Kanonisasi Alkitab – Perjanjian Lama
Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab
Dalam
tulisan berjudul “Arti penting kitab Perjanjian Lama bagi Yesus Kristus” [Klikdisini.] saya sudah membahas tentang bagaimana sikap dan pandangan Tuhan Yesus
terhadap Alkitab, yaitu Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana yang kita kenal
sekarang ini. Pada waktu Tuhan Yesus hadir di dalam keberadaan-Nya sebagai
Manusia di dunia ini, Alkitab Perjanjian Baru belum dituliskan, oleh karena itu
Alkitab yang tersedia bagi Tuhan Yesus dan orang-orang di zaman-Nya hanyalah
Alkitab Perjanjian Lama.
Pertanyaan
kita adalah, apakah Alkitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus saat itu, sama dengan
Alkitab Perjanjian Lama seperti yang kita miliki saat ini?
Bagaimana
kitab-kitab Perjanjian Lama itu bermula?
Jika
dalam tulisan sebelumnya saya mengutip pandangan Ralph O.Muncaster tentang
Kitab Ayub sebagai kitab yang paling tua,
maka dalam pembahasan kali ini saya tidak lagi membahas soal kitab mana yang paling
tua dari Perjanjian Lama. Kita tidak masuk ke dalam pembahasan apakah Kitab
Kejadian ataukah Kitab Ayub yang lebih dulu dituliskan. Yang menjadi pusat
perhatian kita dalam tulisan ini adalah sejak
kapan upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang dianggap sebagai kitab suci
itu terjadi?
Di
tinjau dari sudut pandang waktu, upaya pertama untuk menyimpan tulisan Ilahi ke
dalam suatu kumpulan tertentu, sangat mungkin terjadi pada saat Allah sendiri
menuliskan perkataan-Nya di atas dua loh batu dengan menggunakan jari-Nya
sendiri di atas Gunung Sinai. [Baca juga: Mengapa kita perlu memahami
Kanonisasi Alkitab? Klik disini.]
Perkataan
Allah, yang kemudian kita kenal sebagai 10 Perintah Allah itu, menjadi koleksi
tulisan tertua yang kemudian, dengan berjalannya waktu, semakin berkembang sedemikian
rupa hingga menjadi suatu kitab yang kemudian kita miliki saat ini. Peristiwa
itu dicatat oleh Musa demikian: Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia
selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu,
yang ditulisi oleh jari Allah.
Dan
sebagai penegasan, Musa kembali mengulang pernyataannya: Kedua loh itu ialah pekerjaan
Allah dan tulisan itu ialah tulisan Allah, ditukik pada loh-loh itu.
Berdasarkan
ayat ini kita diyakinkan bahwa bentuk tulisan yang tertua dan pertama dari
Perjanjian Lama adalah hasil karya tulisan
tangan Allah sendiri.
Setelah
Allah menulis perkataan-Nya, dua loh batu tersebut kemudian disimpan di dalam tabut perjanjian, dan sepanjang perjalanan
Israel di padang gurun, catatan atas perkataan Tuhan itu terus dituliskan oleh
Musa sedemikian hingga kumpulan kitab itupun semakin lama menjadi semakin berkembang
dan jumlahnya pun menjadi semakin banyak.
Kitab Ulangan
adalah kitab terakhir
di antara lima kitab yang ditulis oleh Musa. Dan di dalam tulisan terakhir
tersebut kita membaca suatu penegasan bahwa Musa-lah yang menulis segala
perkataan hukum Taurat itu hingga perkataan yang penghabisan.
Dan
setelah segala tulisan itu rampung, maka tulisan yang sudah terkumpul menjadi
kitab Taurat tersebut diletakkan di suatu tempat yang sangat khusus. Dalam
kitab Ulangan ada tertulis demikian: maka Musa memerintahkan kepada orang-orang
Lewi pengangkut tabut perjanjian TUHAN, demikian: "Ambillah kitab Taurat
ini dan letakkanlah di samping tabut perjanjian TUHAN, Allahmu, supaya menjadi
saksi di situ terhadap engkau.
Sebagaimana
kita baca dalam ayat di atas, segala yang dituliskan oleh Musa itu diletakkan
di samping tabut perjanjian Tuhan sehingga bangsa Israel dapat mengetahui syarat
dan perjanjian (covenant) antara Allah dan umat-Nya.
Dan
bukan hanya karena ditaruh di samping tabut perjanjian saja maka tulisan itu
menjadi penting, melainkan karena tulisan-tulisan itu telah menjadi saksi bagi Israel
di hadapan Allah. Artinya, apa yang ditulis oleh Musa bukanlah tulisan yang
tidak diketahui oleh Tuhan. Baik Tuhan maupun bangsa Israel telah menjadi saksi
dari segala sesuatu yang dituliskan tersebut. Musa tidak mungkin menuliskan
segala sesuatu yang tidak sesuai di mata Tuhan maupun tidak sesuai di mata orang
Israel.
Betapa
luarbiasanya penghargaan yang diberikan kepada tulisan-tulisan itu sehingga
ditaruh berdampingan dengan tabut perjanjian Tuhan, bukan? Hal ini juga menjadi
petunjuk bahwa tulisan Musa itu sungguh-sungguh bukan tulisan yang sembarangan,
melainkan sebuah tulisan otoritatif yang diterima sebagai perkataan Allah
sendiri.
Jadi
di satu sisi, orang Israel tahu bahwa
tulisan itu ditulis oleh Musa, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga tahu
bahwa tulisan tersebut adalah perkataan atau tulisan Allah sendiri, yaitu
Firman Tuhan yang disampaikan melalui Musa. Dari sinilah berkembang suatu
konsep pemahaman tentang Kitab Suci (sacred
writings) di dalam benak orang Israel.
Konsep
tentang Kitab Suci sebagaimana yang dipahami oleh orang Israel di zaman Musa
ini masih kita pegang hingga saat ini. Bagi orang Kristen, Alkitab yang kita
baca saat ini bukanlah sebuah buku biasa. Alkitab adalah sebuah buku yang
ditulis oleh manusia, sekaligus merupakan buku yang ditulis oleh Allah sendiri
melalui manusia-manusia yang dipilih untuk melakukan hal tersebut.
Sungguh
disayangkan apabila di zaman modern ini banyak orang yang tidak bisa melihat
karya Allah di balik terbentuknya Alkitab. Sangat memprihatinkan jika ada orang
di zaman sekarang ini yang hanya bisa menerima Alkitab sebagai tulisan manusia
saja. Sebab sejak awal mula terbentuknya Alkitab, orang di zaman itu tahu bahwa
tulisan-tulisan itu adalah 100% tulisan Allah dan 100% tulisan manusia.
Kekristenan
yang sejati tidak pernah mengajarkan adanya tulisan di dalam Alkitab yang 100%
ditulis oleh Allah saja tanpa memakai keterlibatan manusia. Dan kekristenan yang sejati juga tidak pernah menerima
pandangan bahwa Alkitab adalah tulisan yang 100% ditulis oleh manusia saja,
tanpa ada keterlibatan Allah di dalamnya.
Bagaimana
kitab-kitab Perjanjian Lama itu
berkembang
setelah zaman Musa?
Setelah
Musa meninggal dunia, kepemimpinan Israel berpindah ke tangan Yosua, yaitu
seorang panglima perang yang sebelumnya telah begitu setia menyertai Musa.
Dalam
kitab Yosua sendiri terdapat suatu penegasan bahwa Yosua juga mendapat peran
yang sama seperti Musa sebagai orang yang diberi wewenang oleh Allah sendiri
untuk membuat tulisan yang kemudian menjadi Kitab Suci pula. Di dalam Alkitab
kita ada tertulis: Yosua menuliskan semuanya itu dalam kitab hukum Allah, lalu ia mengambil
batu yang besar dan mendirikannya di sana, di bawah pohon besar, di tempat
kudus TUHAN.
Bangsa
Israel dapat menerima tulisan Yosua sebagai tulisan yang layak disejajarkan
dengan tulisan Musa, yaitu tulisan-tulisan yang memiliki otoritas dari Allah
sendiri.
Sebetulnya,
hal ini bukan sesuatu yang mudah bagi Yosua, sebab di dalam kitab Ulangan yang
ditulis oleh Musa, ada peringatan agar jangan ada orang yang menambahkan atau
mengurangkan segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah.
Sehingga jika pada akhirnya tulisan Yosua dapat diterima, maka kita boleh percaya
bahwa Allah sendirilah yang telah memberi keyakinan kepada Yosua untuk
menuliskan hal tersebut bagi Allah. Dan bukan hanya Yosua yang telah
diyakinkan, tetapi bangsa Israel pun telah diyakinkan pula oleh Allah untuk
menerima tulisan Yosua sebagai tulisan yang berotoritas Ilahi.
Setelah
zaman Yosua berlalu, Allah terus berbicara kepada bangsa Israel melalui para
nabi-Nya. Ada banyak nabi yang telah dipakai untuk menjadi jurubicara ataupun
jurutulis bagi Allah, agar mereka menyampaikan isi hati Allah kepada manusia
melalui tulisan-tulisan mereka.
Kelompok
nabi-nabi tersebut dapat kita bagi menjadi dua kategori, yaitu:
- nabi-nabi
besar
- nabi-nabi
kecil.
Mereka
disebut sebagai nabi besar dan nabi kecil bukan disebabkan karena ukuran tubuh
mereka yang besar ataupun yang kecil, dan bukan pula karena kualitas kerohanian
mereka yang dinilai besar ataupun kecil. Sama sekali bukan seperti itu.
Kelompok
nabi-nabi besar berisi orang-orang yang memiliki volume tulisan besar atau
banyak atau panjang. Sedangkan kelompok nabi-nabi kecil biasanya berisi
orang-orang yang memiliki tulisan yang relatif singkat.
Adapun yang
tergolong sebagai nabi-nabi besar adalah:
Yesaya,
Yeremia Yehezkiel dan Daniel.
Sedangkan yang
tergolong sebagai nabi-nabi kecil adalah:
Hosea,
Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan
Maleakhi.
Dengan
diutusnya nabi-nabi tersebut oleh Allah kita maka tulisan-tulisan yang termasuk
di dalam Kitab Suci juga terus mengalami perkembangan di dalam jumlahnya. Pada
kira-kira tahun 435 SM, Allah
mengutus nabi yang terakhir di dalam era Perjanjian Lama yaitu Maleakhi. Tulisannya dapat kita baca di
dalam kitab Maleakhi, yaitu kitab yang diberi judul sesuai dengan nama nabi
yang diutus tersebut.
Di
dalam kumpulan Alkitab Perjanjian Lama yang kita miliki sekarang ini, kitab
Maleakhi ditempatkan pada urutan paling akhir. Hal itu bukan suatu kebetulan,
sebab orang Israel sendiri pun menyadari bahwa setelah Maleakhi itu, tidak ada lagi tulisan-tulisan berotoritas yang
layak disejajarkan dengan perkataan dari Firman Tuhan.
Memang
betul bahwa bangsa Israel masih terus mencatat sejarah dari bangsa mereka,
namun catatan-catatan sejarah tersebut tidak lagi dianggap sebagai catatan yang
bersifat Ilahi. Kitab-kitab yang ditulis setelah kitab Maleakhi, oleh bangsa
Israel tidak dianggap sebagai catatan yang merupakan inspirasi langsung dari
Allah.
Hal
ini menegaskan bahwa kumpulan tulisan Apocrypa
(atau yang sekarang disebut juga sebagai Deuterokanonika)
yang ditulis setelah zaman Maleakhi juga tidak pernah dianggap oleh orang
Yahudi sebagai kumpulan kitab yang termasuk di dalam kitab suci.
Pada
zaman Tuhan Yesus hidup dan melayani sebagai Manusia, kumpulan kitab-kitab
Perjanjian Lama yang diterima oleh bangsa Yahudi terdiri dari 24 buku. Sedangkan
pada zaman kita sekarang, ada 39 buku yang disebut sebagai Alkitab Perjanjian
Lama. Apakah hal ini berarti adanya suatu perbedaan antara kitab-kitab yang
dibaca oleh Tuhan Yesus dengan kitab-kitab yang dibaca oleh kita? Jawabannya
adalah tidak.
Perbedaan
antara 24 buku yang diakui oleh orang Yahudi (termasuk oleh Tuhan kita) dengan
39 buku yang kita miliki sekarang terletak pada pengelompokannya saja. Sebagai
contoh, kitab Raja-raja yang saat ini kita miliki terdiri dari dua kitab, yaitu
1 Raja-raja dan 2 Raja-raja. Sedangkan bagi orang Yahudi, kedua kitab itu
dianggap sebagai satu kitab saja. Hal semacam ini terjadi pula pada kitab
Samuel dan kitab Tawarikh. Dimana di dalam Alkitab kita dipisahkan menjadi dua
buku sementara oleh orang Yahudi digabungkan menjadi satu buku saja.
Contoh
lain misalnya terdapat pada kitab Ezra dan kitab Nehemia, di dalam Alkitab kita
kedua kitab itu dianggap sebagai kitab-kitab yang terpisah. Ada kitab Ezra
sendiri, lalu ada kitab Nehemia sendiri. Sedangkan orang Yahudi menanggap kedua
buku tersebut adalah satu kesatuan yaitu disebut sebagai kitab Ezra-Nemiah.
Contoh
perbedaan jumlah yang paling besar barangkali dapat kita temukan di dalam kitab
nabi-nabi kecil, dimana di dalam Alkitab PL kita dianggap sebagai dua belas
kitab yang terpisah, sementara bagi orang Yahudi kedua belas buku itu dianggap
sebagai satu buku saja.
Jadi
sekali lagi, perbedaan antara jumlah buku di zaman Yesus Kristus, yaitu 24 buku,
dengan jumlah buku di zaman kita sekarang, yaitu 39 buku, semata-mata terletak
di dalam tata cara pengelompokkannya saja. Apabila semua kitab itu ditinjau sebagai
kumpulan tulisan yang utuh, maka apa yang kita baca hari ini di dalam Alkitab
PL kita adalah sama persis dengan apa yang dibaca oleh Tuhan kita Yang
Mahamulia itu.
Daftar Kitab
Suci yang diakui oleh orang Yahudi
pada zaman Tuhan
Yesus
Orang
Yahudi membagi Kitab Suci mereka ke dalam 3 kelompok besar, yaitu:
Torah, Nebiim dan Ketubiim.
Torah, kita
mengenalnya sebagai kitab Taurat, terdiri dari 5 buku, yaitu:
Kejadian,
Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan.
Nebiim, atau dikenal
juga sebagai kitab para nabi.
Kumpulan
kitab Nebiim ini dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu
- Nabi-nabi
yang terdahulu (Former Prophets),
terdiri dari 4 buku
- Nabi-nabi
yang terkemudian (Latter Prophets),
juga terdiri dari 4 buku
Adapun
empat buku dalam kitab nabi-nabi yang lebih awal adalah:
Yosua,
Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja
Sedangkan
empat buku dalam kitab nabi-nabi yang terkemudian adalah:
Yesaya,
Yeremia, Yehezkiel, Nabi-nabi kecil (The
book of the Twelve Prophets)
Ketubiim, atau disebut
juga sebagai kitab-kitab atau the
writings terdiri dari 11 buku.
Dari
11 buku itu dibagi menjadi 3 kelompok:
Kelompok
pertama, yaitu:
Mazmur,
Amsal, Ayub.
Kelompok
kedua (disebut juga Megillot atau scroll), yaitu:
Kidung
Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester.
Kelompok
ketiga, yaitu:
Daniel,
Ezra-Nehemia, Tawarikh.
Sebagaimana
dapat kita lihat di dalam kumpulan kitab tersebut, tidak ada satupun kitab Apocrypa yang dimasukkan ke dalam
kelompok kitab suci oleh orang Yahudi. Adapun daftar kitab Apocrypa yang umumnya disisipkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru adalah: Tobit, Yudit, Tambahan Ester, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh,
Tambahan Daniel, 1 Makabe dan 2 Makabe.
Pendapat Tuhan
Yesus
tentang
Kanonisasi Perjanjian Lama
Selama
pelayanan-Nya, Tuhan kita tidak secara terperinci menjelaskan tentang apa yang
dimaksud dengan kanonisasi. Meskipun demikian, bukan berarti Tuhan Yesus tidak
menyadari bahwa pembagian kitab suci ke dalam 3 kelompok besar itu memang ada.
Dari
Perjanjian Baru, kita tahu bahwa Lukas sempat mencatat perkataan Tuhan Yesus
berkenaan dengan pembagian kanonisasi yang umumnya diterima oleh orang Yahudi
pada waktu itu. Tuhan Yesus berkata:
"Inilah
perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama
dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku
dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur."
Perhatikan bagian terakhir dari kalimat Tuhan kita, di
sana ada disebutkan kitab Taurat Musa, kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. Ini
sama dengan 3 kelompok besar kitab suci orang Yahudi yang saya sebutkan
sebelumnya, bukan?
Memang untuk kelompok yang terakhir, Tuhan hanya menyebut
Mazmur. Namun dengan hanya menyebut kitab Mazmur saja, orang Yahudi sudah
memahami bahwa yang dimaksudkan Tuhan adalah keseluruhan kitab yang tergabung
di dalam kelompok Ketubiim, di mana
Mazmur adalah kitab pertama yang terdapat di dalam kelompok tersebut.
Akhir kata
Bagi kita sangat beralasan untuk meyakini bahwa seluruh
Perjanjian Lama yang sekarang ini kita miliki adalah kumpulan kitab yang sama
dengan yang dibaca oleh Tuhan Yesus, dibaca oleh para rasul dan dibaca pula
oleh orang-orang Yahudi ketika itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses
kanonisasi Perjanjian Lama sebetulnya sudah selesai bahkan sejak zaman Tuhan
Yesus sendiri.
Biarlah saat inipun, yaitu saat setelah Perjanjian Baru
tersedia, kita tetap boleh menerima serta menghargai Alkitab Perjanjian Lama
sebagaimana Tuhan kita menghargainya. Di dalam tulisan selanjutnya kita akan
melihat hal-hal apa saja yang membuat kita tidak bisa menerima Apocrypa sebagai bagian dari kitab suci
kita.
Kiranya Tuhan memberkati
kita dengan memberikan hati seorang murid. (Oleh: Izar Tirta)