Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kita telah membicarakan beberapa aspek dari iman yaitu aspek kekinian, aspek pengetahuan, aspek emosional dan aspek kemauan. Semua aspek yang kita bicarakan itu amat berguna untuk mengevaluasi diri kita sendiri, apakah kita sudah memiliki aspek tersebut di dalam iman kita?
Meksipun demikian, pembicaraan tentang kesejatian iman di dalam diri kita, apabila tidak berhati-hati dapat pula membawa kita kepada suatu kebahayaan. Bahaya apakah itu? Bahaya yang disebabkan oleh perasaan bangga, puas diri, merasa benar (self righteous) dan akhirnya jatuh ke dalam dosa sebagaimana yang dilakukan oleh orang Farisi yang berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;” (Lukas 18:11)
Jika kita tidak hati-hati, tanpa sadar doa kita bisa saja berubah menjadi: “O Yesus aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama dengan orang lain di gereja ku, aku punya iman yang selalu kuhidupi setiap hari, aku punya pengetahuan akan Engkau, aku punya kasih kepada-Mu dan aku punya kehendak untuk setia pada-Mu, bukan seperti teman gerejaku yang tidak tidak tahu apa-apa itu, boro-boro ngerti Alkitab, boro-boro mengasihi Tuhan, kerjanya gosip melulu dan pikirannya juga gak jauh-jauh dari soal dagangan dan cari duit. Aku heran Tuhan, kenapa mereka bisa payah kayak gitu? Aku bersyukur sekali karena aku tidak seperti mereka… Puji Tuhan… Haleluya..”
Awalnya kita ingin menjadi orang Kristen yang memiliki iman sejati, tetapi ternyata pelan-pelan kita berubah menjadi semakin serupa dengan si Farisi itu. Betapa berbahayanya hal ini bukan? Dan betapa mudahnya kita jatuh ke dalam dosa semacam itu, jika kita tidak senantiasa memelihara sikap yang hati-hati, mawas diri dan senantiasa belajar untuk mengkritisi diri sendiri dan belajar menjauhi sikap yang suka menghakimi orang lain.
Kerohanian itu persoalan yang cukup unik, mirip sekali dengan kerendahan hati. Ketika kita pikir kita sedang memilikinya, jangan-jangan justru pada saat itu kita telah kehilangan dia. Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi orang Kristen untuk senantiasa merenungkan perkataan di dalam Efesus 2: “Itu bukan hasil usahamu”
Kekristenan sejati memahami keselamatan sebagai sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan melalui iman. Bahkan kemampuan kita untuk beriman pun bukan merupakan sesuatu yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Kalau kita bisa memiliki iman yang sejati, maka itu semata-mata adalah anugerah dari Tuhan juga, bukan kita yang mengusahakan agar iman itu datang atau muncul di dalam diri kita, tetapi Tuhan.
“Itu (pasti) bukan hasil usahamu,” sebab sebagai manusia yang berdosa, kita telah mati di hadapan Allah. Apakah yang dapat diharapkan dari orang yang sudah mati? Apakah kita dapat berharap bahwa mayat dapat melakukan sesuatu? Tentu tidak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan jika kita mengharapkan bahwa orang yang mati di hadapan Allah dapat tiba-tiba mempunyai kekuatan dari dalam dirinya untuk beriman kepada Yesus, apabila Allah tidak terlebih dahulu menganugerahkan kehidupan yang baru kepada orang yang mati tadi.
Sepintas ajaran ini sepertinya begitu sering kita dengar, ajaran yang basic sekali, sehingga kita merasa seperti agak bosan mendengar hal tersebut. Akan tetapi, hanya karena hal ini terdengar sederhana, dan sudah sangat sering didengar, apakah diri kita yakin tidak akan pernah jatuh ke dalam dosa si orang Farisi tadi?
Waktu awal-awal kita menjadi orang Kristen, mungkin kita nangis bercucuran air mata di hadapan Tuhan. Sadar sebagai orang berdosa yang tidak pantas, hanya bisa menangis memukul dada seperti si pemungut cukai dalam kisah yang terkenal itu.
Tetapi setelah puluhan tahun berlalu, setelah berbagai pengetahuan atau berbagai gelar sarjana kita sandang, setelah berbagai jabatan di dalam konteks gerejawi kita pegang, orang mulai banyak yang suka sama kita, mereka men-tua-kan kita, hormat, percaya pada kita, adakah kita masih berada di dalam posisi si pemungut cukai tadi?
Atau jangan-jangan..? “Yah… dulu sih memang merasa diri tidak pantas di hadapan Tuhan, tapi sekarang… hmmm ... kayaknya aku oke juga ya? Aku rada panteslah kalau dibanding dulu? Sekarang malah orang lain yang jadi kelihatan tidak pantas.. Itu loh, mereka-mereka yang males pelayanan, yang pengetahuan Alkitabnya di bawah standard, yang gampang jatuh ke dalam perzinahan, perjudian, mabuk-mabukan… ya mereka-mereka itu yang gak pantas… Tapi kalau aku sih……. Oke punyalah….” Tanpa kita sadari tiba-tiba si Farisi datang dan menyalami kita sambil berkata: “welcome to the club my friend…”
Apakah kita pikir bahwa Tuhan akan bangga dengan prestasi kita, atau iman kita, atau pelayanan kita lebih daripada Tuhan bangga kepada orang lain (atau kepada Anak-Nya)? Apakah kita pikir bahwa pada suatu hari nanti kita akan pergi menghadap Tuhan sambil berkata: “Tuhan lihat … imanku yang sejati ini telah membawaku untuk melakukan ini, melakukan itu, mengajar sekian ribu jam di dalam kelas PA, menulis sekian puluh buku, terbang ribuan kilometer untuk memperluas kerajaan Allah” dan seterusnya.. dan seterusnya….
Cukup populer di kalangan orang Kristen (yang merasa cukup rajin dan saleh) sebuah pemikiran bahwa pada saat meninggal nanti ia bisa berkata: Tuhan, inilah jiwa-jiwa yang telah kubawa kepada-Mu melalui penginjilan. Inilah jiwa-jiwa yang telah kumenangkan bagi-Mu. Seakan-akan kita datang sambil membawa semacam simbol kemenangan atau tanda pencapaian ke hadapan Tuhan.
Mendengar itu, sangat mungkin Tuhan akan berkata: “Itu bukan hasil usahamu…” Atau bahkan yang lebih ngeri lagi: “Aku tidak pernah mengenal kamu…” (Matius 7:23)
Kalau mau gaya-gayaan, kita gak mungkin menang sama Agustinus yang hidup di sekitar abad ke 5 Masehi. Ia menulis begitu banyak buku, beribu-ribu halaman isinya. Ia adalah seorang pengkhotbah yang sangat trampil, dengan kekuatan pikiran dan orasi yang begitu tajam. Ia juga dikenal sebagai seorang sastrawan, filsuf atau pemikir kekristenan terbesar semenjak era para rasul. Pikirannya mempengaruhi Marthin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi Kristen lainnya, bahkan pengaruhnya terasa hingga zaman kita sekarang ini.
Tetapi apakah di ranjang kematiannya Agustinus tersenyum bangga atas segala pencapaian yang ditorehkannya selagi ia masih sehat? Tidak… Sebelum menutup mata untuk selamanya, Agustinus, bapa gereja yang sangat diberkati itu, tidak banyak berkata-kata. Ia hanya mengutip Mazmur 51: Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar…
Tidak ada bangga-banggaan, tidak ada tepuk dada kemenangan. Agustinus sadar sepenuhnya, bahwa ia hanyalah orang berdosa yang membutuhkan belas kasihan dari Tuhan. Ia sadar betul bahwa dirinya hanyalah alat di tangan Tuhan. Semua pekerjaan itu bukan pekerjaan dia, melainkan Allah sendiri yang telah berbelas kasihan, berkenan untuk bekerja melalui dia.
Karl Barth, seorang teolog besar dari Swiss yang hidup di abad ke 20. Ia berani menulis surat kepada Hitler untuk menentang pemikiran Nazi. Ia giat berjuang, menggempur kekuatan teologi liberal. Ia menulis buku Church Dogmatics yang terkenal itu. Pada masa tuanya, setelah segala prestasi itu, ketika ia diminta untuk meringkas seluruh karyanya dalam satu kalimat.. Karl Barth menjawab: Jesus loves me this I know for the Bible tells me so…
Siapakah kita dibandingkan dengan orang-orang sekaliber Agustinus, ataupun Karl Barth ataupun tokoh-tokoh besar lain dalam kekristenan? Dan terutama, siapakah kita di hadapan Yesus Kristus? Meskipun kita patut bersyukur atas iman yang telah diberikan oleh Tuhan, tetapi tidak ada satu titik pun di mana kita punya dasar untuk bermegah atas apa yang telah terjadi di dalam hidup ini melalui iman kita. Mengapa?
Sebab itu bukan hasil usahamu..
Kiranya Tuhan menolong kita tetap memiliki hati seperti si pemungut cukai yang sadar betapa tidak pantasnya diri kita ini di hadapan Tuhan. Amin.