah.

Di sisi lain, kita sendiri sebagai manusia seringkali gagal melihat betapa nilai kehidupan kita di dalam porsi yang sesuai. 

Ada orang yang sedemikian rendahnya menilai diri sendiri, sehingga ia membiarkan hidupnya hancur oleh obat-obatan terlarang, perbuatan-perbuatan jahat, kebiasaan-kebiasaan buruk dan lain sebagainya. Tanpa menyadari bahwa hidup ini berharga, sehingga seharusnya diisi dengan hal-hal yang berharga pula dan bukan disia-siakan begitu saja. Bahkan tidak sedikit pula orang yang melihat hidup dan dirinya sendiri sedemikian tidak berharga, sampai mereka akhirnya melakukan bunuh diri.

Betapa tragisnya, betapa ironisnya bahwa Allah sendiri mau menjadi sama seperti Manusia, sedangkan manusia sendiri tidak ingin hidup sebagai manusia?

Ada orang yang sedemikian tingginya menilai diri, sehingga ia mulai merasa menjadi allah bagi dirinya sendiri. Bahkan lebih celakanya lagi, ada orang-orang yang mencoba menjadi allah bagi sesamanya. Dan karena mereka menganggap diri sebagai allah, maka mereka dapat memutuskan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati, siapa yang dapat dijadikan rekan, dan siapa yang dapat dijadikan sebagai budak yang nilainya lebih rendah dari manusia lain.

Apakah nilai seorang manusia diukur berdasarkan berat badannya? Jika seperti ini, berarti apa bedanya manusia dengan hewan potong bukan?

Apakah nilai seorang manusia diukur berdasarkan tinggi badannya? Jika seperti ini, maka apa bedanya manusia dengan tumbuh-tumbuhan?

Apakah nilai seorang manusia diukur berdasarkan kegunaannya? Jika masih berguna, maka ia manusia yang berharga, tetapi jika sudah tidak berguna, maka ia adalah manusia yang tidak ada nilainya lagi?

Kebudayaan modern kita saat ini, mau tidak mau, entah disadari atau tidak, telah turut membentuk cara kita memandang nilai seorang manusia. Bagaimana bisa demikian? Kebudayaan modern adalah kebudayaan yang dibangun oleh adanya kebangkitan infustri. Dan ketika kita berbicara tentang industri, maka kita bicara tentang produk. Dan ketika kita bicara tentang produk, maka kita bicara tentang daya jual.

Dan ketika kita bicara tentang daya jual, maka kita bicara tentang: fungsi (ada gunanya atau tidak), bentuk (bagus atau jelek) dan keuntungan (bisa menghasilkan banyak atau sedikit). Tidak keliru berbicara tentang daya jual, sejauh yang dibicarakan adalah barang dagangan. Tetapi celakanya, tidak jarang cara pandang seperti ini juga ternyata telah mempengaruhi cara kita menilai seorang manusia.

Tidak heran apabila menurut cara pandang modern, manusia yang berharga adalah manusia yang ada gunanya bagi orang lain, yang cantik serta mampu menghasilkan keuntungan (biasanya berupa uang) yang sebesar-besarnya.

Inkarnasi Tuhan Yesus, Sang Logos yang memilih untuk turun ke dunia, menjadi sama dengan manusia, seharusnya kembali menegur kita yang sering lupa akan nilai kita sebagai manusia di hadapan Allah.

Kita tidak perlu memandang diri kita terlalu tinggi, karena kita bukan Allah. Tetapi kita juga jangan menilai hidup kita dan hidup sesama kita manusia sebagai sesuatu yang tidak bernilai.

Di dalam Kristus kita dengan rendah hati menerima kenyataan bahwa nilai diri kita adalah pemberian Dia dan kepada Dialah seluruh hidup kita harus dipersembahkan. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.