Oleh: Izar Tirta
Pendahuluan
Iklim demokrasi sering kali menjadi impian berbagai
bangsa di dunia. Masyarakat yang ingin agar demokrasi ditegakkan tidak jarang
bahkan harus rela mengorbankan darah mereka demi terwujudnya cita-cita
tersebut. Sebut saja perjuangan mahasiswa Cina di lapangan Tiananmen, atau
perjuangan mahasiswa di Indonesia yang mengucurkan darah mahasiswa Trisakti
sebagai contohnya. Mengapa demokrasi begitu menarik perhatian? Darimanakah asal
usul pemikiran demokrasi ini? Dan benarkah demokrasi sungguh-sungguh merupakan pilihan
terbaik bagi umat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air?
Menelusuri
bibit demokrasi
Istilah demokrasi bukan bahasa asli Indonesia
melainkan suatu serapan dari bahasa Yunani demokratia. Kata demokratia itu sendiri terdiri dari demos; yang artinya rakyat, dan kratein; yang artinya berkuasa. Sehingga
demokrasi berarti “kekuasaan yang berada di tangan rakyat.” Sistem ini pertama
kali diciptakan oleh Cleisthenes pada tahun 507 SM dan diterapkan oleh
orang-orang Yunani di Atena. Namun tragisnya, sistem yang relatif baru lahir
ini ternyata kemudian membuat seorang filsuf yang sangat terkenal, yaitu
Socrates, menjadi korban pembunuhan yang diprakarsai oleh sekelompok orang
tertentu.
Sebagaimana kita ketahui, Socrates
adalah seorang filsuf. Dan sebagai orang yang gemar berpikir, Socrates suka sekali
mempertanyakan segala sesuatu yang dilakukan oleh orang lain. Dari sisi
Socrates, sikapnya yang cenderung vokal dalam mengajukan pertanyaan itu mungkin
dianggap sebagai hal yang wajar, karena ia sangat mudah tertarik pada sesuatu
dan senantiasa ingin tahu ini dan itu. Namun bagi orang lain, gaya Socrates
yang vokal ini dinilai sangat mengganggu. Dan tanpa ia sadari, ternyata sikap vokalnya
itu telah membuat beberapa petinggi Atena merasa amat tersinggung.
Sungguh celaka bagi Socrates, karena
beberapa orang yang tersinggung ini ternyata secara licik berusaha memanfaatkan
sistem demokrasi (di mana suara mayoritas dianggap menang) untuk menjatuhkan dia.
Masyarakat yang berhasil terhasut oleh omongan
para petinggi Atena itu, kemudian secara bulat setuju untuk menghukum Socrates.
Filsuf malang itupun kemudian dijatuhi hukuman dengan tuduhan telah melakukan
hal-hal yang tidak senonoh dan dianggap telah memberi pengaruh buruk bagi
orang-orang muda Atena melalui berbagai ajaran yang aneh.[1]
Tanpa mampu melawan, Socrates pun akhirnya terpaksa harus meminum Hemlock (sejenis racun) sebagai
hukumannya. Peristiwa nahas itu terjadi kira-kira pada tahun 399 SM
Dari hal ini kita melihat
bagaimana demokrasi di Atena telah begitu rupa disalahgunakan hingga mengakibatkan
terbunuhnya seorang filsuf yang sangat cemerlang, hanya karena kebencian sekelompok
orang tertentu kepadanya.
Perlu kita ketahui, bahwa meskipun Atena adalah negara
yang pertama kali menerapkan sistem demokrasi, bukan berarti semangat demokrasi
itu memang semata-mata lahir di sana. Jauh sebelum terjadinya peristiwa
Socrates, ada sebuah bangsa yang memakai demokrasi untuk mengkudeta Raja
mereka.
Israel adalah sebuah bangsa yang secara langsung
dipimpin oleh Tuhan sendiri. Bentuk pemerintahan semacam itu disebut Theokrasi.[2] Tuhan
bertindak sebagai Raja dan seorang manusia yang disebut sebagai Hakim bertindak
sebagai wakil Tuhan dalam menyampaikan segala kehendak dan titah Sang Raja. Dengan
sistem Theokrasi ini, bangsa Israel
bertahan hidup cukup lama di tengah bangsa-bangsa lain di sekitar mereka yang
tidak menganut sistem kebangsaan seperti mereka.
Namun pada sekitar tahun 1050 SM, ketika Samuel
menjadi Hakim,[3] bangsa Israel
mulai merasa iri terhadap bangsa-bangsa lain yang mereka temui. Mereka melihat
bahwa bangsa-bangsa lain memiliki seorang raja dalam rupa seorang manusia yang
dapat mereka lihat. Dan Israel menganggap bahwa raja manusia yang terlihat itu dapat
menimbulkan rasa aman yang lebih ketimbang Tuhan yang tidak terlihat, sehingga Israel
pun menginginkan seorang raja dari kalangan manusia sebagai ganti Tuhan yang
selama ini memimpin mereka. Maka berkumpulah para tua-tua dari antara mereka
sebagai wakil dari segenap suku bangsa untuk meminta kepada Samuel agar kepada
mereka diberikan seorang raja.[4] Meskipun
tidak ada satu kata “demokrasi”pun yang muncul dalam peristiwa tersebut, namun
kita dapat melihat adanya praktek yang melibatkan semangat dan prinsip
demokrasi di sini, yaitu ketika seluruh rakyat sepakat untuk mengemukakan suatu
pendapat atau tuntutan kepada otoritas yang saat itu sedang berkuasa.
Jika kita bayangkan, betapa tragisnya peristiwa
demokrasi yang terjadi di antara bangsa Israel ini. Raja yang berwenang ketika
itu, yaitu Tuhan, ditolak oleh mereka dan sebagai gantinya mereka menuntut
seorang raja yang lain. Dalam kosa kata perpolitikan modern, bukankah ini sama
artinya dengan sebuah kudeta?
Raja yang “diturunkan” itu pun bukan tidak sadar akan
situasi tersebut. Sepenggal kalimat sedih muncul dari mulut-Nya ketika Ia
berbicara pada sang Hakim: “Bukan engkau
yang mereka tolak, tetapi Aku-lah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi
raja atas mereka.” (ayat 7) Namun luarbiasanya, Raja yang dikudeta ini
tidak melawan melainkan justru membiarkan diri-Nya diganti oleh orang lain. Tapi
mengapa? Apakah Tuhan berpikir bahwa orang lain memang lebih baik? Tentu tidak.
Jawabannya mungkin mengejutkan bagi kita semua, yaitu bahwa Sang Raja, Tuhan
semesta alam, ternyata menghargai demokrasi.
Semangat demokrasi adalah semangat yang wajar muncul
di antara umat manusia. Manusia adalah peta teladan Allah, diciptakan sebagai
ciptaan tertinggi dan termulia di atas bumi. Alkitab bahkan mencatat bahwa
manusia diciptakan “hampir sama seperti[5]
Allah”[6] Dan
karena manusia adalah peta teladan Allah maka tidak heran jika manusia sebagai individu
juga memiliki unsur intelegensia, emosi dan kehendak yang hampir sama
dengan yang Allah miliki.
Dan demokrasi, tidak lain dan tidak bukan adalah
perwujudan intelegensia, emosi dan kehendak dari sekelompok besar manusia.
Konsep dasar yang menjadi bibit dari pemikiran tentang
demokrasi, paling baik dan lengkap dapat kita baca dari Kitab Kej 9:6 yang
berkata: “Siapa yang menumpahkan darah
manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu
menurut gambar-Nya sendiri.” Dalam ayat ini terkandung dua unsur penting
dari terbentuknya demokrasi itu yaitu: pertama, manusia adalah makluk mulia (oleh
karena itu pendapatnya harus didengar, emosinya harus diperhatikan dan
kehendaknya harus dipertimbangkan) dan kedua, manusia diciptakan sederajat (harga
satu nyawa sama dengan nyawa lainnya).
Itu sebabnya dapat dikatakan bahwa bibit demokrasi
bukan pertama-tama muncul dalam pikiran filsafat Yunani, melainkan muncul dari
ajaran Alkitab. Negara mana saja yang memiliki pengenalan yang baik terhadap Alkitab
dan mengerti betul hakekat manusia sesuai Alkitab, cenderung akan menerapkan
prinsip demokrasi.
Douglas F. Kelly, seorang profesor Teologi Sistematika
di Reformed Theological Seminary, dalam
salah satu bukunya telah menguraikan bagaimana pengaruh ajaran Kristen yang
dirumuskan oleh John Calvin telah membawa kemerdekaan yang nyata bagi rakyat suatu
negara yang mau menganutnya. Setidaknya ada lima negara dunia yang akhirnya
terdorong untuk memperhatikan suara rakyat di dalam sistem pemerintahan mereka
setelah dipengaruhi oleh ajaran Kristen yang dirumuskan oleh Calvin, yaitu
Jenewa, Perancis, Scotlandia, Inggris dan tentu saja Amerika.[7] Di
negara-negara ini, kedaulatan rakyat diakui oleh negara. Inggris sekalipun
memiliki seorang raja, namun dalam kehidupan pemerintahan sehari-hari tetap
menjalankan prinsip demokrasi yang diwadahi oleh adanya parlemen (sama seperti
senat di Amerika). Raja di Inggris kini lebih bersifat sebagai simbol dan
bentuk pemeliharaan tradisi daripada benar-benar sebagai penentu dan pelaksana jalannya
pemerintahan.
Apakah
demokrasi memang pilihan terbaik?
Ada beberapa bentuk pemerintahan yang dikenal di
dunia. John Calvin dalam bukunya “Institutio”
pada buku ke IV bab 20 membicarakan secara khusus tentang “Pemerintahan Sipil”
(Of Civil Government). Dan dalam
bagian itu, Calvin menyebutkan ada tiga bentuk pemerintahan yaitu Monarki,
Aristokrasi dan Demokrasi. Calvin menulis:
“There are
three kinds of civil government, namely, Monarchy, which is the
domination of one only, whether he be called King or Duke, or otherwise; Aristocracy,
which is a government composed of the chiefs and people of note; and Democracy
which is a popular government, in which each of the people has power.”[8]
Kembali kita bertanya, apakah di antara bentuk-bentuk
pemerintahan itu, demokrasi merupakan pilihan yang terbaik? Mungkin saja, namun
dalam hal ini kita perlu juga mempertimbangkan contoh-contoh kasus yang sudah
ada, yaitu paling tidak dua contoh kasus yang telah saya sebutkan dalam tulisan
ini.
Dalam kasus Samuel, kita lihat bahwa demokrasi
akhirnya justru telah membuat Israel salah dalam mengambil keputusan. Raja yang
mereka pilih untuk menggantikan Tuhan, akhirnya malah membawa mereka pada
konsekuensi-konsekuensi yang memberatkan mereka sendiri. Apalagi ketika raja
pilihan mereka itu kemudian tidak mau taat kepada Tuhan yang adalah Raja di
atas segala raja. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa demokrasi yang terjadi
dalam peristiwa ini lebih membawa masyarakat kepada keburukan ketimbang
kebaikan.
Dalam kasus Socrates, kita melihat kejadian yang
tragis pula, yaitu ketika demokrasi dijadikan alat untuk menjatuhkan seseorang
yang tidak disukai oleh sekelompok orang lainnya. Sehingga lagi-lagi dapat kita
simpulkan bahwa sekalipun demokrasi itu mungkin baik, namun ternyata demokrasi dapat
pula dijadikan sebagai alat yang mematikan bagi seseorang.
Dan terakhir, ada pula satu kasus yang dapat kita angkat
yaitu peristiwa penyaliban Yesus Kristus. Rakyat dengan suara yang bulat
memutuskan bahwa Tuhan Yesus harus disalibkan sesuai tuntutan mereka. Bahkan
Pilatus sebagai otoritas yang berkuasa ketika itu pun, tidak berani menghadapi
suara rakyat. Sehingga Pilatus akhirnya memilih untuk mencuci tangannya dan
menyerahkan saja Tuhan Yesus kepada rakyat untuk disalibkan.[9]
Dari ketiga kasus ini, setidaknya kita dapat melihat
suatu kelemahan dari demokrasi yaitu ketika sekelompok manusia, apalagi dalam
jumlah yang sangat besar, menginginkan sesuatu maka hampir dipastikan keinginan
mereka tercapai. Tapi masalahnya, bagaimana jika keinginan mereka adalah
sesuatu yang buruk? Bukankah akan dicapai suatu keputusan yang buruk pula?
Menentukan kebenaran berdasarkan suara terbanyak belum
tentu mencapai kebenaran itu sendiri. Suara mayoritas belum tentu
merupakan kebenaran. Apalagi dalam kondisi keberdosaan manusia sekarang
ini, demokrasi dapat dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mencapai
keputusan-keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu. Tri Widodo Utomo
dalam tulisannya di Kompas berjudul “Mencermati Gejala Demokrasi Korupsi”
menguraikan bagaimana untuk melakukan korupsi pun dapat ditempuh dengan
cara-cara yang demokratis yaitu melalui rapat, musyawarah, voting dlsb. Ia
menulis :
Berdasarkan kenyataan yang ada, sangatlah tidak
berlebihan jika kita katakan bahwa korupsi yang terjadi saat ini adalah democratic coruption atau korupsi
demokratis, yakni korupsi yang dilakukan berdasarkan tata cara, kaidah-kaidah
dan penerapan teori demokrasi. Bisa disebut demokratis karena korupsi dirasakan
oleh lebih banyak orang/lembaga secara bersama-sama.[10]
Sudah hampir dua dekade berlalu sejak tulisan itu
dimuat di surat kabar, siapa yang dapat mengatakan bahwa keadaannya kini sudah
berubah menjadi lebih baik?
Akhir
kata
Demokrasi memang baik, dalam arti bahwa sistem ini
berusaha meminimalkan kemungkinan terjadinya kekuasan yang bersifat absolut dan
berpusat pada pribadi tertentu. Saya tidak bermaksud mengecilkan arti demokrasi,
bagaimanapun itu adalah salah satu sumbangsih dari kekristenan bagi dunia. Akan
tetapi demokrasi pun dapat menjadi alat yang berbahaya ketika sekelompok
manusia yang ada di dalamnya tidak dipimpin oleh kebijaksanaan Ilahi dan tidak memiliki
standar moral yang tinggi.
Demokrasi adalah wujud dari hasrat manusia untuk hidup
merdeka atau hidup bebas. Dan seperti yang telah saya uraikan dalam tulisan saya
yang bertemakan tentang “Kebebasan,” tidak ada cara untuk mencapai kemerdekaan
atau kebebasan atau bahkan demokrasi yang sejati sekalipun, selain jika seorang
manusia atau sekelompok manusia dipimpin oleh kebenaran Firman Tuhan. “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu
akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh
8:31,32) Hanya jiwa-jiwa yang sudah dimerdekakan oleh Firman Tuhan sajalah
yang dapat menjadikan demokrasi sebagai sistem yang benar-benar terbaik.
Semoga melalui tulisan yang amat singkat dan jauh dari
sempurna ini, wawasan kita tentang pengaruh kekristenan pada demokrasi serta
kelebihan dan kekurangan yang ada di dalamnya dapat semakin diperkaya.
Tuhan memberkati.
Beberapa
pokok pikiran di dalam tulisan ini:
Apa itu demokrasi?
Darimana asal-usul demokrasi?
Apa hubungan antara Socrates dan demokrasi?
Apakah socrates telah dibunuh oleh demokrasi?
Sokrates meminum Hemlock
Penyalahgunaan Demokrasi di Yunani
Hubungan antara Alkitab dan Demokrasi.
Apakah demokrasi terdapat di Alkitab?
Apakah Tuhan menghargai demokrasi?
Apakah dasar alkitabiah untuk demokrasi?
Apakah demokrasi benar-benar merupakan pilihan terbaik
untuk masyarakat?
Apakah yang menjadi tantangan dalam menjalankan sistem
demokrasi yang baik?
Apakah ada hubungan antara demokrasi dengan Yesus
Kristus?
Apakah Yesus juga dibunuh oleh demokrasi?
Apakah suara terbanyak itu sudah pasti merupakan suara
kebenaran?
Mencermati gejala Demokrasi Korupsi.
Apa yang tidak boleh dihilangkan jika demokrasi mau
berjalan terus?
[1] Jika
kita tidak suka pada seseorang, maka kita tinggal mencari-cari saja apa yang
menjadi kelemahannya, karena bagaimana pun setiap orang pasti memiliki
kelemahan. Lalu dengan beberapa upaya, kelemahan itu dapat dibuat sedemikian
rupa sehingga semua orang yang melihat dapat membuat penafsiran yang amat buruk.
Jika opini publik sudah terbentuk, maka publik dapat dengan mudah dikendalikan
untuk membuat berbagai keputusan sesuai kehendak sang aktor intelektual. Hal
seperti ini tentu saja dapat dikategorikan sebagai fitnah.
[2] Dari Theos dan kratein; kekuasaan pemerintahan ada di tangan Tuhan.
[3] 1 Samuel
7:15
[4] Kisah
tersebut dapat dibaca dalam 1 Samuel 8.
[5] Namun
harus diingat baik-baik: “hampir sama seperti” bukan berarti “adalah” Hampir
sama seperti Allah berarti bukan Allah.
[6] Mazmur
8:6
[7] Lihat :
Douglas F.Kelly, Munculnya Kemerdekaan di
Dunia Modern (Surabaya :
Momentum, 2001)
[8] Jonh
Calvin, trans Henry Beveridge, Book IV of Institute
of Christian Religion (Grand Rapid Michigan: Eerdmans Publishing Company,
1989), 656.
[9] Menurut
tradisi, di hari tuanya Pilatus pergi untuk menikmati masa pensiun di daerah
pegungan Alpen, di Swiss. Namun bukan ketenangan yang ia dapati, melainkan rasa
sesal yang tidak berkesudahan. Pilatus terus menerus mencuci tangan sambil bergumam
“..tidak bersalah…. tidak bersalah…” Bagi orang-orang di sekitarnya, Pilatus
dianggap telah hilang ingatan. Namun yang terjadi mungkin jauh lebih mengerikan
daripada itu, Pilatus mungkin sekali telah hilang dalam kekekalan karena ia
telah menyerahkan Yesus Kristus yang ia tahu pasti tidak melakukan kesalahan
apapun.
[10] Tri
Widodo W Utomo, Mencermati Gejala
“Demokrasi Korupsi,” Kompas, 9 Sep 2002