Ada
kalanya dalam kehidupan ini kita diperhadapkan pada persoalan yang jauh lebih
besar daripada kemampuan kita untuk menyelesaikannya. Dan dalam kondisi itu,
tidak jarang kita menyesali diri; “mengapa aku memiliki begitu banyak
keterbatasan di dalam hidup ini?” [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan menjadi manusia baru? Klik disini.]
Itu
sebabnya, mengapa banyak orang di dunia ini yang kepingin menjadi kaya,
karena sulit dipungkiri bahwa untuk hal-hal tertentu, kekayaan memang dapat
menolong seseorang untuk lebih mampu menerobos keterbatasan-keterbatasan yang
ada di dalam hidup ini. [Baca juga: Apa resep hidup berkelimpahan dan berhasil? Klik disini.]
Tidak usah
jauh-jauh, urusan menyekolahkan anak saja misalnya, orang yang punya uang tidak
terlalu bingung mau menyekolahkan anaknya di mana. Pilihannya begitu banyak.
Sumber daya (resources) yang tersedia
lebih besar daripada kebutuhan yang ada. Tetapi orang yang benar-benar tidak
punya uang, jangankan memikirkan sekolah dimana, untuk urusan makanpun mungkin
tidak punya banyak pilihan. [Baca juga: Apa yang lebih penting dari kekayaan? Klik disini.]
Dalam pekerjaan saya sehari-hari sebagai business consultant, saya sering bertemu dengan orang-orang yang punya banyak resources, banyak sekali bahkan, sehingga ketika bisnis mereka dihadapkan pada persoalan senilai ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah sekalipun (entah karena rugi ataupun macet), mereka masih tetap bisa menjalankan kehidupan secara normal, masih naik mobil dan tinggal di rumah mewah, masih bisa berpikir jernih dan masih punya uang pula untuk membayar jasa konsultan seperti saya, yang diminta membantu mencarikan jalan keluar bagi persoalan bisnis mereka.
Di sisi lain, seorang kawan saya yang bergerak di dalam industri peternakan, pernah men-sharing-kan foto orang yang sedang gantung diri (menyeramkan sekali). Ketika saya tanya apa yang terjadi, kawan saya bilang orang itu bunuh diri karena usaha ternaknya gagal dan dia gak punya uang untuk bayar utang usahanya. Tragis sekali bukan?
Menurut jalan dunia, orang yang punya banyak resources adalah orang yang beruntung sedangkan orang yang gak punya modal adalah orang yang sangat malang hidupnya. Lantas, bagaimana dengan sudut pandang Alkitab sendiri tentang hal ini?
Dalam tulisan sebelumnya kita membaca bahwa Tuhan Yesus berniat memberi makan ribuan orang yang datang kepada-Nya. Lalu apa komentar para murid mendengar keinginan hati Sang Guru? Seorang dari mereka yang bernama Filipus menjawab: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." (Yohanes 6:7)
Filipus tidak berbeda dengan kita yang punya sudut pandang terbatas. Kita sering melihat persoalan sebagai sesuatu yang jauh lebih besar dari kekuatan kita. Dan dalam hal ini, siapa yang bisa menyalahkan Filipus? Kalau kita ada disitu, sangat mungkin kita juga akan berpikir serupa. “Manusia begini banyak, kita gak punya cukup uang, Yesus ini apa-apaan sih?”
Filipus bukan saja tidak punya uang, tetapi ia juga tidak punya ide sedikitpun untuk bagaimana menyelesaikan persoalan semacam ini. Satu-satunya suara yang mirip seperti pengharapan muncul dari salah seorang murid yang lain, yaitu Andreas saudara Simon Petrus, yang berkata kepada Yesus: "Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" (Yohanes 6:8-9)
Logika Andreas sangat manusiawi, siapa yang bisa berharap pada lima roti dan dua ikan, ketika yang mereka hadapi adalah ribuan manusia? Bagi saya, situasi ini benar-benar bisa membawa pada perasaan putus asa. Dan yang agak mengganggu menurut saya adalah, masalah ini ditimbulkan oleh Tuhan sendiri. “Mengapa Tuhan Yesus malah menjerumuskan kita ke dalam masalah yang gak perlu? Memangnya kita uda ada perjanjian dengan mereka, bahwa siapapun yang datang tidak perlu bayar tapi malah dapat dinner gratis? Kan enggak..? Udah tenang-tenang pelayanan selesai, tinggal istirahat, sekarang malah harus pusing dengan urusan konsumsi yang gak masuk akal. Yesus ini sebetulnya pecinta olahraga ekstrim yang suka memacu adrenalin atau gimana ya?”
Kita juga bisa jengkel pada Tuhan ketika melihat bagaimana kehidupan kita digeser ke sana sini, masuk masalah ini dan itu. Kita pikir Tuhan itu seharusnya ada di sana untuk melindungi kita, tetapi yang terjadi justru Dia yang seolah-olah menjerumuskan kita ke dalam jurang masalah.
Mungkinkah kegalauan hati kita terhadap situasi ini adalah suatu pertanda bahwa kita memang kurang mengenal kepribadian Tuhan? Alkitab menyaksikan bahwa demi suatu tujuan yang lebih mulia, Tuhan tidak segan-segan membawa orang yang dikasihi-Nya masuk ke dalam suatu kesulitan. Kita mungkin kurang menyukainya, tetapi ini adalah fakta Alkitab.
Selain orang yang sangat saleh, Ayub juga telah memiliki hidup yang sangat mapan. Menurut jalan pikiran kita seharusnya jalan hidup Ayub adalah jalan hidup yang mulus dan lancar hingga akhir menutup mata. Tetapi menurut Tuhan, orang seperti Ayub pun harus masuk ke dalam badai kehidupan terlebih dahulu sebelum ia benar-benar mengenal siapakah Tuhan itu.
Yusuf sudah enak-enak punya orang tua yang sangat sayang pada dia, tetapi Tuhan malah mengirim Yusuf ke Mesir sebagai seorang budak. Musa seharusnya sudah tenang dan mapan hidupnya sebagai gembala, tetapi ia malah dipanggil untuk memimpin sejumlah besar bangsa yang keras kepala untuk mengembara di padang gurun. Mengapa Tuhan versi Alkitab kerap melakukan hal semacam ini kepada anak-anak-Nya? Inilah misteri Tuhan yang harus kita terima jika kita mengaku percaya kepada-Nya.
Bahkan Bapa sendiripun sudah memberi contoh, ketika Yesus datang ke dunia, di awal pelayanan-Nya Ia dikirim ke padang gurun untuk dicobai dan di akhir pelayanan-Nya Ia di kirim ke golgota untuk disalib. Dapatkah kita menerima sosok Allah seperti yang diberitakan oleh Alkitab? Adakah hal ini mengguncangkan iman kita terhadap Dia? Orang-orang di atas bukit itu terguncang dan pergi, kalau kita bagaimana? Adakah hal ini justru semakin membuat kita bertekad untuk lebih memahami dan mengenal Dia?
Di dalam penjara Yohanes Pembaptis mendapat pesan: “… berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku." (Lukas 7:23) Kita adalah orang yang berbahagia jika semua fakta ini justru menjadikan kita semakin ingin mengenal Dia dan bukan menjadi kecewa.
Dari berbagai catatan Alkitab yang saya sebutkan tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan dengan sengaja dapat membawa orang-orang yang dikasihi-Nya masuk ke dalam keadaan di mana mereka sadar bahwa apapun yang mereka miliki itu ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan yang ada di depan mereka. Mereka akan melihat bahwa sumber daya mereka sangat minim dan persoalan di depan sangat besar. Hanya dengan cara ini, manusia dapat benar-benar belajar apa artinya bergantung kepada Tuhan.
Menurut dunia, orang yang beruntung adalah orang yang sumberdayanya selalu cukup sehingga ia bisa selalu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Tetapi menurut Alkitab, kita justru adalah orang yang dikasihi Allah jika Ia mengizinkan kita mengalami suatu keadaan yang terpojok sedemikian rupa hingga satu-satunya kemungkinan adalah berlari kepada-Nya, bukan kepada apapun yang lain.
Kalau kita punya 10 M lalu diperhadapkan pada masalah senilai 100 juta, kita sulit memaknai apakah persoalan itu selesai karena Tuhan atau karena si 10 M itu? Tapi apabila kita cuma punya 5 roti dan yang harus makan adalah 5000 orang, maka kalau itu bukan pertolongan Tuhan lalu apalagi namanya?
Kiranya hal ini semakin membuat kita mengerti apa yang dimaksud dengan: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah (Lukas 6:20)”. Kalau kita baca Matius saja, maka kita selalu masuk ke dalam pemahaman miskin secara rohani, tetapi jika kita baca Lukas maka nuansanya berbeda. Lukas jelas-jelas mengkaitkan istilah miskin dan kaya dengan harta yang dimiliki seseorang.
Ayub tidak akan pernah benar-benar mengetahui apakah selama ini ia menyembah Tuhan demi Pribadi Tuhan itu sendiri atau dia menyembah Tuhan karena apa yang ia miliki. Baru setelah segalanya dicabut dari hidupnya, Ayub sungguh-sungguh mengenal Siapa yang dia sembah. Di atas bukit itu, para murid juga diperhadapkan pada masalah kekurangan sumber daya demi membawa mereka pada pengenalan yang lebih baik terhadap Kristus.
Bagaimana dengan hidup kita selama ini? Apakah kita termasuk orang yang selalu memiliki kelimpahan sedemikian rupa sehingga tidak pernah mendapat kesempatan melihat Tuhan bekerja di hadapan kita? Ataukah kitapun pernah berada dalam situasi dimana apa yang kita miliki tidak cukup sehingga mau tidak mau kita harus belajar bergantung kepada Tuhan?
Apa yang kita pelajari selama kita menghadapi kesulitan di dalam hidup ini? Apakah segala kesulitan itu hanya menjadikan kita semakin ahli dalam menyelesaikan berbagai masalah saja? Ataukah melalui kesulitan itu kita justru berjumpa dengan Tuhan Yesus secara Pribadi sehingga kita semakin mengenal Dia?
Mulai sekarang, ketika kesulitan di dalam hidup datang menghadang, marilah kita tidak menyesali diri lagi atas segala keterbatasan kita. Tetapi bawalah apapun yang ada pada kita ke hadapan Tuhan dan biarkan Tuhan bekerja di dalam kuasa-Nya, bukan demi agar masalahnya selesai saja, tetapi terutama agar kita dapat semakin mengenal Dia.
Kiranya Tuhan berbelas kasihan pada kita. Amin.