Oleh: Izar Tirta
Lahirlah seorang anak laki-laki bagi Set juga dan anak itu dinamainya Enos. Waktu itulah orang mulai memanggil nama TUHAN. Kejadian 4:26
Set kemudian memiliki anak yang bernama Enos,
dan sebagaimana kita baca, sejak zaman Enos inilah orang mulai memanggil nama
TUHAN.
Apabila kita sungguh merenungkan, maka kita
sadar bahwa “memanggil nama TUHAN” bukanlah sebuah perkara yang sederhana. Sebab
sebagai keturunan dari orang yang telah jatuh ke dalam dosa, maka pengenalan
akan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil, kecuali jika ada campur tangan dari
Tuhan sendiri. Kalaupun keturunan Set ini dapat memanggil nama Tuhan, maka hal
itu sudah pasti merupakan akibat dari perbuatan baik Tuhan yang dengan penuh
anugerah mengizinkan diri-Nya untuk dikenal oleh manusia.
Apalagi dalam teks tersebut kita membaca bahwa
Allah yang dikenal di sini bukan allah sembarang allah seperti yang dipikirkan
oleh orang modern sekarang ini, melainkan Yahwe, Allah dengan nama yang
spesifik sekali. Yahwe adalah Dia yang telah masuk dan mengikatkan diri-Nya ke
dalam suatu relasi pribadi dengan manusia melalui sejarah bangsa Yahudi, dan
hanya bisa dikenal melalui Alkitab.
Persoalannya bagi kita sekarang adalah, apakah kita merasa tertarik pada anugerah
semacam ini? Yaitu bahwa kita boleh mengenal Dia? Ataukah kita masih
selalu lebih tertarik pada segala sesuatu yang dimiliki oleh Kain dan
keluarganya itu?
Apa yang dimiliki oleh Kain, segera dapat
dilihat. Tetapi apa yang dimiliki oleh keturunan Set, tidak dapat terlihat oleh
mata. Apa yang dimiliki oleh Kain membawa semacam kebanggaan, prestige. Tetapi siapakah yang akan
merasa bangga jika mendapat pengenalan akan Tuhan? Bukankah mengenal Tuhan itu
lebih terdengar bagaikan suatu konsep yang abstrak? Forbes pun pasti menolak
untuk memasukkan orang-orang semacam ini ke dalam majalahnya, bukan?
Bagi orang-orang di zaman modern yang sangat
memuja pencapaian, uang dan harta benda yang nyata, pengenalan akan Allah
menjadi sesuatu yang tidak menarik sama sekali. Namun melalui keturunan Adam
dari garis keluarga Set, kita melihat bahwa satu-satunya “kekayaan” terbesar yang mereka miliki justru adalah bahwa
mereka mengenal Tuhan.
Kita perlu bergumul di hadapan Tuhan apabila kita sulit menerima “kekayaan” semacam itu sebagai sesuatu yang berharga. Saya pikir kita perlu melakukan introspeksi diri apabila kita jauh lebih menghargai jalan hidup Kain ketimbang Habel ataupun Set dan Enos. Tentu bukan suatu kebetulan jika sejak awal mula Alkitab sudah menulis hal-hal yang seperti ini, yaitu agar kita bercermin dari peristiwa tersebut.
Dalam artian tertentu, kita bisa menganggap
Alkitab itu bagaikan sebuah cermin. Sebuah cermin yang memantulkan sikap hati
kita. Dari cara kita menilai sebuah kisah, dari cara kita menaruh hati pada
tokoh-tokoh dalam kisah itu, terbongkarlah isi hati kita sendiri di hadapan
Tuhan. Kita jadi tahu, kepada siapakah atau kepada apakah hati kita selama ini
telah lebih dicondongkan.
Jadi, jika kita dalam hidup ini selalu dan selalu dan terus menerus selalu saja tergila-gila pada kekayaan atau sangat bangga pada harta serta sangat menghormati orang kaya sedemikian rupa hanya karena dia kaya, sementara Alkitab justru berbicara dengan arah yang 180o berseberangan dengan hal tersebut, maka mungkin kita perlu duduk sebentar dan merenung. Apakah kita masih ingin mengikuti Yesus yang modelnya kayak gini? Atau mungkin pada dasarnya kita memang kurang cocok hidup bersama Dia? Jangan-jangan (karena malas baca Alkitab) selama ini kita telah keliru menilai Yesus. Jangan-jangan Yesus yang selama ini kita pikir sedang kita gandrungi itu, ternyata totally a different kind of Person?